Degupan

9 0 0
                                    

Tenggat tugas Mr. Januar tinggal sisa 1 hari lagi. Buku-buku di meja pojok sudah mulai menumpuk. Tumpukan buku itu membuat tertekan gadis cantik, berkulit putih, memilih wajah oval yang sedang duduk di meja nomor dua. Dia belum mengerjakan 1 soal pun. Semalam malas sekali untuk mempelajari matematika.

Sementara itu, seorang cowok yang di telinga menempel headphone warna hitam. Laki-laki itu menekuk kedua tangan dan bersandar di kursi. Tatapan pria itu menjurus kepada gadis yang sedang menunduk menatap ponsel.

Pria itu tersenyum penuh arti. Headphone itu digantungkan ke leher. Alvarendra berjalan dengan satu tangan berada di saku celana hitam. Telunjuk besar itu mengetuk meja. “Hai. Ada masalah ya?” Tanpa bertanya apa-apa lelaki itu duduk di kursi kosong. Menatap lekat gadis yang masih cuek.

Leher yang ada headphone hitam melongok ke buku tulis yang masih kosong. Tangan besar itu meraih buku paket dan juga pensil. Dengan mudah soal di buku ia jawab.

Tiba-tiba buku paket itu direbut. “Jangan dikerjain. Nanti gua enggak paham caranya,” protes gadis itu.
Cowok rompi merah itu mengeluarkan smirk. “Sini gua ajari.” Buku paket matematika itu diletakkan di tengah-tengah.

Mereka belajar dengan giat. Indra menjelaskan dengan sabar kepada gadis itu. Tidak masalah harus mengulang sampai 10 kali. Asal gadis yang menjadi teman kecilnya itu paham dan sudah bisa dengan materi yang mudah ini.

Eunoia memperhatikan penjelasan teman yang resek itu. Sesekali dia mengerjakan soal itu sambil dibimbing oleh Indra. Entah dari kapan, tahu-tahu jantungnya berdetak kencang. Ia melirik ke samping. Wajah lelaki itu sangat dekat bahkan hampir menempel.

Pasokan udara semakin menipis saat wajah itu semakin mendekat saat melihat angka yang kecil sekali ukuran huruf. Aroma mint dari rambut ikal cokelat itu menyapa indra penciuman. Semakin lama fokus belajar gadis itu berkurang. Ingin sekali lompat mengerjakan ke nomor 3 bagian e. Eunoia mencoba fokus kembali dan mengerjakan soal itu.

Tidak enak ya mengerjakan soal dengan jantung berdisko. Kayak mau pingsan begitu. Tahu-tahu pipinya memerah saat wajah Indra menempel dengan wajahnya. Sensasi kasar karena jambang tipis cowok itu langsung terasa di wajah. Saat sedang begitu, sesuatu menyadarkan dirinya. Refleks kejut dari tubuhnya menyadarkan dia.

Lelaki itu sama terkejutnya saat tahu-tahu badan Eunoia tersentak padahal tidak ada yang mengagetkan. “Kenapa?” tanya pria itu. Dahinya berkerut saat melihat ada yang aneh dengan wanita itu. Satu tangan ditempelkan ke dahi gadis itu. “Lagi sakit ya?” Suara pria itu mendadak serak.

Perempuan berompi merah lengkap dengan lencana logo sekolah di dada kanan itu semakin ketar-ketir. Sebisa mungkin ia mengatur diri agar tidak seperti ini. Ia harus bersikap biasa saja. Tangan besar itu dihempaskan. “Apaan sih pegang-pegang!” Gadis itu memalingkan wajah.

Sungguh ia mengutuk diri yang kurang mahir matematika. Dia itu cerdas dalam segala mata pelajaran, tapi yang satu ini tidak. Ekonomi dia masih bisa, tapi matematika kurang. Enggak tahu mengapa? Jika saja pintar matematika pasti tidak harus terjebak pada situasi tidak enak ini. Situasi yang membuat sekeliling menjadi gerah, situasi yang membuatnya mendadak hendak gila karena jantung yang sedang disko, dan situasi yang membuat dia mau kabur.

PR matematika tinggal satu bagian lagi. Eunoia bisa bernapas lega saat berhasil menyelesaikan itu. Gadis itu menuju meja pojok. Menaruh buku yang disampul cokelat di atas tumpukan buku milik Adiwangsa. Ia kembali ke tempatnya dan merapikan barang-barang.

Tas hitam itu digendong. Langkah gadis itu terhenti saat mengingat ada yang lupa. Ia balik badan. “Mmm ... thanks sudah mengajari.” Eunoia langsung melangkah begitu saja.

Mata biru itu peka akan sesuatu. “Merkurius. Berhenti.” Seketika wanita itu diam.

Cowok itu bangkit dan berlari kecil. Ia berdiri di depan perempuan itu dan perempuan itu mengangkat dagu. Pemuda itu jongkok di depan wanita itu. Tangan dia aktif di sana.

Gadis itu perlahan menunduk. Menghalau rambut yang menghalangi pandangan. Detak kencang itu semakin menggila saat Indra kembali berdiri. Menatap matanya dengan sorot entah apa itu.

Indra menepuk tangan sekali. “Nanti lu jatuh di jalan. Repot karena enggak bakal ada yang menangkap.” Cowok itu membetulkan gendongan tas dan pergi begitu saja. Saat dia berjalan semua siswi yang melihat langsung menyapa genit, tapi seperti biasa tidak ditanggapi.

Tidak mau peduli apa yang terjadi sore ini, perempuan itu membelok ke timur untuk ke asrama. Lebih baik tiduran karena besok hari Jum’at dan santai mata pelajarannya.

Bersambung ....

Chapter kali ini pendek dulu ya guys. Lagi agak bingung mau nambahin apa lagi hehe. Udah segitu saja.

Jangan lupa vote sebelum next

11-01 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang