Sial...sial...sial
Umpatan itu terus saja keluar dari mulut seseorang yang tidak lain adalah Bara. Pria dengan tubuh tegap berotot itu berdiri di rooftop rumah nya. Sembari memegang pinggiran rooftop itu Bara menatap nyalang ke arah bawah. Dimana sudah ada mobil keluarga Nander. Siapa lagi jika bukan suruhan Mr Nander yang kesini, seperti buronan tidak lebih tepatnya seperti tidak bersalah Bara terlihat santai di apartemen nya tanpa bersiap untuk melarikan diri dari sana.
Rahang tegas pria itu semakin mengeras pertanda emosinya mulai memuncak, Bara secepat mungkin menetralkan nya. Jika emosi nya berhasil menguasainya, maka tidak menutup kemungkinan ia akan berkata yang sebenarnya atau hal hal yang terjadi sebelum nya. Tidak, pria itu belum memulai permainan yang sebenarnya ia tidak boleh sampai ketahuan.
Namun sayangnya, hal itu terlambat tanpa Bara ketahui Mr Nander yang menunggunya untuk mengakui kesalahannya justru yang ditunggu merasa jika dirinya lebih pintar dalam hal ini. Padahal nyatanya ia sudah lebih dulu ketahuan, akan tetapi Mr Nander akan tetap menunggu sampai Bara benar benar mengatakan semuanya, yah semuanya yang sudah terjadi.
Yang dimulai dari kematian Tarissa!
Di sisi lain, Revan sudah tiba di rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa kondisi Lolita kritis, tekanan darah gadis itu menurun seiring berjalan nya waktu, jantung Revan berpacu dengan cepat saat samar-samar ia melihat wajah kekasihnya di balik jas kebesaran sang dokter yang melindungi nya. Didalam sana Lolita sudah ditangani dokter.
Sedangkan Revan, pria itu masih setia menunggu di luar ruangan Lolita tempat gadis itu di rawat. Beberapa temannya juga ada disana terkecuali Kay.
"Revan" pria itu menoleh saat namanya di panggil, sepasang parubaya datang dari arah berlawanan.
"Tante Ningsi" gumam Mila.
"Bagaimana kabar Lolita?" Tanya Hildan dengan cemas harap, pria parubaya itu ngos-ngosan bagaikan di kejar anjing semalaman.
Revan menatap dari jendela ruangan Lolita kemudian kembali menatap kedua orang tua Lolita. Sorot matanya yang tajam namun tersirat kepedihan yang menyayat hati. Hildan yang melihat itu merangkul tubuh istrinya, dengan pandangan tertunduk dengan mata yang berkaca-kaca. Hildan bukanlah orang yang gampang menangis tapi menyangkut putri kecilnya pria itu akan melakukan seribu satu cara untuk membahagiakan anak semata wayangnya itu. Tak heran jika hari ini Hildan merasa dirinya rapuh, pundak yang semula nya seimbang kini menjadi berat sebelah. Hati yang semula nya sempurna kini menjadi retak tak tersisa. Masih adakah harapan seorang ayah sekarang?
Melihat putrinya terbaring tak berdaya dengan alat medis dimana mana, sesak! Itulah yang dirasakan Hildan. Baik Hildan maupun Revan mereka seperti mengalami perang batin yang hebat, tak di pungkiri Ningsi yang menyaksikan nya melihat anaknya yang ia lahirkan dan besarkan selama 18 tahun ini terkapar dengan tubuh tak berdaya.
"Siapa yang sudah melakukan ini kepada anak saya?" Tanya Hildan, aura kewibawaan nya menguar, tanpa disadari atmosfer di antara mereka semakin menipis. Hildan menatap ke depan dengan tatapan tajam namun penuh makna memegang bahu Revan dan kembali mengulangi pertanyaan yang sama.
"Jawab!" Desis tajam Hildan karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Revan.
Mila, dan Dito menatap mereka penuh was-was berbeda dengan istri seorang pengusaha itu Ningsih memilih untuk diam menunggu jawaban dari kekasih anaknya itu.
"Saya tidak tau"
"Bodoh!" Umpatan itu keluar begitu saja dengan mulusnya tanpa ada hambataan atau celaan sekalipun. Rahang dan urat-urat nya mengeras bersamaan dengan emosi nya yang ingin naik ke otak.
Pintu ruang rawat Lolita terbuka seorang dokter yang tadi menangani Lolita keluar sembari melepaskan kacamata nya ia menatap orang-orang disekitar nya.
"Keluarga pasien?"
"Saya-" Revan yang baru ingin berbicara langsung di potong oleh Ningsih.
"Saya dok, saya ibunya, dan ini ayahnya" ucap Ningsih lebih dulu.
Sang dokter mengangguk dan membawa orang tua Lolita ke sebuah ruangan.
"Kenapa tidak katakan disini saja" suara Revan menginterupsi mereka.
"Ada beberapa hal yang sifatnya pribadi jadi saya harap anda memaklumi nya" ucap dokter itu.
Revan tak mencegah kepergian dokter itu bersama dengan orang tua kekasihnya.
Jika terjadi sesuatu, maka jangan salahkan saya jika saya ambil kembali putri saya
Kalimat terakhir yang di ucapkan Hildan berefek besar bagi Revan. Tidak, ia tidak akan siap untuk menerima kenyataan ini. Ia bisa mati tanpa seorang Lolita disisinya ini, perjuangan Revan selama ini tidak boleh sia sia. Dia yang berjuang selama ini, maka dia yang harus mendapatkan buahnya.
Tidak ada yang bisa merebut mu dariku sayang
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Psikopat
Teen FictionRevan pria berusia 17 tahun memiliki gangguan psikolog. hasrat nya yang ingin membunuh seseorang menjadikan dirinya seorang psikopat hingga suatu hari dia di pertemukan oleh seorang gadis cantik pintar dan baik Lolita. namun sayang nya cinta revan b...