Neptunus dan Merkurius

13 0 0
                                    

Indra, Julian, dan si Kembar–Adiwangsa dan Adiwarna sedang asyik main permainan daring di belakang. Suara berisik mereka terdengar hingga keluar. Lebih tepatnya suara berisik Julian dan Adirangga. Kata-kata kasar selalu keluar setiap kali mereka geregetan.

“Yah, bangke kalah,” umpat Julian ketika permainan selesai. Laki-laki itu menjadi badmood. Tim dia sangat tidak berguna. Kebanyakan pemain baru.
Julian meletakkan ponsel di lantai. Pria itu menaikkan dagu untuk melihat siapa yang datang ke meja belakang. “Eh, ada Neng Ia,” sapa pria itu ketika melihat Eunoia yang sedang merapikan buku.

Gadis yang memakai rompi merah–seragam hari Kamis itu meliukkan badan untuk menghadap belakang. “Ia-ia. Eunoia. Ah elah nama aku kayaknya susah banget ya buat diucapin,” gerutu gadis itu karena pada tidak bisa mengucapkan namanya.

Eunoia itu sangat mudah dibaca. Evnia cara pelafalannya dalam bahasa Yunani. Kalau dalam bahasa Inggris pelafalannya Yunohya. Nama itu diambil dari bahasa Yunani yang artinya kebaikan. Kalau dari kata indah Indonesia, nama itu bermakna pemikiran indah.

“Yaelah. Anggap saja panggilan spesial dari gua.” Genit! Julian mengedipkan sebelah mata kepada lelaki itu.

Tangan kekar Rangga memkul belakang kepala Julian. “Ingat lu sudah punya. Nanti diamuk Bianca mampus lu!” kata Rangga menakuti.

Pria memakai bandana biru tua melingkar di lengan kiri itu mengibaskan tangan ke depan. “Halah, dia enggak ada. Tenang saja.” Seakan yakin kalau pacarnya tidak tahu.

“Sok-sokan tenang. Nanti kalau ada paling begini,” lelaki itu mengubah posisi jadi bersimpuh sembari mengatupkan kedua tangan. “Iya, Beb aku minta maaf. Besok enggak begitu lagi. Aku cuman bercanda kok.” Rangga memeragakan bagaimana laki-laki badboy itu memohon kepada sang pacar.

Adiwangsa tertawa karena peragaan yang ditampilkan sang kembaran. “Sudah, Jul. Kalau enggak bisa jadi playboy mending enggak usah bertingkah. Nanti gua laporin ke Bianca mampus lu.”

“Jangan dong, Mas Dwi. Mas Esa aja diam kok. Kalau nanti aku disuruh puasa nongkrong sama pacar aku,” rayu Julian dengan nada menggelikan.

“Geli, bangsat.” Rangga bergidik ngeri.
Adiwangsa berdiri dan menyamper ke meja Eunoia. “Tria, nanti habis pulang kelas ada waktu enggak? Aku mau ajak kamu jalan-jalan.” Adi tersenyum manis saat mengajak gadis itu.

Gadis diikat ekor kuda tersenyum. “Aku ada waktu kok. Kebetulan banget kita enggak ada tugas. Jadi, nanti habis aku ganti baju aku lang-” Ucapan itu belum selesai ada yang memotong.

“Dia enggak ada waktu,” cetus laki-laki yang sejak tadi diam. Lirikan mata itu sangat tajam mengarah ke gadis yang sudah cemberut. “Lu ingat kalau everyday you should come to paint room. I just remind you to change my art.”

Penuh berani gadis itu menatap iris biru manusia dingin itu. “Heh, penghuni Neptunus. Kita jadwal belajar lukis itu seminggu sekali. Cuman di hari Rabu. Jadi, selain hari itu kita enggak bakal ketemuan berdua. Mentok-mentok di kelas dan di meja sialan ini.” Eunoia protes karena ia dilarang main dengan Adi.

Suara tawa remeh mengalun halus di telinga. Indra melangkah dengan kedua tangan berada di saku celana hitam. “Siapa bilang kita cuman seminggu sekali, wahai nona Batrisyia? Siapa bilang, hm?” Kedua alis tebal itu terangkat. Senyuman manis penuh arti membuat siapa saja bisa takluk dan tunduk.

“El-elu yang kemarin bilang begitu.” Gugup sekali untuk protes. Jantungnya berdetak kencang karena wajah Indra sedekat itu. Aroma aqua dari tubuh pria itu tercium. Indra berdiri di samping mejanya sambil kedua telapak tangan ditempelkan di setiap sisi meja.
Satu alis tebal itu diangkat. “Seriously?” tanya laki-laki jangkung itu dengan suara yang berat.

11-01 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang