31. ๑ Liberosis

8 0 0
                                    

“Aku mencoba mengizinkan orang-orang masuk kedalam rumahku, namun tak ada yang aku izinkan untuk menetap. Mereka terlalu menyakitian.
Dan ternyata, saat kamu mulai mencoba memasukinya. Aku ingin kamu terus menetap.”

• Elnasya Anatara

๑๑๑

HARI sudah mulai gelap, Alcantara yang sedang duduk di depan tendanya melihat beberapa orang yang kini sudah datang. Ia juga melihat tiga temannya yang berjalan kearah tenda, mereka sangat terlihat lesu. Tiga cowok itu langsung terkapar diatas karpet depan tenda. Mengatur nafas mereka.

"Tau bakalan kayak gini. Mending gue juga ikut sakit sama lo Al," ujar Putra yang nampaknya sangat kelelahan.

Alcantara terkekeh. "Emang ngapain aja tadi?"

"Banyak, capek pokoknya," kata Putra.

Alcantara hanya mengangguk-angguk saja menanggapi. Tiga temannya itu kini berbaring dengan posisi terlentang, menatap langit oranye. Mereka terlihat sangat lelah sekali, memang. Alcantara tahu mereka berangkat dari jam 9 sampai sore begini, entah apa yang mereka lakukan di dalam hutan sana.

Mata Alcantara lagi-lagi memicing, perempuan dengan rambut panjangnya itu kembali kelihatan. Alcantara memasukan dia ke dalam pandangannya, terus memperhatikan perempuan diujung sana. Setiap gerak-geriknya, ekspresi wajah perempuan itu yang sedang diam, tersenyum tipis dan tertawa Alcantara tak terlewatkan.

Ternyata dia seindah itu. Tiba-tiba bibir Alcantara membentuk senyuman tipis, entah kenapa menatap perempuan itu kini sangat menyenangkan.

"Ngomong-ngomong, lo ngapain aja disini Al? Gak bosen emangnya?" tanya Zena. Sementara tak ada balasan dari temannya itu, Zena bangkit dan melihat Alcantara senyum-senyum.

Zena menghela nafas kasar. "Udah gila kayaknya nih anak."

Gavin dan Putra juga ikut bangkit, menatap Alcantara juga heran. Mereka mengikuti arah pandangan Alcantara, melihat Elnasya yang sedang duduk depan tendanya. Jarak tenda mereka cukup jauh, tapi masih bisa terlihat dengan jelas.

"Serius kayaknya lagi jatuh cinta," Gavin menggeleng-geleng sambil terkekeh.

Zena menepuk punggung Alca, membuat cowok itu terpelonjak menatap Zena. "Ngagetin aja monyet!" decak Alcantara sebal.

"Ya lagian, diajak ngobrol dari tadi diem mulu. Liatin apa?" kekeh Zena.

Alcantara memutar bola matanya malas. "Sana lo bertiga mandi, keringetan semua, bau."

"Enak aja lo, masih wangi gini. Kagak percaya cium ketek gue!" sahut Putra.

"Suka, kan, lo sama El?" Gavin tertawa. "Lagian, suka cuma bisa ngeliatin doang. Gak gentle amat."

"Bodoamat, bukan urusan lo juga," balas Alcantara.

"Hahaha, oke-oke, gitu ya sekarang!" ujar Gavin.

Kini Gavin masuk ke dalam tenda, mengambil perlengkapan mandinya dan baju ganti. Hingga Zena dan Putra juga mengikutinya, sementara Alcantara kini sibuk dengan ponselnya.

"Lo mau temani gue mandi, gak, Al?" tanya Zena.

"Ogah," balas Alcantara.

Lalu ketiga temannya meninggalkan Alca di tenda, cowok itu berniat untuk membuat api unggun kecil-kecilan dekat tendanya. Malam ini sepertinya akan terasa cukup dingin, tapi Alca tidak menemukan korek api. Jadi dia memutuskan membuat kopi saja, untung Zena membawa kompor kecil jadi bisa memasak air.

Iridescent Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang