36 || Gay-ilan

7.9K 350 29
                                    

vote dan komennya bund❣︎

Thema : not red, but blue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Thema : not red, but blue.

𝓖𝓪𝔂 -𝓲𝓵𝓪𝓷

Seminggu setelah hubungan mereka, dua hari setelah itu, Dylan absen dengan keterangan bahwa cowok itu sedang izin keluar kota. Dylan bahkan tidak mengabari atau mengirimi pesan. Setidaknya Qilla tau bagaimana keadaan Dylan sekarang. Berbagai pikiran negatif berdatangan, memikirkan berbagai hal buruk yang akan terjadi pada Dylan nantinya.

Mengirim banyak pesan, lalu menelfon berkali-kali selalu berakhir kecewa, Dylan seperti pergi ke tempat yang terbelakang, dengan jaringan internet yang tidak tersedia. Contohnya saja pedalaman di sudut negara.

Atau, bisa saja Dylan menemui psikiater. Baiklah, Qilla harus mencoba berfikir jernih.

Bel pulang berbunyi, koridor kelas sebelas sudah begitu ramai, belum memasuki lima menit setelah berdoa, mereka sudah berdesakkan disana. Mereka seperti istilah datang terlambat, pulang paling cepat. Kira-kira seperti itu.

Lalu saat Qilla berjalan santai di koridor, dirinya hampir tersandung, jika Qilla tidak menahan tubuhnya dengan menyentuh dinding sekitaran koridor, mungkin kejadian berikutnya memang memalukan. Entah motif ini disengaja atau tidak, Qilla tidak terima. Brina, sang pelaku terkekeh puas.

Sial. Kekehan yang menjijikkan. Qilla menatap nyalang Brina.

“Punya mata gak lo?!” bentak Qilla, sehingga beberapa pasang mata memusatkan pandangan pada mereka. Tapi ekspresi yang ditujukan Brina, demi apapun membuat Qilla ingin memekik saat itu, tapi otak waras nya mencegah lebih dulu, setidaknya Qilla tidak malu setelahnya.

Anjing, ni cewek , gak puas buat gue tenang. Nyari masalah mulu, dah. Batin Qilla jengkel.

“Oh, apa gue buat salah? Ow sorry, Baby. I’m sorry.” Itu seperti bukan permintaan maaf, melainkan ejekan. “Well, gue sengaja, jadi mau apa lo? Marah? Gue nggak peduli, bitch.” Lagi, Brina hanya menunjukkan kekehan, yang mana, bagi Qilla itu sangat menyebalkan.

Qilla ingin membawakan kaca besar, lalu meletakkan tepat dihadapan Brina, gadis di hadapannya itu benar-benar tidak bisa untuk introspeksi diri. Setidaknya Qilla jika memang benar dia murahan, setidaknya Qilla masih bisa untuk sadar diri.

“Ngaca, noh,” ketus Qilla, tangan nya bersedekap dada.

Qilla benar-benar muak untuk berurusan dengan Brina, tapi dia harus segera pulang ke apartemen Dylan, menemui kekasihnya disana, bisa jadi Dylan sekarang sudah pulang.

“Awas lo besok!” seru Qilla. “Gue lagi nggak mood ladenin lo sekarang.” Qilla beranjak dari sana, mengabaikan pekikan Brina yang terus mengatakan, ‘Lo lemah!’

Gay-ilan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang