Giana Menyebalkan

6 0 0
                                    

Hujan mengguyur kota besar yang sering macet. Seluruh jalanan habis dimandikan oleh hujan. Petir kian menyahut satu sama lain membuat suasana menjadi mencekam. Tak lupa suara dedaunan yang sedang beradu dengan angin menambah hawa seram.

Di sebuah kafe dengan nuansa seperti di akuarium ada 2 remaja yang sedang menongkrong sambil minum segelas es. Memang aneh 2 remaja ini. Hujan-hujan yang paling enak makan atau minum sesuatu yang bikin hangat, ini malah sebaliknya. Mereka tengah asyik berfoto. Kadang mengambil gambar sudut kafe agar terlihat aesthetic saja. Biasa untuk memberi makan Instagram.

Es susu rasa cokelat itu sudah mau habis. Eunoia menolehkan kepala ke luar jendela. Pikiran dia masih belum berhenti memutar memori tadi sore. Wajah tampan yang tampak familier di Diamond Star Senior High School mulai muncul perlahan di matanya.  Segera ia halau wajah itu dan kembali fokus menunggu wanita berambut pendek yang masih menghabiskan minuman rasa matcha.

Gadis yang sedang minum itu mencabut sedotan dari mulutnya. Perlahan ia memajukan badan agar bisa menganalisis orang di depannya. “Dari tadi bengong terus. Kenapa? Mikirin cowok lu?” Sebelah alis wanita itu diangkat.

Perempuan hoodie  krem hanya tertawa kecil sambil menaikkan kedua bahu. Tangan gadis itu masih setia menekuk dan berada di atas dada. Tangan kanan menumpuk tangan kiri. “Enggak lah. Gua mana ada cowok.” Telapak tangan kanan menggosok lengan kiri.

“Affah iya dek?” Giana bertanya dengan pertanyaan meledek. Pertanyaan yang viral di dunia Tiktok.

“Iya.”

Pandangan dia kembali menatap ke luar. Masih sama seperti tadi. Hujan belum juga reda. Angin masih kencang. Langit semakin gelap. Gadis itu mengalihkan pandangan ke jam dinding putih yang menempel pada tembok tempat para karyawan membuat es. Sudah pukul 21.00. Satu jam lagi asrama ditutup dan kalau telat bisa kena masalah.

Eunoia menatap Giana yang masih asyik bermain ponsel sambil menggoyangkan kepala ke kanan ke kiri. “Cepat ya yang masih gamon sama mantan. Kita harus ke asrama,” peringatnya.

Giana menatap tak suka. “Dih, siapa yang gamon? Gua lagi berantem tahu sama mantan gua.” Bisa saja cari pembelaan. Kalau gagal move on harusnya jujur saja. Jangan banyak basa-basi.

Eunoia hanya merotasi bola mata. “Halah. Awas kalau setiap malam nyetel lagu ‘Enchanted’ lagi. Gua ketawain lu.”

Gelas plastik berisi minuman hijau sudah bersih. Sekarang ia berdiri dan mengajak temannya pulang. Dengan riang wanita itu jalan di depan Eunoia. Saat ia di depan pintu, ia menunggu Eunoia. Tidak mau jalan sendirian.

Eunoia mendorong pintu kafe. Gadis itu menyuruh Giana untuk diam dulu karena ia tahu kalau Giana tidak bisa terkena air hujan meski setetes pun. Jadi, harus ada pelindung supaya gadis rambut pendek itu tidak basah. Payung merah itu membentang agak jauh dari atap ruko kafe. Pelan-pelan Eunoia melangkah baru disusul oleh Giana.

Kupluk langsung dicantolkan ke kepala agar tidak kena hujan. Payung yang ia pegang hampir 100% untuk Giana. Eunoia mengalah karena kasihan kalau nanti Giana sakit. Giana agak sedikit manja kalau sakit. Eunoia ikhlas saja membiarkan dia memayungi teman sekamarnya.

