Sasandoro, pada masa gadisnya, dipertemukan dengan sesosok lelembut ular raksasa.
Ular itu bertarung melawan buaya putih raksasa di bawah laut, dan berhasil mengalahkannya.
Dengan ramah ular itu mendekati Sasandoro, Sasandoro pun menunjukkan senyum yang lembut memberikannya pujian.
“Kau sangat kuat~”
“Dengan ini aku akan menjagamu seumur hidupku.”
Dari situ diketahui bahwa Sasandoro dan ular itu saling menyukai, sebab mereka telah bertunangan.
Berganti masa dan tempat, Sasandoro tiba di permukaan, di suatu rawa, menemukan mayat ular raksasa yang terikat dengan tali terpasak ke tanah, mulutnya dicengkal beberapa tombak sehingga tidak bisa mengatup lagi.
“Dia tak sengaja melahap 8 anak manusia, karena itu Aji Saka menjatuhkannya hukuman mati.”
Laporan tiba pada Sang Dewi, sebuah kabar bahwa ular itu dihukum mati. Sasandoro tidak mengerti nilai dari 8 nyawa anak manusia yang terlahap itu, terlebih lagi itu terjadi tanpa disengaja. Sasandoro merasakan sedih atas kematian tunangannya, dan murka kepada sosok yang disebut Aji Saka, yang adalah manusia.
Telah diketahui bahwa bangsa nommo diperbudak oleh manusia, tetapi Sang Dewi masih sanggup meminta langsung untuk rakyatnya dipulangkan, saat itu Sasandoro memandang manusia hanya sekadar makhluk yang tidak ramah. Kini, menyaksikan sosok yang dicintainya tewas karena manusia, Sasandoro menaruh kebencian pada manusia secara keseluruhan.
Untuk menghargai mendiang tunangannya, Sasandoro menjelmakan ekor ular raksasa pada dirinya.
Membuka mata.
Sasandoro terbangun dari mimpinya, terjeda sesaat terpikir oleh mimpinya, rambutnya terurai melayang karena di dalam air, ia kemudian mengikat rambutnya dan beranjak dari jaring tidurnya.
Di ruang depan istana, telah berkumpul sekiranya lebih dari 10 prajurit untuk mengawali pelaksanaan pencarian yang diperbudak oleh kaum permukaan. Terlihat pula Kandita yang telah hadir di sana berdiam canggung, mengenakan kebaya hijau berhias rajutan kuning mengkilap seperti emas, pakaian baru yang diberikan kepadanya, dan selendang yang sering dipakainya.
Sasandoro tiba, mengenakan pakaian berhias rajutan emas serupa Kandita, mahkota kecil yang terbuat dari emas, pelat emas dipakaikan pada ekornya sebagai zirah, dan membawa sebuah lembing.
Sang Dewi hadir di singgasananya, memulai pidatonya.
“Wahai rakyat Marakata!
Hari ini, kita akan menjemput keluarga kita yang ditawan di permukaan.
Kita tidak akan melakukan kekerasan.
Kita harus menunjukkan kewibawaan bangsa kita, sebab kita datang bukan untuk mencuri, melainkan mengambil kembali apa yang dahulu adalah bagian dari kita.
Atas nama bangsa kita, dan atas nama Marakata!
Udaya!”
※ Bisa berarti “Naik” atau “Bangkit”.“““Udaya—!!!”””
Usai pidato, para hadirin di ruangan tersebut menyorak, begitu pula dengan para prajurit, terkecuali Kandita yang bingung dan Sasandoro yang hening masam.
Kandita, Sasandoro, dan para prajurit pun berangkat berenang ke permukaan. Kandita semakin didahului karena belum pandai berenang dengan cepat, tetapi seorang prajurit memberikan punggungnya untuk menggendong Kandita, Kandita yang malu tak ingin mendekap dan hanya memegang erat pundaknya.
Berenang naik.
Wilayah sekitar kerajaan Marakata hanya terdapat ikan kecil dan cumi-cumi, di dasarnya terdapat moluska laut dan kepiting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyai Rara Kidul
Historical Fictionᮑᮤ ᮛᮛ ᮊᮤᮓᮥᮜ᮪ Penulis: JoeTIC Ilustrator: JoeTIC ⚠️English available⚠️ Kandita, seorang gadis dengan kulit cerah mempesona, putri tunggal dari Raja Munding Wangi, pemimpin Kerajaan Galuh. Walaupun kecantikannya melimpah, Kandita tidak mewarisi takhta...