Bagian 10: Keputusan

3 1 0
                                    

Belum lama menghadap kepada Sang Dewi, Kandita telah diberikan tempat untuk istirahat.

Di bagian terdalam istana, terdapat lorong yang menuju ke sebuah gua kapur, di situ mereka telah menyediakan tempat selayaknya kamar yang ditinggali manusia.

Di kamarnya, Kandita disajikan ikan yang telah dipanggang dan dibumbui garam.

Jika saja menuruti makanan bangsa nommo, Kandita hanya bisa makan cumi-cumi atau teripang yang telah dipotong-potong atau gulma laut, mereka tidak melakukan metode memasak apapun dan memakannya secara mentah-mentah. Untungnya, di istana ini ada tukang masak yang bisa menyediakan makanan kaum permukaan.

Dengan rasa syukur dan sedikit terpaksa, Kandita melahap ikan bakar yang disajikan kepadanya.

Ikan yang pertama kali disantapnya adalah ikan asin, yang pekan lalu dimakannya bersama keluarga, ikan itu telah dikeringkan sehingga tekstur dagingnya yang keras membuat tulang-tulang halusnya tidak begitu terasa mengganggu. Kini, Kandita menyantap ikan bakar untuk pertama kalinya, satu lahapan dan ia berhenti karena mulutnya tertusuk-tusuk oleh tulang-tulang halus, pada akhirnya memaksa Kandita untuk memisahkan tulang-tulang halus itu sebelum menyantapnya tanpa masalah.

Sejauh ini, ikan bakar yang disantap Kandita saat ini adalah makanan paling merepotkan yang pernah dimakannya.

Sehabis makan.

“Apa kau menyukai hidangannya?”

Sang Dewi mengunjungi kamar Kandita, yang membuat Kandita terkejut salah tingkah, terjeda sejenak mengetahui Sang Dewi juga bisa berbica menggunakan bahasa yang dikenalnya.

“G-Gusti Dewi?! Uhm, hidangannya lezat.”

“Ahaha~ Aku tau kau kerepotan dengan tulang-tulang halusnya dari mendengar pikiranmu. Kesampingkan itu, ada hal yang ingin kubicarakan kepadamu.”

Di belakang Sang Dewi, hadir Sasandoro yang kemudian menyiapkan bangku kecil untuk diduduki oleh Sang Dewi.

“Apa kau tau mengapa kau dibawa kemari?”

Kandita mengingat ucapan Sasandoro saat menghadap ke Sang Dewi, mengatakan sesuatu tentang Kandita adalah putri dari yang diperbudak. Kandita ingin penjelasan untuk itu, tetapi saat ini juga ia masih belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan lingkungan ini, terutama baru saja mengetahui bahwa dirinya bukan sepenuhnya manusia.

“… Apa maksudnya putri dari yang diperbudak?”

Terasa lancang untuk membalas pertanyaan dengan pertanyaan, tetapi Kandita berada pada posisi yang lebih kekurangan informasi.

Sang Dewi memejam mata sejenak sebelum kembali membuka mulut, memulai dengan sedikit basa-basi.

“Kandita, ya? Nama yang indah. Siapa yang memberikanmu nama itu?”

“… Amih saya.”

“Begitu, ya. Apa amihmu suka melukis?”

“Pada kain tenun, iya.”

“Namamu berasal dari situ, maknanya adalah “kain lukis”, sungguh nama yang indah. Ngomong-ngomong, namaku Pawana, walaupun kau akan memanggilku Gusti Dewi. Kaum permukaan memanggilku dengan nama Anginangin, terjemahan dari namaku sendiri.”

Sang Dewi, Pawana, dipanggil Anginangin oleh manusia, yang berarti ia pernah ke permukaan dan berinteraksi dengan manusia. Kandita baru saja ingin menanyakan sesuatu mengenai itu, tetapi Sang Dewi telah melanjut bicaranya.

“Sebenarnya kata “yang diperbudak” adalah sesuatu yang tidak boleh diucapkan di sini, dan aku telah memarahi Sasandoro setelah menyerukan kata itu di depan orang-orang.”

Nyai Rara KidulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang