๑๑๑
“Dunia gue ini lucu. Semuanya selalu memainkan lelucon mereka masing-masing.”
• Alcantara Larenzo
๑๑๑
SUARA pintu yang terbuka dengan kasar membuat seisi kelas menatap ke sang pelaku. Seorang cowok tinggi dengan dua kancing seragamnya—terbuka menampilkan kaus hitam yang ia gunakan. Tak lupa juga bajunya tidak dimasukan kedalam celana. Memakai dasi yang juga terlihat tidak rapih.
"Kamu bisa gak, sih, pelan sedikit?" ujar seorang wanita—yang ternyata berjalan mengekori cowok itu. Wanita berbadan sedikit gendut itu menatap heran pada Alcantara, ya, cowok itu Alcantara.
Bu Risma menarik lengan Alcantara saat melihat cowok itu ingin duduk. "Perkenalkan dulu nama kamu."
Alcantara mendengkus. "Kenapa harus kenalan? Banyak kali, Bu, yang kenal sama saya."
"Kamu kan orang baru di kelas ini, jadi kamu perlu kenalan!" balas Bu Risma dengan geram.
Alcantara terpaksa kembali berdiri didepan papan tulis, menghadap kearah teman sekelasnya yang kini tak lepas pandangannya dari dirinya.
"Kenalin, gue Alcantara Larenzo. Pindahan dari kelas Bahasa tiga, salam kenal semuanya." Alcantara tersenyum miring yang terlihat sangat terpaksa.
"Baik, kamu boleh duduk disana. Kursi yang masih kosong," kata Bu Risma menunjuk salah satu bangku yang kosong. Ntah orang itu tak berangkat sekolah, atau memang bangkunya yang kosong.
"Widih, bakal satu meja sama si cengeng itu."
Alcantara sedikit heran dengan ucapan cowok itu, namun dia tak menghiraukan. Hanya duduk ditempat yang memang kosong tersebut.
"Al, lo kok pindah?" pertanyaan itu terlontar dari seorang siswa yang duduk didepannya.
Alcantara menghela nafas kasar. "Di Bahasa tiga banyak setannya," balas Alcantara asal.
Bahasa tiga, kelas ia sebelumnya. Dia harus perkenalan saat masuk kelas, bukan karena dia anak baru. Tapi Alcantara dipindahkan dari kelas Bahasa tiga, pindah ke Bahasa dua.
Setelah mendengar beberapa wawancara dan ceramah dari ruang kesiswaan selama hampir dua jam. Empat orang cowok keluar dari ruangan kesiswaan. Wajah mereka tampak lesu, seperti tak ada lagi tanda-tanda kehidupan dari empat cowok tersebut.
"Argh! Kesel banget gue. Masa iya tuh guru main pindah-pindah kelas gue aja. Gue, kan, gak bisa belajar tanpa Gav!" Zena berdecak.
Gavin, atau yang biasanya disebut Gav, merasa dirinya disebut menghela nafas kasar. "Mangkanya, udah gue bilang, kalo lagi di kelas jangan ribut dulu. Masalah kaya gitu, mah, kita omongin diluar kelas juga bisa, 'kan?" katanya.
"Udah terjadi, gak perlu disesali. Udah kita protes tadi aja, masih gak dipeduliin, udahlah ikutin aja," sahut Alcantara.
"Masih untung kelas kita berjejeran!" ucap Putra.
Hal buruk yang terjadi saat ini, keempat cowok itu harus menerima nasib yang begitu tersiksa bagi mereka. Berpisah kelas. Ini semua karena mereka saat jam pelajaran sejarah sangat berisik, bahkan hingga membuat guru sejarah itu marah besar pada mereka. Tak cukup sampai disitu, ketika mereka diluar kelas, malah mengganggu beberapa temannya yang lain. Membuat semakin ngamuk guru sejarah karena ulah mereka.
Kini, Alcantara, Gavin, Zena dan Putra harus menerima resiko ini. Mereka berempat—yang sudah sering membuat guru mengamuk, harus dipisah kelasnya. Karena menurut guru-guru, empat sejoli itu jika disatukan sangat meresahkan. Apalagi jika penyakit jahil mereka sudah keluar, seperti ada bahaya yang mengancam.
Alcantara terlihat santai. Dia tidak terlalu memusingkan soal itu, memang dia kecewa keputusannya seperti ini. Namun setidaknya dia dan teman-temannya tidak mendapatkan sanksi yang berat.
"Lo mah enak, Al, Gav. Otaknya pinter, gak perlu mikirin gimana dapet kelas baru. Lah gue sama Putra?" ujar Zena yang terus mengeluh, karena dirinya dipisahkan dari dua temannya yang selalu menjadi tumpuannya saat belajar. Kini, dia hanya bisa membayangkan nasibnya, mendapat kelas baru tanpa mereka.
Putra mendengkus. "Minimal, kita dua-duaan lah gitu dibaginya. Inimah berempat langsung sekaligus dipisah satu-satu, emang nyebelin banget tuh guru!" kata Putra.
"Yasudah lah, mau gimana lagi?" kata Alcantara yang hanya pasrah sejak tadi. Cowok itu terlihat lebih tenang. Bukan hanya karena dia pintar dan tak takut dipisahkan dari teman-temannya, tapi memang pembawaannya yang selalu tenang dan tak panik.
๑๑๑
Pagi hari yang tak seperti biasanya, Alcantara merasa ada yang kurang saat dirinya masuk kedalam kelas. Tak melihat lagi teman-temannya yang selalu ada dalam kelas. Mereka fikir kelas mereka akan berurutan karena dari Bahasa 3 ke Bahasa 7, nyatanya kelas mereka berjauhan.
Alcantara melempar tasnya asal keatas meja. Cowok itu duduk dikursi tersebut, wajahnya terlihat sangat kesal. Dia menekuk tangannya di atas meja, menenggelamkan wajahnya. Rasanya benar-benar garing disini, bahkan Alcantara tak menemukan hal-hal random disini. Semua siswa-siswi disini terlihat diam, tak ada satupun yang sefrekuensi dengannya—pikirnya.
"Heh! Kamu siapa?"
Alcantara merasa ada yang menepuk pundaknya, membuat cowok itu menoleh pada perempuan yang berdiri dihadapannya. Alcantara menaikan alisnya seolah bertanya pada cewek itu.
"Ini tempat duduk aku, kok kamu ada disini?" tanya perempuan dengan rambut panjang yang terurai, dan terlihat ada jepitan bunga disisi kirinya.
"Ini juga udah jadi tempat duduk gue," balas Alcantara malas. Cowok itu kembali menenggelamkan wajahnya tak peduli pada cewek yang masih bertanya-tanya tersebut.
Elnasya menggaruk kepalanya. "Kamu murid baru? Sejak kapan?" tanya Elnasya, namun tak ada satupun jawaban dari seorang Alcantara.
Saat bel masuk sudah berbunyi, Elnasya segera duduk ditempatnya—samping Alcantara. Cewek itu terlihat mengeluarkan buku paket matematikanya. Alcantara juga melakukan hal yang sama, cowok itu langsung duduk dengan tegap dan mengeluarkan buku-bukunya.
"Nama kamu Alcantara?" tanya Elnasya yang mengintip saat Alcantara membuka buku tulisnya, didepan buku tersebut terlihat nama ‘Alcantara Larenzo’
Sementara Alcantara tampak acuh, dia juga sama sekali tak memperdulikan kehadiran cewek disampingnya. "Emm, maaf, kamu pindahan dari mana?" tanya Elnasya lagi.
"Kamu dari kota mana? Ceritain dong di kota kamu ada tempat apa aja, makanan apa aja!" ujar Elnasya lagi.
Alcantara menatap cewek disampingnya, Elnasya tersenyum girang merasa ucapannya disahuti oleh cowok itu. "Lo bisa diem, gak? Berisik banget jadi orang!" celetuk Alcantara, membuat senyum Elnasya memudar seketika.
Elnasya menghadap kedepan kembali, mengehela nafas kasar. "Ternyata semua orang itu tetep sama aja." gumamnya sendiri.
๑๑๑
Hi temen-temen, jangan lupa vote & komen ya! Semoga kalian sehat selalu ❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen Fiction-Nyatanya, pertemuan kita bukan hanya sekedar kebetulan. Melainkan takdir Tuhan yang menyuruh kita sama-sama bertahan- Bukan hanya cerita tentang dua pasangan, yang berawal dari sebuah penasaran tentang rasa sakit pada diri mereka masing-masing. Nam...