“Jika memang masa lalu itu hanya sebuah memori manis yang tak bisa kembali, izinkan aku untuk menetap pada masa lalu saja untuk selamanya.”
• Alcantara Larenzo
๑๑๑
ALCANTARA memasuki rumahnya. Cowok itu segera turun dan berjalan masuk ke dalam rumah, beruntung ayahnya sudah berangkat ke kantor. Biasanya, jika Imlek memang suka mengadakan acara disana. Menghormati para pegawainya yang umat Khonghucu.
Dulu, saat Alcantara kecil juga sering ikut ke kantor ayahnya. Merayakan Imlek di sana, melihat barongsai yang membagi-bagi ampau, itu yang paling anak-anak sukai.
Namun, kini anak-anak itu sudah tidak ada lagi. Sudah bertumbuh besar dengan perjalanan hidupnya sendiri.
Cowok itu melangkah menuju kamarnya yang di lantai dua, namun langkahnya terhenti saat bunda memanggilnya.
"Al, kok kamu baru pulang?" tanyanya.
Alcantara menyerahkan sebuah totte bag yang ia sendiri tak tahu berisi apa. "Ini, dari Tante Elisa."
Gita mengerutkan keningnya, menerima sebuah tas itu. "Tante Elisa? Kamu kok bisa ketemu dia?" tanya Gita.
"Tadi, kan, aku sama anaknya jalan bareng. Kehujanan, Alca kerumahnya dulu. Ketemu sama tante Elisa." Jelas Alcantara.
"Anak tante Elisa, yang cantik itu ya Bun?" sahut Angkara yang tengah membuka kulkas, mencari-cari makanan disana.
Gita mengangguk. "Iya, yang anak perempuannya. Kalo yang laki, masa iya cantik," balas Gita.
"Lo tau nomor telponnya, Al?" tanya Angkara.
Alcantara mendengkus kesal. "Kalo punya, ngapain juga gue harus kasih ke elo, gak penting banget."
"Dia cantik, gue suka." Angkara berbicara sambil meminum susu kotak cokelat ditangannya.
Ucapan Angkara barusan membuat Alcantara terkejut. "Dia punya gue."
Kini Gita dan Angkara juga kaget. Apalagi Angkara yang menyembur minumannya ke depan, beruntung tak ada yang dekat dengannya.
"Kenapa?" tanya Alcantara bingung.
"Gue aja punya nomornya, tiap hari chatingan. Lo gak punya, gimana bisa jadi punya lo!" Angkara tertawa sekarang.
Alcantara menatap datar kakaknya itu. "Lo lupa, gue yang selama ini deket sama dia. Dia, cuma punya gue!"
Angkara terkekeh pelan. "Terserah, deh. Liat aja siapa yang bisa dapetin dia," ujar Angkara.
Hati Alcantara kian memanas, menatap kakaknya dengan tajam. "Liat juga, kalo sampe lo rebut dia dari gue. Gue bak—"
Sebelum perdebatan itu terjadi, Gita melerai keduanya. "Sudah, lebih baik kamu masuk ke kamar, Alca. Dari semalam kamu tidak pulang, istirahat dan ganti bajumu."
Alcantara menghela nafas kasar. "Tumben." Cowok itu melengos menuju kamarnya.
Gita menatap anaknya itu. Lalu pandangannya kembali pada Angkara, yang tengah makan roti cokelat di atas meja. "Jangan suka memancing adik kamu, Kar,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen Fiction-Nyatanya, pertemuan kita bukan hanya sekedar kebetulan. Melainkan takdir Tuhan yang menyuruh kita sama-sama bertahan- Bukan hanya cerita tentang dua pasangan, yang berawal dari sebuah penasaran tentang rasa sakit pada diri mereka masing-masing. Nam...