♡♡♡

Kedua gadis itu berdiri di depan wastafel sambil menggosok gigi. Pelan-pelan gigi digosok agar tidak risiko sakit gigi. Ketika sudah merasa cukup baru mendekat ke kran dan mengumpulkan air untuk berkumur. Sisa pasta gigi sudah tidak terasa lagi di mulut. Sekarang bisa melanjutkan aktivitas kedua ; cuci muka. Botol warna hijau putih dibuka dan isian itu berada di atas telapak tangan. Kedua tangan digosokkan sampai keluar busa. Busa yang sudah banyak ditempelkan ke wajah. Perlahan tangan lentik itu mencuci wajah dengan gerakan sekali putaran, lalu dilanjut setengah putaran. Sesaat menunggu sampai meresap di wajah. Kemudian membilas busa di muka.

Eunoia melihat Giana yang masih membersihkan muka. Ia memutuskan untuk ke toilet—melakukan panggilan alam. Lima menit kemudian ia keluar dari sana dan mengambil sabun muka, sikat gigi, dan pasta gigi. Kedua kaki membawa dia keluar tempat itu.

“Tungguin.” Giana merengek karena baru selesai cuci muka. “Tunggu depan situ. Gua mau ke kamar mandi dulu.” Enak sekali Giana memerintah. Mana pakai menunjuk tempat Eunoia berdiri.

Dengan perasaan menahan kesal gadis itu menunggu. Sesekali menatap ke arah gedung Bumi yang sudah pasti ramai. Paling ramai ada di lantai 2. Pas sekali berseberangan dengan kamarnya. Seakan ditempeli lem kedua mata itu hendak menutup. Berkali-kali menggosok tengkuk karena bosan menunggu Giana yang belum selesai sejak tadi.

Ketika sudah mendengar suara pintu terbuka, pelan-pelan Eunoia melangkah ke kamar. Membuka pintu, lalu berjalan menuju kasur. Namun, ketika badan sudah menempel ke kasur tiba-tiba ada perintah dari Giana.

“Pintunya kunci ya.” Giana membereskan barang-barangnya dan meletakan di atas meja. Seenak jidat wanita itu ke meja Eunoia dan mengambil barang yang bersifat privat untuk Eunoia. HP. Barang itu adalah ponsel pink.

Santai sekali Giana mengotak-atik ponsel barang pribadi gadis itu. Buru-buru pintu dikunci dan mendekati Giana. Saat hendak mengambil ponsel dengan cepat Giana balik badan sehingga menyulitkan untuk merebut dari tangan kecil itu. Dari jauh bisa dilihat kalau Giana membuka ruang obrolannya dengan Zea, sahabat di sekolah lama. Bisa dipastikan kalau Giana akan tahu kelakuan buruk dia yang Eunoia review bersama Zea. Tidak ada reaksi apa-apa dari Giana.

Eunoia membaca situasi. Ketika Giana sudah mulai lengah baru direbut ponselnya. “Jangan buka-buka HP orang kenapa,” tegur gadis kaus biru tak suka.

“Ketahuan lu ngomongin gua sama teman lu.”

“Kenapa? Masalah buat lu?”

Giana tersenyum. “Enggak kok.” Gadis itu naik ke kasurnya. Saat miring menghadap Eunoia yang masih sibuk membersihkan kasur, gadis itu mengeluarkan suara. “Semoga bisa berjodoh dengan si pelukis cilik itu.”

Ucapan itu menghentikan tangannya. Eunoia menoleh dan menatap heran Giana yang tertawa tidak jelas. Diam—mencoba mencerna dengan apa yang terjadi. “Anjir. Lu baca ruang obrolan gua sama nomor gua sendiri? Lu buka arsip gua?”

Tidak ada wajah berdosa sama sekali di wajah Giana. Malah yang ada wajah berseri seakan gadis itu tengah memenangkan lotre. “Cie-cie. Jangan-jangan yang dimaksud pelukis cilik itu si Indra lagi. Kapan-kapan gua cepu ah ke dia.” Senyuman itu kian melebar. Seakan tahu apa rencana busuknya.

Eunoia naik ke atas kasur. “Bukan dia kali pelukis cilik yang dimaksud,” ujarnya licik.

“Terus siapa?”

“Ada deh.”

Giana bangun dan menatap Eunoia. “Siapa? Kasih tahu dong.”

Masih dengan pendirian yang kuat perempuan di kasur warna biru menggelengkan kepala kuat. Ia menarik selimut dan menutupi sebagian tubuh. Sebisa mungkin cuek dengan suara Giana dan musik volume besar itu.

Bersambung ....

Jangan lupa vote yuk sebelum lanjut

11-01 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang