Bagian 1: Harta Kerajaan

24 4 0
                                    

Nuansa yang remang-remang, mentari siang yang memburamkan pandangan, pada sebuah istana kerajaan tradisional.

Seorang gadis berpangku pada ibunya, dielus kepalanya, diberi senyum kasih sayang yang tulus.

Ibu dari gadis itu mengangkat bibirnya, berkata sesuatu pada gadis kecilnya.

“Jika kau memiliki masalah yang tak bisa kau selesaikan sendiri, cobalah untuk mengunjungi pantai dan rasakan ombak lautan.”

Angin sejuk berhembus memasuki ruangan, meniup surai gadis itu.

Gadis itu tumbuh remaja, tidak merasakan pangkuan dari Ibunya lagi, posisinya berganti seiring kilas hembusan angin tadi, kini mendapati Ibunya terbaring pada pangkuannya, terpejam mata dengan senyum damai walaupun tubuhnya memucat.

Berganti tempat pada sebuah pantai, ombak membasahi pangkuannya, matanya bagai permata mirah delima memandangi langit, bermandikan sinar mentari tengah hari, membuatnya tampak memiliki cahayanya sendiri.

Gadis itu mengangkat lengannya, merentangkannya seakan ingin menggenggam mentari, memandangi kulitnya yang bersinar indah.

Terbangun.

“Selamat pagi, Ayu Kandita.”

Tangannya menggapai kehampaan di atasnya, mendapati pemandangan langit-langit kamarnya yang tinggi.

Bangunnya disambut oleh seorang babu perempuan, telah pada waktunya membangunkannya untuk sarapan.

Gadis itu, Kandita, terjeda sesaat memandangi kulit lengannya yang menerima secercah sinar mentari yang masuk dari jendela kamarnya, menyaksikan kilau indah kulitnya, walau tak seindah dalam mimpinya baru saja.

Kandita menarik lengannya kembali, mengangkat dirinya bangun dari kasur. Babunya memberikan kain gaun baru dan kebaya untuk pakaian hari ini. Selagi mengganti pakaiannya, rambutnya disisir rapi oleh babunya, kemudian diikat sanggul olehnya sendiri.

Tiba pada meja makan.

“Selamat pagi, Kandita~”

“Selamat pagi, Kanjeng Ambu~ Halo, Mas Kumara~”

Para babu menyajikan berbagai macam hidangan lezat untuk sarapan, di atas meja makan yang dihadiri oleh Kandita, Ibu tirinya, adik tirinya, dan Sang Raja.

Selain kesibukan dari Ibu tiri Kandita yang menyuap putranya yang masih balita, meja makan berkemul nuansa canggung antara Kandita dan Sang Raja.

Kandita, putri kandung Raja, berparas cantik dan bersifat lemah lembut.

Raja Munding Wangi, pemimpin Kerajaan Galuh, terkenal bijaksana dan peduli kepada rakyatnya.

Dwi Mutiara, permaisuri kedua Sang Raja, yang menjadikannya Ibu tiri untuk Kandita, melahirkan seorang putra, Kumara, yang menjadikannya adik tiri untuk Kandita.

“Ehm ….”

Sang Raja berdeham, membuat ragu babu di sekitar akan hidangan yang kurang disukai oleh Sang Raja.

“Kandita, aku minta maaf atas keputusanku kemarin.”

Mendengar ucapan Sang Raja diarahkan kepadanya, Kandita menjeda santapannya.

“Tidak apa-apa, Gusti Prabu. Saya sadar akan ketidaklayakan diri ini untuk memimpin sebuah keraton sebagai perempuan.”

“Itu, sedikit salah. Tidak ada maksud diskriminatif di balik alasan ini. Aku hanya khawatir pada masa depanmu kala memimpin keraton ini, kelak kau menjadi istri dan ibu yang membuat peranmu menambah bebanmu dalam mengurus keraton.”

Nyai Rara KidulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang