"Mending fix rapat di hari Sabtu sore. Kalau Jumat itu, banyak temen-temen yang masih ada kegiatan di luar studio. Termasuk gue."
"Kak Oliv udah bilang Jumat, ya Jumat. Lo tadi denger sendiri kan?"
"Lo tanya ke semua anggota, pasti mereka banyak yang nggak setuju. Ini kayaknya lo emang sengaja biar gue nggak dateng rapat, kan?"
Di ruangan ini, Nina dan Ega tengah adu debat terkait kegiatan rapat mingguan. Semua anggota tim sudah pulang dan memang sengaja meninggalkan keduanya untuk saling bersitegang.
"Gue udah ngalah soal partner siaran kemarin. Sekarang, rapat ini kan yang dateng harusnya semua anggota. Gue yang paling penting di Everyday, terus dengan gue yang nggak bisa dateng emangnya lo mau ngatur ulang jadwal gue? Nggak, kan?"
Nina tidak membalas apapun. Ia cukup dibuat gusar oleh Ega yang mulai memancing emosinya.
"Gue pengen banget bisa ngikutin mau lo, dan semua yang udah jadi keputusan lo. Gue nggak mau orang-orang tahunya hubungan lo sama gue tuh nggak akur mulu kayak gini. Tapi sejak lo handle project Everyday, kenapa lo nggak pernah sepemahaman sama gue sih?"
"Kata siapa?" Nina menatap Ega dengan sinisnya. "Cuma kemauan lo doang yang macem-macem. Apa lo tahu gimana susahnya tim? Gue sama yang lainnya sampe lembur cuma buat research ide dari lo."
"Mana ide gue yang lo anggep macem-macem? Mana ide dari gue yang lo rubah? Gue nggak pernah suka orang lain seenaknya ngotak-ngatik ide gue sejak awal, ya!" ujar Ega semakin meninggi.
Nina bangkit dari tempatnya karena semakin geram dengan argumen Ega.
"Lo boleh ngatur gue secara personal, tapi bukan komponen Everyday lo acak-acak."
"Arahan gue juga demi kebaikan-"
Ega menggeleng. "Nggak. Lo belum paham fondasi kita yang sebenernya. Lo pihak eksternal yang seharusnya nggak perlu masuk ke inti kita kayak gitu. Kenapa gue selalu sensitive perihal jadwal rapat yang lo buat? Karena gue tahu pasti lo bakal berulah."
"Gue nggak pernah-"
Di sini Nina menyadari ada hal yang membuatnya menahan emosi.
"Tiga bulan lo baru bergabung kan? Masih belum terlalu jauh buat replace ke tempat lain. Gue bisa bilang ke Brian juga nantinya."
Belum sampai Ega pergi dari ruangan, ia berbalik arah karena tahu tangis Nina tak terbendung lagi. Nina mengusap kasar bulir air mata yang jatuh perlahan. Ia berpaling ke arah lain karena enggan menghadapi Ega untuk saat ini.
"Gue tahu, lo capek berurusan sama gue. Debat ini dan itu juga useless. Gue tahu, tujuan lo handle project ini karena nggak pengen gue jalan sendirian sebagai talent solo. Iya, kan? I appreciate you. Tapi please jangan menjadi diktator, Nina. Gue nggak mau lo begitu. Gue juga mau didengerin."
Tutur kata Ega mulai terkendali. Membuat air mata Nina semakin jatuh bersamaan.
"Gue akan bertanggung jawab sama keputusan gue. Gue bakal terus jalan bareng-bareng sama Everyday juga. Katakan, gue gagal jaga janji yang gue buat sama lo. Silahkan salahin gue soal itu. But please jangan raguin gue dan Everyday."
Ega mengambil kotak tisu tanpa pemilik dan menarik beberapa helai. Ia membalikan badan Nina dan mengusap air mata yang berlinang di sana.
"Lo nggak apa-apa luapin emosi ke gue, karena gue nggak akan pernah bisa dimaafin, kan? Nggak apa-apa lo seterusnya benci gue. Tapi jangan sampe nangis. Gue nggak bisa terima."
Helai tisu lainnya menyapu sisa air mata Nina.
"Look at me then. You still always fascinate me. Tapi gimana? Lo udah ketemu sama orang yang baru, bukan?"