"Katreena kita perlu bicara!"
Kira-kira itu adalah sepenggal kalimat dari Yasa, saat pemuda itu lagi, lagi dan lagi kembali menghadang langkah Katreena diarea kampus kala itu.
Sudah kali keempat Katreena menepis tubuh Yasa agar pergi dari hadapannya. Jujur Katreena muak, melihat bagaimana Yasa selalu menghalangi jalannya terus menerus.
"Gak ada yang perlu dibicarain dari kita, jadi lo lebih baik pergi dari sini!"
"Tolong Katreena, beri aku kesempatan buat jelasin semuanya sama kamu."
Gigi Katreena saling bergemelatuk, menahan emosi. "Gue bilang gak ada, semuanya udah jelas, kalau lo itu emang brengsek!"
"Semua hal yang kamu lihat gak bisa kamu telan mentah-mentah gitu aja Reen, tolong dengerin dari sudut pandang aku."
Jari jemari Yasa mencengkram kedua sisi lengan Katreena, tak sedikitpun melepaskan pegangannya pada gadis itu.
"Mau seberapa banyak lagi luka yang lo kasih sama gue? apa gak cukup? gak ada yang bisa dijelasin tau gak?!" Katreena memberontak, meminta dilepaskan, akan tetapi cengkeramannya tak mengendur sedikitpun.
"Kamu selalu merasa sakit Reen, tapi kamu gak sedikitpun ngasih aku kesempatan buat ngejelasin semuanya." Yasa menatap Katreena lamat. "Pesan dari aku juga gak ada satupun yang kamu baca, padahal disana udah aku jelasin semuanya. Kenapa kamu selalu egois?"
Mata Katreena melotot tak terima. Tersentil atas ucapan Yasa. "Egois? lo bilang gue egois?"
"Kamu selalu aja seperti ini Reen, tolong beri aku kesempatan sedikit aja."
"Bicara sama lo tuh cuma bikin gue naik pitam!" Katreena berteriak akan sanksi, bergerak seperti cacing demi melonggarkan cengkeraman Yasa. "Minggir, atau gue teriak?!"
Menyadari pegangan Yasa yang kian kencang, Katreena kemudian berteriak sebanyak tiga kali. Mengeluarkan suara nyaring, meminta tolong, sampai atensi orang-orang tertuju pada mereka berdua.
Yasa refleks melepaskan jari jemarinya dari lengan Katreena. Tak mau mendapatkan penghakiman orang-orang, ia akhirnya memilih berlalu dengan perasaan kecewa, meninggalkan Katreena yang menatapnya pergi dengan pandangan yang tak dapat dijelaskan lagi.
Kala itu langit mulai berganti warna, matahari sudah siap pergi, dan burung-burung mulai berlalu lalang, hendak pulang keperaduan. Yasa duduk terdiam disudut halte. Lelah menyergap, sampai tubuhnya terasa remuk tak berupa.
Hari ini begitu melelahkan baginya, tak ada satupun yang bisa menghibur, entah itu teman-teman satu jurusannya atau Amita, orang yang selama ini membantu rencananya untuk pura-pura menjadi pacarnya dihadapan Katreena.
Yasa memukul-mukul kepala, merasa bodoh sendiri atas keputusan yang ia buat dahulu. Keputusan yang membuatnya semakin menjauh dari Katreena, hingga mendapatkan tatapan benci dari gadis itu.
"Akhir-akhir ini lo kenapa? lagi patah hati?" Joe datang dari arah seberang, memberikannya minuman yang langsung Yasa tegak hingga habis tak bersisa.
"Jangan suka pendam masalah sendiri, stress lo lama-lama." Peringat Joe seraya menepuk-nepuk pundak Yasa.
"Menurut lo, orang kayak gue pantas gak buat jatuh cinta?"
Joe mengerutkan dahi. "Ngomong apaan lo? hewan aja pantas jatuh cinta, apalagi lo."
"Gue bukan orang kaya." celetuk Yasa.
"Terus, apa masalahnya?" tanya Joe makin tak mengerti dengan apa yang Yasa ucapkan.
"Masalahnya orang yang gue suka itu segalanya jauh lebih dari gue, dia kaya raya, punya segalanya, punya uang yang bahkan bisa ngendaliin hidup keluarga gue."
Joe membenarkan posisi duduk, kembali mendaratkan tangannya dipundak Yasa. "Jadi ini masalahnya? cinta terhalang kasta?"
Yasa mengangguk lemah, semakin lemah saat pikirannya kembali melayang memikirkan Katreena.
Alis Yasa menekuk kala mendengar tawa menyembur dari mulut Joe, pemuda disampingnya ini seakan menertawakan dirinya. "Lo kenapa?"
"Zaman gini lo masih bingung soal perbedaan kayak gini?" Joe tertawa lagi, membuat Yasa sedikit tersinggung.
"Dengerin gue Yas, menggali kekayaan itu butuh proses, lo ambil jurusan dikampus ini tuh udah bagus banget buat masa depan lo. Lo bisa cari kekayaan dengan ilmu yang lo cari disini."
Yasa meresapi nasehat Joe, menganggukan kepala dan mendengus kasar.
"Kalau suka tuh bilang Yas, bukan malah diem kayak gini, lo mau orang yang lo suka tiba-tiba punya gandengan orang lain?"
Yasa menggeleng sebagai jawaban. "Jangan ngomong yang macem-macem lah."
"Bukan gitu Yasa, tapi ini berkaca dari kasus orang-orang. Dikampus ini tuh lo noleh dikit banyak cowok-cowok ganteng yang mungkin siap-siap aja buat ngegandeng orang yang lo suka, makanya lo harus gerak cepet."
"Gimana caranya?"
Gigi Joe beradu menatap sosok Yasa gemas, kenapa laki-laki disampingnya ini begitu tak paham dengan hal kecil seperti ini?
"Lo tuh polos apa bego sih? masa yang kayak ginian aja lo gak tahu?"
"Gue gak pernah pacaran Joe."
"Muka lo gak keliatan aura-aura orang gak pernah pacaran." tekan Joe merasa tak percaya atas pernyataan Yasa.
Yasa bersidekap dada, meluruskan pandangan dan melihat hilir mudik langkah kaki orang-orang yang berlalu lalang. "Gak minta lo buat percaya juga."
"Emang siapa cewek yang lo incer?"
"Gue minta jawaban dari pertanyaan gue, bukan pertanyaan balik!"
"Ya jawab dulu pertanyaan gue, pelit amat!"
Menggaruk tengkuk, Yasa menarik nafas sejenak sebelum menjawab rasa penasaran Joe. "Gue suka sama anak majikan gue sendiri." jawabnya begitu lemah.
Joe mengangguk-angguk paham. "Pantesan laga lo kayak orang yang cemburu waktu gue minta nomor handphone dia, ternyata ada makna terselubung ya."
"Sekarang lo bisa lihatkan perbedaan antara gue sama dia?"
"Kalau gue jadi lo, dengan tampang kayak gini, udah gue nikahin dia dari lama!"
maaf ya karena nunggu lama lagi, semenjak update terakhir, aku sakit-sakitan terus, tapi sekarang udah agak mendingan, hope you like it guys!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold It In (SELESAI)
FanfictionKatreena berubah menjadi sosok angkuh setelah penolakannya tempo itu. Sial, cintanya ditolak oleh anak pembantunya sendiri. Perasaan marah itu semakin membara saat keesokan harinya, Yasa membawa perempuan yang dikenalkannya pada semua orang sebagai...