Bagian 7: Tenggelam

4 0 0
                                    

Setengah hari perjalanan, Kandita memaksa dirinya untuk berjalan menuju ke pantai laut selatan. Sedari awal Kandita mengikuti tanah gundul yang dibuat oleh tukang kebun sebagai jalanan, kini ia tiba pada kebun pohon aren dan tidak ada lagi jalanan.

Apa yang ada setelah kebun itu adalah hutan liar yang belum terjamah oleh orang-orang, ada banyak serangga dan hewan buas menghuni hutan tersebut, bentuk lingkungan yang tidak selalu bisa dilintasi hanya dengan berjalan lurus.

Kandita tetap memasuki hutan itu, tak peduli kondisinya yang sedang sakit parah.

Petang.

Langit mulai remang-remang, mentari mulai terbenam, hari mulai berganti malam.

Saat ini, Kandita merebah di sebuah pohon dekat sungai.

Sungai itu terlalu lebar untuk diseberangi, kedalamannya mencapai satu hasta, dan arusnya lumayan deras. Kandita tidak bisa melintasi sungai tersebut, itulah sebabnya ia berhenti merebah.

Kebanyakan barang Kandita ditinggalkan di kereta kuda tadi, dia tidak mampu membawa semua barangnya dengan kondisi saat ini, apa yang Kandita ambil hanya sekantong kue kering dan air yang ditampung dalam wadah bambu.

Di waktu luang ini, Kandita menyantap sedikit kue keringnya untuk mengisi tenaga, ia harus memperkirakan kapan makanan dan minumannya habis dengan selera makannya yang sedemikian, sebab Kandita tak tau sejauh mana pantai laut selatan dan berapa lama untuk mencapainya.

Kandita memutuskan untuk beristirahat di pinggir sungai ini untuk malam ini, berkemul selendangnya bila angin malam terlalu dingin.

Malam yang dimiliki Kandita sangat tidak nyaman, ia masih tak bisa tertidur karena sakit yang selalu dirasakannya, juga dengan kerumunan nyamuk dan lalat yang mengganggunya.

Belum larut malam, dan pikiran Kandita telah menumpuk.

Musibah yang sedang menimpanya membuatnya merasa segalanya tak nyata, pandangan kosongnya bertanya-tanya mengapa ia harus mengalami sakit ini, padahal sehari sebelumnya ia masih menjalani kehidupannya di istana, bertenun dan makan bersama dengan keluarganya.

Kandita berharap semua ini hanyalah mimpi buruk, berharap akan segera terbangun, di tengah keadaannya yang kesulitan untuk tidur seperti ini.

Di tengah kegelapan malam, tak tau harus memandangi apa, dan ia akan melalui malam seperti ini esok hari, dan ditakutkannya hingga seumur hidupnya.

Rasanya ingin menyerah saja untuk hidup, tetapi Kandita bersikeras untuk setidaknya mencapai pantai laut selatan, setelah itu barulah ia memikirkan ingin melakukan apa.

Esok hari.

Tidak memungkinkan untuk menyeberangi sungai, Kandita menelusuri pinggir sungai mencari jalan menyeberang, setengah hari berjalan ke timur lalu menemukan bebatuan di antaranya yang cukup untuk dipijak menyeberang. Tentu saja, dia terus memerhatikan arah selatan agar tak kehilangan arah.

Terus berjalan, menemui ranting pohon kering menumpuk dengan semak-semak lebat menutupi jalan, Kandita mencari jalan memutar, lagi-lagi ke timur, dan terus memastikan bahwa ia menuju ke selatan.

Malam hari, Kandita merasa sangat gatal karena bergesek dengan dedaunan berbulu kasar.

Kandita memandangi langit malam, memastikan letak bintang terang di selatan berada di hadapannya, menjadikannya petunjuk arah selatan.

Esok hari.

Kandita menaiki bukit, menghindari sarang laba-laba yang terlihat ukurannya sebesar tangannya, menemukan pohon pisang yang kemudian ia ambil buahnya, turun bukit dan pijakannya tak seimbang, Kandita jatuh berguling dan ranting-ranting pohon kering yang berserakan di tanah menusuk-nusuk badannya.

Nyai Rara KidulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang