Bagian 2: Bagai Dewi Mentari

6 1 0
                                    

Usai kegiatan mereka, Mutiara dan Kandita membantu babu cuci menjemur berbagai sandang.

Tidak sedikit pakaian yang perlu dijemur, sebab bukan hanya Sang Raja dan keluarganya yang ada di istana, para babu yang mengabdi pada keluarga Sang Raja juga tinggal di pondok belakang istana dan mereka juga memiliki kehidupan yang perlu diurus.

Di tengah menjemurnya, seorang babu laki-laki datang membawa laporan kepada Kandita.

“Raden Ayu, Gusti Prabu meminta Anda untuk melakukan survei hasil panen.”

“Aku mengerti, beritahukan bahwa aku akan bersiap.”

Kandita menghentikan aktivitas menjemurnya, Mutiara menghampirinya dengan sedikit basa-basi.

“Kandita memang sosok yang penting di keraton ini, ya~ Kau bisa menyerahkan bagianmu padaku.” Mutiara mengujar tentang sandang yang mestinya dijemur oleh Kandita.

“Ahaha~ Terima kasih, Kanjeng Ambu. Kalau begitu, saya pamit dahulu.”

Seiring beranjaknya Kandita, Mutiara melambai tangan dan sang babu cuci membungkuk hormat.

Sang babu cuci kembali pada kegiatannya, tetapi Mutiara terjeda sesaat memerhatikan porsi jemuran bagian Kandita.

“… Aku ambil seperempat dan kau sisanya.”

“Eeh?!”

Sebuah gurauan yang dilakukan Mutiara agar suasana antara sang babu cuci dengan Permaisuri Raja yang tengah menjemur sandang tak terasa canggung.

Lokasi yang dituju Kandita dan para surveyor lainnya berada di suatu pedesaan, dan untuk mencapai lokasi tersebut mereka menaiki kereta kuda selama kurang lebih seperempat hari.

Di masa ini, kualitas pangan adalah hal yang penting untuk diperhatikan, ini untuk memastikan bahwa bahan makanan yang akan dikonsumsi oleh rakyat tidak mengandung wabah.

Tentu, survei ini adalah demi keberlangsungan berdirinya kerajaan. Jika rakyatnya terjangkit wabah, mereka akan lenyap, dan tanpa ada rakyatnya, kerajaan pun akan lenyap.

Kandita adalah orang yang berpikir demikian.

Walaupun begitu, alasan utama Kandita ditunjuk untuk menghadiri survei bukan hanya karena kebijakannya kepada rakyatnya, tetapi pula untuk menyortir pangan berkualitas terbaik untuk dibawanya pulang ke istana dan dinikmati sendiri, sementara itu kualitas menengah akan diserahkan kepada pasar.

Seiring memasuki wilayah pertanian desa, hamparan sawah berisikan padi yang lebat dan kuning keemasan terisi hingga ke ujung pandang. Di sisi lain juga, ada sawah yang sedang dibajak oleh kerbau petani, sawah yang berisikan tanah lumpur yang subur dengan pasokan air dari sungai pegunungan.

Setiap kali Kandita mengunjungi desa ini, panorama lahan pertanian seperti ini selalu memberikan perasaan damai, dapat melihat kesuburan pangan yang masih bisa menghidupi kerajaan lebih lama lagi.

“Indahnya ….”

Kandita bergumam kagum pada panorama tersebut.

“… Indahnya~”

Sementara itu, pengawal Kandita tertegun menyaksikan kecantikan Kandita bermandikan cahaya mentari, yang kemudian pengawal itu disenggol oleh seorang surveyor untuk menyadarkannya pada derajatnya yang tak bisa dibandingi oleh Kandita.

Tiba di dalam desa, Kandita dan yang lainnya berjalan kaki sembari mengamati kualitas kehidupan sehari-hari para warga.

Perumahan yang berjarak memberitahukan bahwa populasi desa tersebut belum terlalu banyak, tetapi bukan berarti itu adalah tempat yang sepi.

Nyai Rara KidulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang