Happy Reading
***
Dengan langkah gontai Eunoia melangkah ke arah tempat duduk. Mood sudah berubah sejak menginjakkan kaki di depan pintu cokelat yang terbuat dari jati ini. Terbayang wajah datar seorang pria yang dingin, tapi diam-diam freak.
Ransel hitam ditaruh di kursi, lalu dia duduk di depan tas. Kepala mengangguk ketika mengamati kelas. Kelas ini lebih bagus dari sekolah dia dulu. Papan tulis besar plus bersih, bangku yang terbuat dari besi untuk bagian kerangka dan plastik untuk bagian tengah, kelas ini memiliki warna bumi untuk dinding.
Eunoia beranjak dari kursi untuk melihat-lihat pajangan-pajangan di dinding. Gadis itu melihat struktur organisasi yang terbuat dari karton warna hitam. Nama-nama pengurus ditulis di atas karton menggunakan spidol putih untuk bagan dan spidol emas untuk judul. Ketika membaca bagian ada satu nama yang membuat sepasang netra agak sayu itu tertuju pada tulisan ‘wakil ketua’. “Oh pantes sih jadi wakil. Biasanya bagian itu agak kurang dipakai,” gumamnya.
“Wakil ketua di kelas ini lebih sering dipakai daripada ketua,” celetuk seorang wanita.
Kedua bahu terangkat karena mendengar suara agak cepreng. Perempuan dengan baju pramuka itu menoleh ke belakang. Ada seorang wanita tinggi, berambut cokelat tua digerai, berkulit putih bersih, tubuhnya ideal, dan memiliki lesung pipi ketika tersenyum tengah melambaikan tangan kepadanya. Tentu sebagai manusia berakal, Eunoia membalas.
Rambut panjang yang menghalangi leher dikibas pelan agar tidak gerah. “Tadi kata kamu wakil ketua lebih banyak berguna ya? Kok bisa?” tanyanya.
“Bisa. Ketua kelas di sini sering bolos. Kalau guru tidak masuk enggak pernah minta tugas. Kelas dibiarkan ribut,” jelas gadis itu dengan suara lembut. “Makannya guru-guru lebih suka memberikan tugas lewat Indra,” sambungnya.
“Lucu ya bisa begitu. Oh iya nama kamu siapa?”
Perempuan itu tersenyum manis. “Aku Nazeela. Kamu itu Eu-” Nama yang sangat sulit diucap. Nazeela meringis saat bingung lanjutan nama itu.
“Eunoia,” kata Eunoia melanjutkan.
Gadis cantik itu menjentikkan jari. “Ah iya. Eu-no-ia.” Harus dieja supaya tidak ribet diucapkan.
“Naz, kamu jarang interaksi ya sama teman sekelas?”
Damn!
Mengapa gadis bergelang hitam bisa tahu kalau Nazeela suka menyendiri. Nazeela memang punya teman sebangku, tapi jarang bicara. Jangankan bicara menyapa saja tidak. Nazeela hanya menghabiskan waktu di dalam kelas untuk membaca buku dibanding berbicara dengan teman sekelas. Dia tahu kalau teman sekelasnya sedikit mendiskriminasi dirinya. Ia tahu kalau semua teman sekelas iri karena dia lebih kaya dari mereka.
Melihat perubahan ekspresi Nazeela membuat Eunoia menggigit bibir. Jangan-jangan ia salah bicara. “Sorry if this is make you uncomfortable. Aku enggak maksud begitu. Kemarin aku salfok sama kamu yang dari awal aku kenalan sampai pulang tidak pernah bicara sama siapa pun. Aku mau mengajak mengobrol, tapi aku bingung mau mengobrol apa sama kamu. Maaf ya, Nazeela,” ucap gadis itu tak enak hati.
Mendengar hal itu membuat hati gadis berambut panjang menghangat. Ia tak menyangka ada yang mau berniat mengajak mengobrol meski dia mengurungkan niat karena mungkin itu kepribadian Eu yang sulit berinteraksi. “Santai kali. Iya aku memang sendiri. Aku malas bergaul sama teman kelas,” kata remaja yang memakai kardigan abu-abu.
“Kalau boleh tahu mengapa tidak mau bicara sama anak kelas? Memang mereka kayak apa orangnya?”
Nazeela balik badan. Udara dihirup kuat-kuat, lalu pelan-pelan dibuang. Netra kelam itu menutup untuk menetralkan pikiran. Dia tidak ingin emosi saat menjelaskan teman sekelasnya. “Mereka suka ngacangin aku setiap kali aku ngomong,” jawab Nazeela singkat.
Gadis bermata hazelnut mengangguk paham. Kedua kakinya melangkah dari samping badan Nazeela dan berhenti di depan Nazeela. Eunoia menatap sorot kelam itu dengan hangat. Ia sedikit sedih karena hal itu. “Sudah jangan sedih. Kalau you butuh teman cerita, you bisa kok cerita sama I. Itu pun kalau you mau,” tawar gadis setinggi alis lawan bicara.
Nazeela tersenyum senang saat ada yang mau dijadikan tempat cerita. Memang sejak dari mengobrol membahas ketua kelas dan wakil ketua kelas, Eunoia tampak antusias diajak mengobrol. Bahkan Eu yang menanyakan namanya tanpa Nazeela memberitahu dahulu.
Tatapan kelam itu berubah menganalisis apa benar kalau manusia di depan matanya ini baik atau hanya karena iba atau ada mau? Setelah sekian menit diam akhirnya Nazeela mengangguk. Ia yakin kalau teman barunya tidak akan jahat.
Sudah panas saja pagi hari ini. Keringat sudah mulai mengucur di belakang leher dan di pelipis. Karet hitam di pergelangan diambil, lalu tangannya bergerak mengikat rambut. “Kamu ada ikut organisasi atau ekstrakurikuler enggak?” Lawan bicaranya hanya mengangguk. Eunoia jadi hanya mengangguk untuk membalas.
“Ikut ekskul apa?”
“Jurnalistik. Aku suka banget baca berita dan menganalisis apa yang terjadi di berita. Kamu mau join tidak ke jurnalistik?”
Penuh antusias Eunoia mengangguk. “Banget. Aku juga suka menulis kok. Meski cuman menulis cerita begitu.”
“Wuih! Cerita apa memang?”
“Cuman cerita anak SMA gitu deh,” jawab Eu remeh.
Binar takjub terpancar pada sorot kelam itu. “Keren dong bisa bikin cerita begitu. Itu tuh butuh imajinasi yang kuat untuk bisa membangun karakter dan alur cerita. Kamu bisa begitu itu keren!” Pujian itu tulus dari hati.
“Terima kasih lho. Kamu juga keren mau menganalisis berita. Aku mah boro-boro mau analisis. Baca berita saja malas.” Eunoia terkekeh.
Satu tangan putih itu terulur memegang pundak kanan temannya. “Kesukaan orang beda-beda. Kita keren kok.” Nazeela menepuk-nepuk pundak itu. “Kamu dapat gedung apa? Terus nomor berapa?”
“Venus 207.”
Bagai diberi sinyal takut saat mendengar mendengar nama gedung dan nomor kamar itu. Seakan tak asing dengan penghuni lama kamar itu. “Kamu satu roommate sama yang namanya Giana yang orang Batak itu?” tanya Nazeela menggebu.
Kaget saat Nazeela tahu siapa nama teman kamarnya. Padahal belum disebut sejak tadi. “Iya aku roommate-an sama dia. Why? Ada sesuatu sama Giana?” Penasaran dalam hatinya semakin tumbuh saat menyangkut teman baru rasa teman lamanya itu.
Hanya senyuman dan gelengan kepala sebagai jawaban. “GWS ya dekat sama dia.” Kalimat itu terdengar seperti pesan tersirat.
Eunoia termenung sesaat. Ada apa sih dengan Giana? Mengapa Nazeela berkata seperti itu? Apa sebelumnya Nazeela dan Giana pernah dekat? Atau ada apa sih sebenarnya? Ah, tahu ah. Sekolah ini lagi-lagi membuat kepala pusing.
♡♡♡
Ting
Denting ponsel di bawah meja mengganggu fokus bengong. Sejak kejadian tadi pagi isi kepalanya penuh pertanyaan. Siapa seorang Giana sebenarnya? Daripada pusing lebih baik membuka siapa yang chat.
Bagai punya ikatan batin. Orang yang mengirim pesan itu adalah teman sekamar.
Giana
Tria. Lagi di mana?
KAMU SEDANG MEMBACA
11-01
Teen Fiction"Kita abadi pada karya masing-masing" Batrisyia Bestari Eunoia Rembulan pindah sekolah karena titah dari orang tuanya. Eunoia pindah ke sekolah bergengsi bernama Diamond Star Senior High School. Sekolah yang jauh dari tempat tinggalnya. Eunoia ber...