11 . Maniac; Mulai merasa nyaman

7.1K 694 17
                                    

Di luar hujan lebat namun tidak disertai gemuruh. Langit siang berubah kelabu, suhu di sekitar mulai mendingin. Pria berusia 22 tahun yang sedang duduk di kursi bar itu sibuk menatapi sosok yang juga sibuk membuat makanan untuk keduanya. Bergerak kesana kemari tanpa ada celotehan yang keluar dari bibir merahnya.

Mereka makan dalam diam. Renjun tetap membantu Jeno untuk makan, menyuapi sedikit demi sedikit hingga makanan mereka habis. Kemudian ia membawa Jeno ke kamar mandi, membantunya membuka pakaian juga membantu pria tampan berhidung mancung itu untuk bercukur.

Jeno menandangi sepasang mutiara berwarna hitam pekat tersebut. Tampak kosong dan hampa, tidak seperti biasanya. Di tulang pipi sebelah kanannya terdapat lebam kemerahan, bekas pukulan suaminya tadi malam.

"Selesai." Ujarnya pelan dan membasuh alat cukur sebelum meletakkan kembali ke tempatnya. Ia mengusap bagian bawah wajah Jeno menggunakan handuk kecil, sangat hati-hati.

Akhirnya keduanya pun berdiri di bawah pancuran air hangat. Renjun berdiri memunggungi Jeno, mengusap tubuh bagian atasnya menggunakan cairan sabun. Jeno masih tidak bergeming, ia memandangi tubuh Renjun yang rasanya semakin kurus. Lebam-lebam itu... masih terlihat segar.

"Kau baik-baik saja?" Jeno bertanya.

Renjun tersadar dari lamunannya lalu menoleh ke samping, "kamu mengatakan sesuatu, Jeno-ya?"

"Kau baik-baik saja?" Tanya Jeno sekali lagi. Kali ini disusul dengan Renjun yang memutar tubuhnya ke belakang, memar di bagian perutnya berhasil ditangkap oleh mata Jeno.

Benar, lebam-lebam itu pasti disebabkan oleh pria yang Jeno ketahui sebagai suami dari Renjun.

"Aku baik-baik saja. Aku hanya sedang lelah." Jawab Renjun. Ia mendongak, memberikan senyum terbaiknya.

"Tubuhmu. Banyak lebam di tubuhmu."

"Ah?" Renjun mengerjap pelan, ia pun mengusap lebam di perutnya, "aku tidak sengaja menabrak pinggiran counter dapur. Tapi sampai lebam begini."

Jeno paham, Renjun berbohong padanya. Jeno tidak sebodoh itu, ia melihat dengan jelas dengan mata kepalanya sendiri tadi malam.

Detik berikutnya Jeno pun menghela nafas pelan. Ia mengangkat kedua tangannya yang terborgol lalu melingkarkannya ke tubuh Renjun. Menarik tubuh ringkih itu untuk dipeluk, meletakkan dagunya di puncak kepala Renjun.

Renjun terdiam sesaat. Jeno sedang memeluknya. Begitu erat, di bawah pancuran air hangat. Renjun tersenyum kecil, membalas pelukan tersebut lalu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Jeno. Sangat nyaman. Ia merasakan seluruh keluh kesahnya hilang, Jeno benar-benar menyelamatkannya dari rasa sedih yang menyakitkan itu.

Keduanya berbagi kehangatan lewat pelukan tersebut. Jeno yang mencoba menyentuh hati Renjun supaya kedepannya nanti Renjun mau melepaskannya, sedangkan Renjun merasa nyaman dengan pelukan itu karena ia sangat membutuhkannya.

Di luar masih hujan. Renjun dan Jeno memutuskan untuk sekedar menonton film. Jeno menyender nyaman pada sofa bersama Renjun yang juga menyender pada bahunya.
Tontonan mereka kali ini beraliran horor. Cemilan pun tersedia di meja rendah di hadapan mereka.

Jeno bosan. Ia tidak begitu menyukai film horor. Ia hanya memandang sekilas ke layar tipis tersebut lalu menoleh ke balkon yang terbuka lebar. Hah, ia ingin pulang.

"Jeno-ya, kamu baik-baik saja?" Tanya Renjun sambil menarik dagu Jeno untuk menoleh ke arahnya.

"Apa? Aku... baik." Ujar Jeno menjawab.

"Jeno-ya, aku ingin bertanya sesuatu padamu." Renjun memposisikan diri duduk bersila lalu menahan senyum malu, sepasang matanya menatap lurus ke sepasang mata Jeno.

Ah, ayolah apa lagi ini?

"Apa yang kamu suka dariku?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Membuat Jeno sedikit mengerutkan kening namun ia harus tetap menjaga imej agar Renjun percaya padanya. Maka dari itu ia bisa lebih mudah menyusun rencana untuk mengelabui si psikopat berwajah cantik itu untuk pergi melarikan diri.

Namun entah kenapa... Jeno terbuai dengan tatapan polos dan sendu itu. Tatapan yang seolah menyimpan banyak luka dan kemarahan di dalamnya. Renjun sangat cantik, sangat amat cantik. Kulitnya tampak bersih bagai porselen, hidungnya bangir, bibirnya merah seperti kulit buah persik.

"Bibirmu." Ujar Jeno tanpa sadar. Memandangi bibir plum tersebut.

Renjun merasakan wajahnya memanas. Senyuman tipis dan malu-malu terbit di wajah cantiknya, bibir plum merah muda itu sangat menarik perhatian Jeno sendiri. Bagaimana bisa Jeno sedari tadi memandangi bibirku, batin Renjun bersorak.

Lelaki kurus itu pun beranjak. Memposisikan kedua lutut di sisi tubuh Jeno lalu mulai mendekatkan wajahnya. Belah bibir mereka bertemu, awalnya hanya bertempelan satu sama lain namun detik berikutnya Renjun-lah yang pertama kali menciptakan lumatan kecil penuh cinta.

Suara ciuman mereka seolah-olah mengisi kekosongan ruangan tersebut. Film horor di layar televisi yang kini menonton dua insan yang sibuk bertukar saliva. Lidah mereka seolah beradu, Renjun melingkarkan kedua tangannya di leher Jeno sesekali meremas ekor rambut pria idamannya.

Jeno melepaskan ciuman tersebut. Menghirup nafas lewat mulutnya sebelum menempelkan bibirnya ke permukaan kulit halus itu. Memberikan kecupan kecil, menghirup aromanya, feromonnya sangat manis seperti madu dan kayu manis.

"Ah.." Renjun melenguh saat Jeno menghisap kulit di bagian tulang selangkanya. Memejamkan mata, merasakan bibir tipis Jeno benae-benar memberikan kehangatan di permukaan kulitnya.

Tidak, ini bukan Jeno.
Jeno tidak akan pernah mau menyentuh lelaki yang telah menculiknya.

Namun entah mengapa, Jeno malah melakukannya. Bercumbu dengan Renjun rasanya begitu candu. Selama ini Jeno tidak pernah berciuman seintim ini dengan orang lain, hanya Renjun yang pernah melakukannya.

Geez..
Jeno menghela nafas pelan saat keduanya sudah selesai dengan urusan mereka. Renjun memandangi Jeno, mengusap sisi rahang tegas pria tersebut kemudian memberikan kecupan di kening dan tulang hidung.

"Gomawo...." bisiknya.

Entahlah kenapa.
Jeno juga tidak mengerti. Ia memilih untuk mengistirahatkan kepalanya di bahu Renjun lantas memejamkan mata. Tidak semudah itu untuk lepas dari Renjun tetapi ia yakin, ia bisa.

"Jen." Panggil Renjun.

Renjun membingkai wajah tegas tersebut lalu menatap lurus ke dalam mata Jeno, "bagaimana jika kita pergi keluar besok?" Tanyanya.

Sontak Jeno mengerjapkan mata. Keluar? Keluar dari sini maksudnya?

"Keluar..?"

"Ya," Renjun berkata seolah tidak ada beban, "kita akan pergi ke pusat perbelanjaan, membeli barang-barang untuk kebutuhanmu juga untuk kebutuhan rumah."

Baiklah, Jeno.
Jangan sampai gegabah, ini adalah kesempatanmu. Kesempatan emas untukmu!

"Baiklah."

Renjun tersenyum senang, "hihi."









.
.
.
.
.

To be continue

.
.
.
.
.







- navypearl -

MANIAC  |  JenoRenjun✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang