2. ๑ Difference

24 2 0
                                    

“SENYUM, salah satu kepalsuan yang sering ditunjukkan oleh banyak manusia.”

• Alcantara Larenzo

๑๑๑

ALCANTARA menarik kursi—membanting bokongnya dengan kasar. Membuat ketiga temannya menatap heran pada cowok itu. Tidak biasa Alcantara terlihat murung kali ini, biasanya hidup seorang Alcantara hanya tenang-tenang saja.

"Lo kenapa?" tanya Zena melihat raut wajah Alcantara yang nampak lelah.

"Gapapa, cuma capek sedikit," balas Alcantara. Cowok itu berjalan memesan makanan untuk dirinya makan, perutnya sudah bunyi sejak tadi.

Saat Alcantara duduk kembali ke tempatnya. Putra bertanya pada cowok itu. "Gue liat tadi lo di lapangan, lo dihukum, Al?" tanya Putra.

Alcantara memakan bakso yang membuat pipinya menggembung sebelah. "Iya, gue kesel banget hari ini. Mana panas banget gitu."

"Kenapa bisa dihukum?" kini Gavin yang bertanya.

Alcantara menelan baksonya, setelah itu ia menegak air mineral. Menghela nafas kasar. "Gue kan, mau jawab soal dipapan tulis. Eh, gak bisa, malah dihukum."

"Tumben lo gak bisa jawab pertanyaan dari guru," ujar Zena.

Alcantara berdecak. "Gak tau, mendadak gak ngerti sama soal-soal itu. Gue jadi pusing sendiri."

"Ngomong-ngomong, gimana kelas kalian?" tanya Putra pada teman-temannya.

"Gitu-gitu aja, bosen gue!" desah Gavin.

Zena mengangguk setuju. "Sama! Kelas gue gak ada yang asik sama sekali, gak bisa gue ajak bercanda orang-orangnya. Maklum, Bahasa 1 kan, kelas kebanggaan para guru."

"Kalo gue, sih, seneng! Ada timbal baliknya lah karena gue pindah dari Bahasa tiga ke Bahasa empat." Putra terlihat sangat senang karena raut wajahnya.

"Yaiyalah lo seneng. Jadinya, lo sekelas kan sama Dini? Cewek lo itu?" ucap Zena malas, Putra hanya cengengesan saja.

Kini pandangan ketiga cowok itu pada Alcantara yang masih sibuk makan, terlihat makannya dengan sangat lahap. Mudah-mudahan tak tersedak bakso.

"Kalo lo, Al? Menurut lo, kelas baru lo gimana?" tanya Gavin pada Alcantara.

Alcantara mendengkus. "Sebenernya ya biasa-biasa aja, sih. Tapi gue makin penasaran sama kelas itu, sebenarnya ada apa ya."

Putra mengerutkan keningnya. "Ada apa gimana, dah?" tanyanya kepo.

Alcantara menerawang. "Ya kayak ada yang janggal aja, mereka itu anaknya pada kalem-kalem. Ya Bahasa dua kan, sama, kaya Bahasa satu. Masih dianggap kelas kebanggaan, tapi yang buat gue aneh. Mereka itu selalu fokus sama satu orang."

"Maksud lo gimana? Gue gak paham." sahut Zena.

"Gue juga susah ngejelasinnya, ya pokonya gue gak bahagia-bahagia amat disana. Yang ada gue mendadak jadi manusia mati rasa, yang gak peduli isi kelas itu." Alcantara kembali makan baksonya.

Gavin menerawang. "Apa maksud lo janggal itu, ada sosok menyeramkan di Bahasa dua?" tanya Gavin.

"Mungkin," balas Alcantara asal. Ya, walaupun setahu dia sosoknya itu bukan berbentuk makhluk astral.

"Serem banget, dong. Sejak kapan Bahasa dua jadi tempat angker begitu?" imbuh Zena.

Alcantara mengangkat pundaknya menandakan ‘tak tahu.’

Iridescent Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang