He Knows

14 0 0
                                    

Kamar cat cerah, tapi disulap gelap oleh si penghuni kini tampak sepi. Hanya ada koper dan barang lain serta hanya ada pria berkaus hitam yang masih sibuk membaca buku pelajaran. Takut kalau besok ada kuis dadakan. Guru sejarah memang suka begitu. Tiba-tiba memberi kuis dan memasukkan ke dalam nilai ulangan. Jadi, tidak heran kalau misal banyak yang remedial.
Ponsel yang tergeletak di samping buku dibuka. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00, tapi kawan sekamar belum juga pulang dari latihan basket. Rasa khawatir langsung menohok jantung. Indra mengambil benda pipih itu, lalu menghubungi Adiwangsa.

“Halo,” jawab seorang pria di seberang.

“Buru balik sebelum lu kena geprek sama satpam.”

Panggilan itu dimatikan sepihak. Di asrama ini ada aturan kalau siswa siswi dilarang pulang di atas jam 11.00. Jika melewati akan diberikan hukuman. Hukumannya tergantung satpam yang jaga. Kalau baik yang jaga pasti dikasih teguran doang.

Mata biru itu mulai lelah membaca teks yang panjang dan membosankan. Netra kelam itu menangkap buku tulis yang sudah agak lusuh karena sudah lama. Buku tulis itu ia ambil dan ternyata ada sebuah cerita di sana. Cerita yang tidak pernah bosan untuk dibaca. Padahal itu hanya tulisan jujur anak kecil.

Buku itu semakin ia buka lembar demi lembar. Senyumnya merekah saat membaca bagian di mana si penulis pernah ia jahili. Indra juga tersenyum manis saat gadis itu menempelkan hasil gambarnya di buku itu. Di bawah gambar ada kalimat pujian dan motivasi. Namun, senyumnya luntur saat membaca bagian di halaman samping pas gambar tadi.

Rendra. Kamu itu parah banget tahu. Masa tadi ada teman yang menyapa dia, dia malah jutek. Enggak ada senyum-senyumnya. Judes banget dia. Cuman dia aneh. Kalau sama aku enggak judes bahkan dari kita ketemu pas pertama kali masuk SD. Dia malah agak bawel dan iseng banget. Suka tiba-tiba umpetin penghapus aku. Pokoknya aku sebal sama Rendra. Rendra jelek, judes, enggak jelas.

Buku buluk itu ia tutup. “Biarin aku jelek. Jelek-jelek begini cuman aku teman baik kamu ya, Ri. Lagian kamu lucu sih. Nanti kalau kita ketemu lagi, aku mau langsung jadiin kamu pacar. Biar enggak kabur lagi.” Sudah kayak orang gila saja bicara dengan buku.

Ceklek

Lelaki berkaus hitam terperanjat saat tiba-tiba ada yang membuka pintu. Kedua ujung alis hampir menyatu saat melihat pria memakai jersey warna biru merah sedang membungkuk sambil memegang kedua lutut dan mengatur napas. Tampaknya dia seperti orang habis lari sejauh 3 km.
Dengan langkah gontai pria itu berjalan ke kasur, lalu merobohkan badan ke sana. Tidak butuh waktu lama matanya sudah mulai terpejam.

Melihat Adi tidur membuat Indra sedikit jahil. Kertas dirobek sedikit, lalu dibentuk bola. Bola kertas itu dilempar dan ya tepat sasaran. “Badan lu bau. Jangan tidur dulu,” ucap pria itu dengan nada yang pasti ketus, jutek, dan dingin.

Adi sedikit ogah-ogahan untuk bangun. Namun, ketika aroma mematikan berhasil ia hirup dia langsung bangun dan mandi. Celana pendek, alat mandi, dan handuk langsung ia sambar. Adi langsung keluar kamar untuk pergi kamar mandi.

Indra menggelengkan kepala melihat tingkah Adi. Pria itu melangkah ke kasur karena sudah mulai lelah. Malam ini bulan sabit. Terlihat dari jendela yang ia tidak tutup apa pun.

Bulan itu indah. Keindahannya memang terletak di sinarnya, tapi ada hal yang menarik pada dewi malam itu. Dia tidak pantang menyarah menyinari bumi, meski tahu sinarnya tidak seterang matahari. Seperti Rendra yang tidak akan menyerah mencari Ria-nya.

♡♡♡

“OI, BANGUN-BANGUN.”

Langit masih gelap, tapi si pemilik zodiak Scorpio sudah teriak-teriak tidak jelas. Gadis itu masih rebahan sembari memainkan ponsel. Dia melihat ke arah seorang gadis yang masih sibuk mengumpulkan nyawa. “Bangun woi. Beli sarapan yuk, Tri,” ajak gadis itu.

11-01 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang