Di cafe, Lana melihatnya lagi.
Dia iseng mengalihkan pandangan melihat cafe yang begitu aestetik. Ia menengok ke arah kiri dekat pintu cafe.
Ia melihat Devan berada di depan cafe. Ia sedang mengobrol dengan temannya. Entah mengapa pandangan Lana terpaku padanya. Setelah ia datang ke dalam novel ini, Lana selalu merasa aneh saat menatap bahkan berdekatan dengan Devan.
Lana baru beberapa kali melihat lelaki itu, tapi entah kenapa jantungnya selalu berdetak kencang. Ia selalu merasakan euforia itu.
Selama menatap sekilas wajah Devan, ia selalu menganggapnya sebagai sebuah entitas indah yang selalu mendalami hati dan pikirannya. Lana sebelumnya pasti merasakan ini, ia yakin hati mereka masih terhubung menjadi satu.
Dari awal dia selalu membuat keributan dan kelakuan memalukan setiap dia sedang berperan sebagai pembantu. Selalu saja mendapat omelan dari Bella, dia bahkan selalu berkata kasar tanpa tahu waktu. Hingga akhirnya dia berhasil menarik dirinya untuk mengurangi setiap perilaku buruknya.
"Ternyata memang benar kamu mencintainya." Lana menyengir saja seperti tertangkap kamera melakukan hal dosa. Ia segera mengalihkan pandangan dan semoga saja lelaki itu tidak melihat dirinya ada di sini.
Lana segera menyalakan ponselnya dan melihat bahwa ia telah selesai download beberapa film. Film itu dia bahkan tidak pernah melihatnya sejak di dunia nyata. Karena itu dia sangat excited untuk sekedar mencoba menonton banyak film.
Untung saja memorinya tidak penuh.
"Aku tidak melihatnya berdasarkan pembelajaranku di jurusan, cuma feeling saja. Setauku teman-teman Devan itu sangat berandalan. Mereka selalu membuat masalah, memang terkadang kampus bagus tidak menutupi bahwa karakter mereka harus bagus juga."
Lana sedikit terkekeh. Bisa saja Vania ini. Dia 'kan jadi teringat akan dirinya sendiri ... dia itu pintar bahkan penerima beasiswa, namun tingkah lakunya seperti orang tidak berpendidikan.
Agak mengherankan. Setidaknya otaknya itu bagus.
Mereka berada di sana sesekali mengobrol hingga 30 menit berlalu. Vania mulai membonceng Lana agar dia segera mengantarkan perempuan itu ke supermaket terdekat rumahnya.
Lana tahu Vania tulus, namun dia hanya menjaga antisipasi.
Vania banyak memberikan kalimat motivasi untuknya, tapi itu tidak berkemungkinan dia baik ... atau bahkan jahat. Lana hanya ingin dia bekerja sediri dulu untuk menangani kasusnya sendiri.
Lana tidak boleh lengah terlebih dahulu.
.
.
.
.
.
.
Lana berjalan sekitar 500 m untuk sampai di rumah. Ia yakin tidak akan menyasar lagi. Dia sedang melihat maps di ponselnya.
Tentu saja dia pasti akan sampai rumah. Tidak mungkin map di ponselnya berkata demikian menyesatkan dirinya.
"Gue liat kotak pos itu lagi." Entah kenapa kali ini dia merasa sedikit suram dengan keadaan ini. Ada kotak pos berwarna hitam dan putih berjajar di setiap rumah. Ia bahkan melupakan untuk mengingatnya saat menghapal jalan tadi pagi. Sesuatu yang tidak asing itu sudah dilihatnya dua kali.
Ini seperti hal yang dibutuhkan di kota ini. Dari nama Universitas yang ia tempati saja asing sekali.
"Gue selalu lupain ini padahal ini topik utama gue. Enggak mungkin Gita buat novel ini hanya sekedar karangan saja." Lana kembali memperhatikan seseorang di belakangnya sedang mengepalkan tangannya sekitar beberapa detik dan mulai memasukkan sebuah surat ke dalam kotak hitam. Ia mengernyit bingung. Kenapa tidak di kotak putih saja? Memang fungsi keseluruhannya berbeda semua?
KAMU SEDANG MEMBACA
Back to Life
FantasyBagaimana jika dirimu masuk ke dalam novel milik sahabatmu? Itulah yang terjadi pada Lana, mahasiswi hukum yang entah terkena keajaiban atau karma masuk ke dalam buku milik Gita, sahabatnya. Ia menjalani kehidupan keduanya dalam novel yang memang di...