[Senin, 28 November 2022]
Saat ini sedang berlangsung diskusi tertutup di rumah Nina dan Nino. Narasumber utama tidak lain adalah Nina, lalu yang menjadi pelapor kasus adalah Dio. Dan juga telah hadir saksi mata yang berada di tempat kejadian bukan perkara, adalah Kamal, Milo, dan juga Hito. Nino sebagai pihak yang hanya menuruti keinginan Dio untuk menyelidiki kondisi Nina, hanya bisa mengikuti pengaduan dari pihak terkait.
Dio datang dengan membawa pesanan makanan teman-temannya, lebih tepatnya pesanan Nino. Dio segera memberikan kopi pesanan Nina agar membantu perasaannya lebih baik lagi selagi teman-temannya mengatur sendiri makanan yang dipesan.
"Lo semua kenapa sih penasaran banget sama urusan gue? Lagian kejadiannya udah berlalu. Pake ngadu segala ke Nino. Lo seneng kan liat gue berkaca-kaca like a drama queen waktu itu?" sindir Nina kepada siapapun.
"Daripada kita gosipin ya kan? Mending tanya langsung. Kak, kita mana tega sih lihat lo keluar dari rumah orang dengan ekspresi kayak gitu? Nangis bahagia sih nggak apa-apa, faktanya?" ujar Dio saat ia berhasil mendapatkan sepiring nasi goreng udang.
Suasana di ruang TV bagaikan lapak tongkrongan anak muda yang tengah beradu lapar. Ada Hito yang sibuk menata makanan agar terlihat rapih. Ada Milo yang sedang mengantri gilirannya untuk mengambil nasi goreng udang kesukaannya. Ada sang pemilik rumah, Nino, yang sudah duduk dengan santai di sofa dengan memperhatikan kakaknya. Ada Kamal tengah mencicip semua kopi yang tersaji. Dan Dio, yang ingin duduk di dekat Nino agar mendapat berita lebih akurat terkait Nina.
"Sorry banget, Kak Nina. Gue nggak bisa diem doang kalau lo kenapa-kenapa. Sedangkan Nino sering wara-wiri bantu ketering ibu gue," ungkap Kamal.
Hito mengangguk tanda setuju. "Kak Nina harus kita jaga. Nggak boleh lecet sedikitpun. Apalagi nangis berlian."
Tangis Nina kembali terurai. Mendengarkan teman-teman Nino yang terus terang memberikan perhatian, membuat Nina menjadi penuh haru.
"Nggak. Gue nangis bukan karena sedih kok. Gue nggak berlebihan ya! Cuma, kalian nggak perlu ngadu segala ke Nino. Gue mau atasi masalah ini sendiri."
"Tapi lo juga chat gue duluan," sahut Nino.
Nina memukul lengan Nino. "Lo rewel kalau lagi laper. Nggak ngerti situasi gue banget!"
"Ya gue emang nggak tahu kan kalau mereka nggak ngadu. Bener dong?" tanya Nino yang tak mau kalah.
"Abis diapain sih sama Gama, Kak?" Seketika Nina tersedak karena pertanyaan dari Milo yang tanpa ada proses penyaringan. "Fix, udah. Pasti tadi abis kejadian-"
"Nggak ada, nggak ada!" sanggah Nina. "Lo jangan asal asumsi. Gue kasih kartu kuning, lo nggak boleh nambah ayam, ya!"
Sorak keseruan dari teman-teman membuat situasi semakin ramai. Nina meminta semua untuk tidak membuat kegaduhan. Dikhawatirkan kalau ada teguran dari tetangga sekitar.
"Kak, nggak mungkin ada asap kalau nggak ada api. Jadi, apa yang bikin munculnya si asap?"
Tanya Dio yang serius itu membuat Nina berpikir kembali. Ia bertanya pada diri sendiri, apa yang memicu emosinya bisa memuncak pada waktu itu?
"Lo udah Gama?" tanya Nino perlahan. "Ngobrol juga nggak?"
Embusan napas Nina yang berat sudah cukup memberikan jawaban.
"Obrolannya soal alasan dia nggak bales chat lo?"
"Gama sakit, dan gue baru tahu," ujar Nina. "Semingguan ini gue adu pikiran sama argumen sendiri. Gue nggak menyalahkan sakit dia. Gama nggak salah sama sekali kok. Gue cuma heran sama gue saat ini. Sebenernya apa yang gue cari dari Gama?"
"Gama nggak mau bikin lo khawatir. Dan emang kondisi dia lagi nggak baik," ujar Nino.
"Ok. Gue tahu, gue paham. Dia juga bilang begitu. Dia minta gue buat pulang, karena dia nggak mau gue dateng ke rumahnya karena kasihan. Then, gue pulang sesuai yang dia minta. Itu tuh kenapa gue nyesek banget rasanya?"
"Itu lo diusir, Kak?" Dio turut menyambung.
"Bukan diusir. Itu maksudnya, Kak Nina mau nemenin Gama. Tapi Gama malah minta Kak Nina buat pulang. Gitu kan ya, Kak?" tanya Kamal.
"Iya, nggak mungkin Gama ngusir. Gama mau istirahat itu tuh," ujar Hito.
"Gama udah bilang kan pas masih di rumah sakit, dia emang terhalang komunikasi karena kondisi." kini Nino menjadi penengah. "Mau ngabarin kita aja nggak bisa. Dan kalau mau kontak Nina, Gama nggak tahu apakah waktunya tepat buat bercanda atau nggak. Gama nggak se-antagonis itu kok."
Nina mengangguk sebagai tanda setuju "Gue yang antagonis."
"Hah? Kok Kak Nina? Nggaklah!" bantah Dio.
"Gue, yang memulai peran antagonis itu," lanjut Nina. "Apesnya, Gama yang jadi lawan main gue."
'Kalau udah waktunya gue menaruh hati sama orang lain, pada saat itulah gue udah jadi orang yang jahat. Gue jahat karena harus bersinggungan sama orang yang sebaik Gama.'