Pikiran Yasa terus terganggu atas percakapan yang terjadi satu minggu yang lalu antara dirinya dengan Papa Katreena, majikannya yang mampu membangkitkan segala asa yang selama ini kadangkala terpendam jauh dilubuk hatinya.
Senyum terus terpatri disana, meski dosen didepan terus berceloteh memastikan beberapa kali mahasiswanya supaya mengerti apa yang ia jelaskan, namun pikiran Yasa bukan tertuju pada materi yang dosen terangkan.
Jauh dalam pikirannya, Yasa masih terngiang setiap kata yang terucap dari bibir sang majikan.
"Kamu suka sama anak saya?" Saat itu, tubuh Yasa langsung membeku ketika Papa Katreena berbisik hingga nyaris tak terdengar.
Mulanya, Yasa hanya diam tak mampu berkutik, takut majikannya akan mengamuk dan berujung mengancam pekerjaan bapak dan ibu.
"Sekali lagi saya tanya, kamu suka sama anak saya?"
Yasa masih terdiam membisu, tubuhnya benar-benar kebingungan harus menjawab apa.
"Sejak kapan kamu memendam perasaan itu?"
Geram dengan keterdiaman Yasa, Papa Katreena mengencangkan rangkulannya. "Jujur saja Yasa, kenapa kamu diam dengan pertanyaan saya?"
"Tidak Tuan." Yasa menjawab ragu.
"Tidak salah lagi bukan?" tanya Papa Katreena dengan menaikan satu alisnya.
Yasa benar-benar tak tahu harus bagaimana, masalahnya yang ada disampingnya ini adalah majikannya. Apa jadinya jika Papa Katreena tahu fakta yang sebenarnya, bisa-bisa dia mati muda.
Didepannya, Yasa tak sadar bahwa Mama Katreena mengulum gemas, wanita yang sudah menginjak usia lebih dari kepala empat itu sudah mengetahui sekelumit masalah antara putrinya dengan Yasa.
Yasa adalah pribadi yang baik, tak pernah membantah apapun yang diperintahkan, hingga tak jarang mampu membuat Mama terenyuh karena sikap Yasa yang seperti ini.
"Kenapa kamu suka sama Katreena? apa yang membuat dia menarik dimata kamu?" Papa bertanya lagi, membuat Yasa kembali dipenuhi getar.
"Anak saya cantik bukan?"
Yasa memejamkan mata, sungguh, ia tak nyaman dengan rentetan pertanyaan yang dilontarkan sang majikan. "Cantik tuan."Jawab Yasa penuh kecanggungan.
"Kalau suka tuh bilang Yasa, bukan malah bikin anak saya jadi uring-uringan kayak kemarin-kemarin."
Lagi-lagi Yasa memilih membisu, takut jika ada kata yang salah dari mulutnya.
"Kenapa kamu tidak jujur terhadap perasaan kamu sendiri? kenapa harus memendamnya sampai menyakiti hati kamu sendiri?"
Yasa meneguk ludah, tak ada ketenangan dalam hatinya selama Papa Katreena terus melayangkan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah Yasa duga sebelumnya.
"Jujur saja Yasa, sebelum saya berubah pikiran untuk izinkan kamu buat deketin anak saya."
Sontak mata Yasa membola mendengar pernyataan itu, ia menggaruk tengkuk canggung. "Saya selalu merasa tak pantas untuk putri anda Tuan, saya tidak punya apa-apa untuk dibanggakan."
"Dengar Yasa." Papa Katreena mengencangkan rangkulan, tak lagi berbisik seperti tadi. "Harta itu bisa dicari, kenapa kamu terus merelakan perasaan kamu terhadap Katreena, sedang Katreena sudah mengungkapkannya sejak lama?"
"Saya takut Tuan."
"Saya lebih takut Katreena jatuh kepada orang yang salah Yasa. Kamu hanya satu-satunya laki-laki yang bisa saya percaya untuk menjaga Katreena."
Yasa meringis mendengar itu, tak tahu saja Papa Katreena, bahwa ia yang telah melakukan hal tak semestinya dilakukan pada putri sematawayang Keluarga itu.
Diam kembali menjadi pilihan, berada disisi sang tuan membuat Yasa begitu ketakutan.
"Saya merestui kamu Yasa, jangan sia-siakan perasaan anak saya."
Entah berapa ratus senyum yang ia pancarkan selepas percakapan antara dirinya dengan sang tuan. Yasa menggigit bibir, hingga Joe bergidik ngeri atas perubahan Yasa yang begitu kentara.
Joe merubah wajah julid. "Kerasukan setan apa lo senyum-senyum terus?"
"Kenapa, aneh?"
"Aneh, biasanya lo galau terus."
Yasa hanya tertawa kecil, selama mengenyam pendidikan disini, ia memang bukanlah pribadi yang dapat berekspresi lebih, kebanyakan raut yang ditampilkan hanyalah sendu atau bahkan sama sekali tak berekspresi.
Pikiran Yasa banyak dipenuhi kemelut tentang kehidupannya, entah itu tentang Katreena atau tentang rasa iri yang datang saat ia melihat orang-orang bisa bergaya glamor sedang ia hanya menjadi kasir dikedai milik keluarga Amita.
Sering terbesit dalam kepalanya, kapan ia bisa seperti mereka?
"Udah baikan sama anak majikan lo itu?"
Yasa menyandarkan punggung, dan bernafas kecewa. "Belum, gak mau denger penjelasan gue dia."
"Terus kenapa lo senyum-senyum, udah dapet backingan yang baru?"
"Enggaklah gila, gak ada cewek yang secantik Katreena."
Joe mengerling jengah. "Tai, bucin banget lo!"
"Yang penting gak kayak lo, noleh dikit tuh mata udah beda."
"Najis Yasa, itu artinya mata gue masih normal liat yang cakep, masa remaja tuh harus dipenuhi dengan wanita-wanita cantik biar hidup gak ngebosenin."
Yasa mendengus kasar, tanpa menoleh ke arah Joe ia berbicara begitu datar. "Pantesan Reina gak betah sama lo, brengsek ternyata."
"Gue sumpahin lo kepleset ditangga Yasa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold It In (SELESAI)
FanficKatreena berubah menjadi sosok angkuh setelah penolakannya tempo itu. Sial, cintanya ditolak oleh anak pembantunya sendiri. Perasaan marah itu semakin membara saat keesokan harinya, Yasa membawa perempuan yang dikenalkannya pada semua orang sebagai...