Hari ini adalah hari Minggu-hari keempat mereka menempati rumah baru. Sejak kedatangan Masaki, Rokudaime tanpa pikir panjang langsung membeli sebuah rumah bergaya tradisional yang tak jaraknya tak jauh dari Akademi Ninja. Dia memilih rumah sederhana dengan halaman yang luas agar putranya bisa berlarian kapan pun ia mau.
Kakashi meminjam jasa satu tim genin untuk membantunya pindahan. Barang-barangnya dan barang-barang Shizune juga harus dipindahkan. Itu membutuhkan waktu 3 hari sampai prosesnya benar-benar usai. Kakashi juga membeli beberapa barang untuk melengkapi rumah dan berbagai hal yang menjadi kebutuhan Masaki.
Di hari Minggu yang berawan ini, Kakashi masih harus pergi ke kantor-bahkan dia belum pulang sejak kemarin, sementara Shizune harus ke rumah sakit karena ada operasi mendadak. Day care tutup di hari Minggu, jadi mau tidak mau dia terpaksa meninggalkan Masaki sendirian di rumah untuk beberapa jam ke depan. Masaki bukan anak yang penakut atau rewel. Selain itu meninggalkan anak 5 tahun sendirian di rumah agaknya hal yang cukup lumrah di dalam keluarga shinobi, jadi tidak ada kekhawatiran yang berlebih mengenai itu.
Masaki sudah tak terlalu asing dengan Konoha dan dunia luar. Daripada dia berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa-apa, ada baiknya dia menjelajahi tanah nenek moyangnya. Cuaca hari ini tidak mendukung untuknya menikmati perjalanan, jadi bagaimana cara Masaki dapat menikmati perjalanannya ialah dengan menyingkirkan masalahnya.
"Kumo-san, hari ini aku ingin sekali jalan-jalan. Aku ingin menikmati langit biru dan menghirup udara segar. Aku penasaran dengan wajah-wajah penduduk desaku yang menjalankan aktivitas mereka tanpa hambatan. Bolehkah kau pergi sebentar dan tumpahkan air matamu di tempat lain yang tidak merugikan siapapun?"
Anak itu memohon di halaman rumah sebelum dia pergi. Wajahnya mendongak ke atas, memperhatikan gumpalan awan kelabu yang siap terisak. Angin menyapu tubuhnya, rambut peraknya menari bersama angin. Itu adalah jawaban atas permintaannya. Gumpalan awan kelabu secara perlahan pergi, bergeser menjauh dari Konoha tanpa melanggar perintah alam untuknya menangis.
"Terima kasih, Kumo-san."
Kedua langkah mungilnya bergerak menyusuri jalan. Suhu hangat dan segar membuat senyuman tidak bisa lepas dari bibirnya. Kicauan burung, pesona kupu-kupu, semut yang berbaris teratur. Semua berada di sisinya, bersamanya. Beberapa warga desa menyapanya, itu karena Kakashi mengumumkan identitasnya beberapa waktu lalu ke orang-orang terdekat (pada awalnya) dan tanpa diduga-duga, berita itu menyebar seperti kecepatan cahaya. Sepertinya banyak orang yang penasaran tentang kehidupan pribadi hokage mereka-sebab Kakashi ialah orang yang membawa Konoha menuju peralihan peradaban yang lebih canggih, jadi keterbukaan seperti itu membuat penduduk Konoha merasa dekat dengannya.
Sebetulnya, Shizune tak ingin identitas putranya diketahui. Bukan karena takut menimbulkan gosip yang tidak bermoral antara dirinya dan hokage, tetapi dia lebih memikirkan keselamatan putranya. Masaki adalah anak misterius yang tiba-tiba datang diiringi tragedi berdarah. Sebagai seorang Ibu, Shizune hanya takut ada orang-orang yang mengambil kesempatan ini dan mengincarnya untuk tujuan tak bertanggung jawab.
"Hey, kau!"
Seorang pria dewasa bersurai kuning bersama batita yang mirip dengannya menghampiri Masaki. Mereka terdiam sejenak di tepi jalan, jelas terlihat kalau Uzumaki Naruto tidak ingat nama seorang anak yang dipanggilnya.
"Masaki, Naruto-niisan. Hatake Masaki." Ujar Masaki, entah sudah yang ke berapa kali.
Pria itu menepuk dahinya. Boruto-yang berada dalam gendongannya-juga melakukan hal serupa. Itu menggemaskan. Naruto menyamakan tingginya dengan Masaki agar kedua mata mereka saling bertemu dengan posisi yang menyenangkan.
"Duh, sepertinya aku terkena pikun dini. Maaf, ya. Lalu.. apa yang Masaki lakukan sendirian?"
Masaki menunjukkan sebuah memo kecil dan pena yang berada di genggamannya. Boruto meraih memo bersampul hitam yang ditunjukan Masaki. Bocah itu membuka lembar demi lembar. Meskipun Boruto tidak mengerti, Ayahnya mengerti.
"Wah~ kau sedang menjalankan misi, ya?!" Tanya Naruto bersemangat. Masaki mengangguk dan mengambil kembali memonya dari tangan mungil Boruto. "Papa memintaku untuk setidaknya berkeliling desa dan jangan menjadi antisosial. Jadi aku melakukan perintahnya."
"Hahaha, padahal Kakashi-sensei antisosial, lho. Kau mau aku temani?"
"Terima kasih atas tawarannya, tetapi tidak masalah, Naruto-niisan. Aku memang ingin pergi jalan-jalan juga, kok. Kalau begitu, sampai jumpa."
Anak itu pergi lebih dulu meninggalkan dua Uzumaki. Naruto dan Boruto melambaikan tangannya meski Masaki telah berjalan ke depan tanpa menoleh. Dia menunggu dan memastikan anak itu benar-benar hilang dari pandangannya sehingga dia bisa pergi dari sana.
Masih dalam agenda berjalan-jalan, Masaki bertemu orang baru dan menjadi akrab dalam waktu singkat. Entah dia menuruni sifat ekstrovert dari siapa atau sikapnya kini hanya kepura-puraan semata untuknya dapat bertahan dan menjadi bagian di rumahnya. Memo bersampul hitam yang sejak tadi digenggamnya berisi catatan mengenai identitas orang yang dikenalinya. Kakashi memintanya menulis begitu. Umumnya seperti nama dan klan, tetapi Masaki melebihi ekspektasi dan menulisnya seperti catatan interogasi Morino Ibiki.
Menyusuri desa yang tiada habisnya memakan waktu cukup banyak. Karena sudah menunjukkan pukul 12 siang, Masaki beristirahat sejenak di tepi Sungai Barat Konoha. Sembari melihat bagaimana alam saling berinteraksi, dia membuka kotak bentonya yang berisi sandwich dengan telur dan ham. Dia juga membawa taiyaki untuk penutupnya.
Masaki makan dengan perlahan. Arus sungai tak begitu kejam dan gerakannya memanjakan mata. Suara-suara makhluk hidup membuat hati Masaki damai dan membuatnya terpesona dengan keindahan.
"Aku.. orang baru di sini." Masaki mulai berbicara pada ikan, air, pohon, semut, dan semua yang berada di sekitarnya.
Benarkah? Sepertinya kami pernah melihatmu. Kata Sang Sungai, memberi konspirasi. Masaki menangkap suaranya melalui rangsangan batinnya.
"Ah, mungkin orang yang mirip denganku."
Ya, ya. Mungkin saja.
Siapa namamu, Bocah? Kali ini Pak Tua yang bertanya. Dia adalah bongkahan batu besar yang duduk permanen di tepi sungai.
"Namaku Masaki. Hatake Masaki."
Angin menerpa wajah manisnya. Dedaunan berjatuhan, sungai terasa lebih deras. Seolah semua fokus terpaku ke arahnya, Masaki diam seribu bahasa karena tak tahu apakah ada yang salah dengan perilaku atau namanya.
Kau putra Hatake Kakashi? Pak Tua kembali bertanya.
"Be-benar," jawab Masaki sedikit gugup. "Kalian mengenal Ayahku?"
Hahaha!! Tentu saja kami mengenalnya, Bocah! Dia sering ke sini saat muda! Pak Tua tertawa begitu keras.
Itu benar! Kakashi selalu menyukai sanma di sungai ini. Sambung Sang Sungai.
Tetapi sudah lama dia tidak terlihat, ya? Nona Arus bertanya. Nadanya sedih.
Itu karena dia sudah menjadi hokage. Hokage, 'kan, sibuk! Sang Sungai memberi penenangan untuk bagian dari dirinya.
Huh! Tetap saja, seharusnya dia ingat siapa yang memberikannya sanma terbaik sejak dia masih kecil! Omel Nona Arus. Kekesalannya membuat seisi ekosisten tertawa.
Masaki yang telah menyelesaikan makan siangnya mengikrarkan suatu janji, "aku berjanji akan membawa Papa ke sini lagi. Kalian tunggu saja, ya."
Dan Sungai Barat Konoha bernyanyi bersama Masaki, bersama angin, bersama air, bersama tanah, bersama lebah, bersama ranting, dan bersama apapun yang ikut menyambut Penerus Hatake dengan suka cita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Existence Manipulation
Fiksi PenggemarA Kakashi & Shizune fanfiction __ Tujuh tahun sejak berakhirnya Perang Dunia Shinobi Keempat, masa-masa yang damai dihebohkan oleh kedatangan seorang anak laki-laki bersurai perak yang dapat menundukkan siapapun dan apapun di daratan muka bumi. Itu...