Baikan

16 0 0
                                    

Lima belas menit sudah benda tipis warna putih bergaris itu ditatap. Tangannya tidak berhenti menggerakkan pulpen. Lima bola kertas tercecer di meja. Sungguh hal ini adalah hal yang paling menyulitkan. Hobi menuliskan cerita romantis dan seru, tapi ketika dipraktikkan di dunia nyata malah bingung. Oh, tidak. Ini sulit sekali!

Perempuan baju biru tua itu memajukan kursi besi. Tarik napas perlahan kemudian membuang perlahan. Pikiran harus dalam keadaan jernih untuk bisa merangkai kata-kata. Diam-diam ekor matanya melirik ke arah kasur di seberang kasur tidurnya. Gadis yang dilirik masih sama. Diam seribu bahasa.

Kepala Eunoia mengangguk saat sudah menemukan ide. Cepat-cepat ia tuang ide itu ke dalam kertas. Takut lupa dengan setiap kalimat penyesalan yang sudah dirangkai manis di otak melayang begitu saja. Surat itu dibaca lagi dan bibirnya melengkung ke atas saat merasa kalau itu sudah bagus.

Sekarang tinggal memikirkan cara dia akan menyerahkan surat itu. Diberi langsung? Tidak. Terlalu gengsi untuk itu. Gadis itu bertopang dagu. Matanya terus mengawasi Giana. Ketika Giana keluar kamar barulah surat dan cokelat itu ditaruh di atas meja Giana.

Sekarang sudah pukul 07.00. Kelas akan segera dimulai 30 menit lagi. Jaket almamater biru tua disambar, lalu dipakai. Sebelum keluar kamar gadis rambut dicepol itu mengecek kembali penampilan. Takut kalau kurang cantik. Bibir pucat itu dioleskan pelembab bibir dan sekarang berubah warna menjadi pink.

Parfum warna kuning disemprotkan ke leher dan juga pergelangan tangan. Saat sudah rapi gadis itu mengambil tas hitam di sandaran kursi, lalu keluar. Eunoia duduk di depan kamar untuk memakai sepatu. Beres memakai sepatu, ia berjalan santai di sepanjang koridor.

Saat di koridor menuju toilet, Eunoia dan Giana bertemu. Mata mereka saling tatap, tapi mulut mereka terkunci. Eunoia melengos begitu saja. Ia malas kalau melihat Giana malah semakin membuat kesal hati.

Sesampainya di kelas, gadis itu hanya membuka ponsel. Kali ini ia akan menyempurnakan novel yang akan diterbitkan di penerbit mayor. Novel ini sebentar lagi diproses dan akan open pre-order secepatnya. “Finally, Rendra. Kisah kita akan terbit. Nanti kalau difilmkan aku harap Rendraku datang,” batin gadis itu.

“Selamat pagi, Tria,” sapa seorang pria dengan gaya rambut two block. Aroma citrus ciri khas dia menyapa hidung dan membicara kepada otak agar tahu siapa pemilik aroma ini.

Eunoia mendongak. “Selamat pagi, Adi,” jawab gadis itu ramah.

Pria dengan jas almamater lengkap dengan name tag di sisi kiri itu duduk di kursi depan yang masih kosong. Kursi besi warna oranye itu diputar ke belakang agar nyaman ketika duduk. “Have you breakfast?”

No, i haven’t. Why? Will you buy some of food to me?” gurau gadis yang sibuk mengeluarkan buku dan ditaruh di laci.

Tiba-tiba Adi berdiri. “Yes, i will. Wait a minute.”

Pergerakan tangan yang cepat mampu menahan tangan besar yang ada jam tangan perak itu. “Enggak usah. Aku bercanda doang. Lagian aku sudah makan.”

Adi menatap mata hazelnut itu penuh selidik. Dalam hati berkata kalau gadis ini berbohong. Memiliki jiwa melankolis membuat Adi menjadi orang perasa dan pasti peka terhadap orang lain. Bagaimana tidak peka? Wajah Eunoia saja tampak lesu.

Tanpa banyak omong, pria itu meninggalkan Eunoia sendiri. Entah mau ke mana dia pergi.

Kegiatan yang tertunda tadi langsung dilanjutkan. Cacing-cacing di perut pada berisik meminta makan. Jujur, paling kesal kalau ada suara perut dan sakit akibat lapar. Salahkan kalau pagi ini ia tidak sempat sarapan karena ulahnya sendiri semalam. Harusnya ini adalah risiko yang diterima.

11-01 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang