Saat pertanyaan Katreena merengsek masuk memenuhi telinga, Yasa sontak menggaruk tengkuk sembari menunduk, kembali memperlihatkan bagaimana segannya ia terhadap sosok gadis didepannya.
Tanpa kompromi juga, Katreena menarik tangannya keluar kedai, meninggalkan Griselle yang menatap mereka dengan gelengan kepala.
Katreena lalu mencengkeram kedua lengan Yasa, auranya kembali mengintimidasi. "Siapa suruh lo kerja disini?"
Yasa menggeleng pelan. "Gak ada."
"Kenapa lo kerja disini sih? gaji buat Ibu Bapak lo dari Mama gue kurang?"
"Aku punya inisiatif sendiri Reen, aku juga gak bisa selalu bergantung pada mereka."
Katreena berdecak kesal, cengkeraman dari tangannya tambah menguat menahan rasa sebal. "Lo itu cukup diam, belajar, fokus sama pendidikan lo, kalau gini caranya lo gak usah kuliah!"
"Tapi aku butuh Reen, aku harus mandiri."
"Lo tuh udah mandiri Yasa, jadi babu keluarga gue itu menandakan bahwa lo udah mandiri!"
Yasa terhenyak sejenak, entah kenapa saat mendengar kata babu dari Katreena, mampu membuat hatinya sakit saat itu juga, padahal kenyataannya memang iya, ia hanyalah seorang babu untuk keluarga Katreena.
"Terus kamu maunya apa Reen? aku juga pengen kayak orang lain, dapet jajan double sama makan yang enak-enak bukan hanya sekedar nasi sama sayur doang."
Katreena mendengus kasar, cengkeramannya sudah ia lepaskan diganti dengan melipat kedua tangan didepan dada. "Tujuan lo kesini tuh buat apa? kuliah kan? bukan buat kerja!"
"Tolong Reen, kasih aku izin buat nyari uang kali ini aja."
Pipi Katreena berubah memerah, bukannya menanggapi keinginan Yasa, ia malah bertanya seolah menaruh kecurigaan disana. Pasalnya nama kedai yang jadi tempat bekerja Yasa sangat familiar diotaknya. "Tau darimana lo disini ada tempat kosong buat kerja?"
Yasa meneguk ludah, menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Katreena dengan penuh penyesalan. "Ini kafe keluarganya Amita Reen."
Darah didalam nadi Katreena mendidih seketika, nama itu lagi, sungguh Katreena sampai muak saat kepalanya kembali dibayangi oleh nama Amita karena peristiwa setahun yang lalu.
Peristiwa dimana ia patah, sepatah-patahnya sampai hatinya ikut membeku.
Katreena memejamkan mata sejenak, beberapa saat setelah itu, netranya berubah menyalang menyeramkan.
"Keluar dari tempat itu sekarang, kalau gue denger lo kerja disini lagi, habis lo ditangan gue!"
Satu minggu terlampaui pasca peristiwa Katreena memarahi Yasa karena pekerjaan lelaki itu, kini ia kembali dibuat lelah atas bebalnya Yasa yang kembali bekerja diam-diam tanpa mendengar apa yang ia perintahkan.
Katreena memilih mendiamkan Yasa lebih dulu karena setumpuk tugas yang tak henti-henti menderanya, menyebabkan kepalanya pusing dengan pikiran yang mulai bercabang memikirkan hal-hal yang belum pasti akan terjadi.
Jauh didalam lubuk hatinya, Katreena menyimpan banyak rasa sedih, rasa sedih akan perasaannya yang tak kunjung berbalas. Menekan dan bersikap sesuka hati kepada Yasa adalah salah satu cara agar hatinya dapat sedikit puas oleh rasa sakit yang sering mendera.
Jika saja membuka hati dapat semudah membalikkan telapak tangan, mungkin sudah Katreena lakukan hal tersebut dari dulu. Tapi apa daya, bayangan Yasa selalu menjadi bayangan pertama yang bersemayam lama dibenaknya.
Pagi ini, ia terdiam lama disofa ruang tengah, mendinginkan otak sejenak sebelum kembali berperang dengan buku-buku yang sudah berjajar secara acak diatas meja.
Sepuluh menit lamanya, Katreena melamun sendiri, bunyi notifikasi dalam gawaipun tak ia hiraukan sebelum dering suara telepon menginterupsi dan mengalihkan perhatiannya.
Katreena membaca setiap huruf yang berjejer rapi membentuk susunan huruf yang dibaca Mama, ia lantas menggeser tombol hijau dan menempelkan benda tersebut ketelinga.
"Halo, ada apa Ma?" tanya Katreena tanpa ekspresi.
"Selamat pagi sayang, kamu hari ini sibuk enggak?"
Kepala Katreena terangkat keatas, menatap langit-langit kamar dengan bahu semakin melemas. "Kalau aku enggak sibuk, emangnya ada apa Ma?"
"Ini loh sayang, Yasa gak bisa dihubungin, kata Bi Li terakhir ngehubungin kemarin siang, katanya lagi sakit gak tau kenapa, tapi sampai sekarang gak ada kabar. Bisa kamu jenguk dulu Yasa gak? takutnya kenapa-kenapa."
Memijit pelipis pelan, Katreena menghembuskan nafas kasar, tanpa menunggu waktu lagi, ia segera bangkit darisana, mengabaikan tumpukan tugas dan hendak berlalu untuk mengambil kunci kendaraan.
"Katreena berangkat sekarang Ma, nanti kalau ada apa-apa langsung dikabarin."
Harusnya saat ini ia bersikap tak peduli atas apa yang terjadi pada Yasa, akan tetapi Katreena tak akan pernah bisa menampik bahwasanya rasa khawatir itu seketika menjalar memenuhi sudut hatinya.
Mau semenyebalkan dan sebebal apapun Yasa, Katreena tak akan pernah bisa berbohong tentang ia yang selalu memikirkan lelaki itu hampir setiap saat.
Katreena tetap memberikan satu ruang kosong dihatinya untuk Yasa, meski ia tahu perasaaannya tak akan kunjung berbalas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold It In (SELESAI)
FanfictionKatreena berubah menjadi sosok angkuh setelah penolakannya tempo itu. Sial, cintanya ditolak oleh anak pembantunya sendiri. Perasaan marah itu semakin membara saat keesokan harinya, Yasa membawa perempuan yang dikenalkannya pada semua orang sebagai...