"Keluar lo sialan?!" Di depan apartemen milik Gita, Lana terus menggerutu memukul pintu apartemen sembari memencet bel berulang kali. Yang ditunggu tidak keluar dari kamarnya sejak lima menit yang lalu. Ia mengirim pesan pun tidak ada balasan bahkan terlihat seperti di blokir?!
Sial, dia harus ke mana?
"Maaf, Mbak. Penghuni di sini terganggu karena kedatangan Mbak. Bisa keluar sekarang?" Lana baru sadar melihat sebelah apartemen Gita yang terlihat mengintip ke arahnya. Bahkan tidak hanya satu, ada sepuluh pintu terbuka dan belasan pasang mata yang melihat ke arahnya.
"Penghuni ini pergi ke mana? Kalau lo kasih tahu gue, gue bakal pergi," celetuknya yang masih ingin berada di sini. Sebenarnya tidak mau pergi sampai ia berhasil memukul wajah polos Gita itu.
"Maaf, Mbak. Kami tidak tahu di mana-"
"Lo bisa cek cctv 'kan? Kenapa enggak mau usaha, hah?!" Lana kembali berujar terhadap lelaki muda itu. Terlihat seperti penjaga amatir yang bisa dia manfaatkan untuk penghilang emosinya. "Bisa aja dia enggak mau buka pintunya karena itu. Intinya gue enggak mau pergi."
Puk.
"Anda telah menganggu ketenangan apartemen ini. Pergi atau saya bawa anda ke kantor polisi." Lana berdecak geram. Menyebalkan sekali dia tidak bisa menghasilkan apapun untuk datang ke sini. Ia telah mengabiskan uang jajannya dengan menaiki taksi. Lana pulang dengan perasaan kesal dan mendapati cacian maki ditorehkan padanya.
Bodoh amat dia tidak peduli.
Ting!
Pesan masuk dari seseorang dan Lana melotot kaget dan segera berlari cepat menuju suatu tempat. Ia bahkan menuruni tangga dari lantai 3 karena lift terlihat ramai.
Dia harus segera ke rumah Gita yang jaraknya sekitar 5 menit dari sini. Tentu saja dia akan berlari cepat bahkan saat dia sudah menyelesaikan anak tangganya tepat di lantai 1.
Lana berlari di keheningan malam Jakarta. Tidak bisa dibilang hening karena Jakarta memang akan selalu ramai. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam dan Lana belum bisa sampai di rumah Gita.
"Ehhh berarti kalau gue berniat mukul, dia 'kan di sana ada orang tuanya bahkan Kakaknya." Lana akhirnya diam duduk dengan pandangan kesal. Kerutan di dahinya belum hilang memikirkan bagaimana dia akan memukul anak itu.
Ting~
'Jangan bilang lo takut karena ada bokap sama nyokap gue.'
"Nantangin banget tuh orang!" Lana berjalan terburu-buru dengan amarahnya yang mencuat. Ia tidak sabar ingin menebas kepala perempuan itu. Ia tidak peduli dengan apapun yang terjadi ke depannya.
Setelah melewati perjalanan kurang dari 5 menit, Lana sampai dan mendapati teman sampahnya itu berada di kamarnya tepatnya di lantai 2—memandangnya dengan ekspresi menakutkan.
"Turun lo kalau berani sini?! Beraninya main pakai ketikan doang." Lana mengejeknya tidak mau kalah. Lana beranikan diri karena ia tahu Gita itu orangnya tidak bisa melawan dirinya. Ia sudah kenal anak itu sejak lama, mana mungkin dia bisa salah memprediksi ini semua. Ia juga sadar saat mobil orang tuanya tidak ada di rumah.
"Gue tahu orang tua lo lagi pergi, gue enggak lupa ya walaupun gue udah setahun enggak ke sini." Dilihat Gita mencebikkan mulutnya kesal membuat Lana merasa menang.
Sebenarnya dia bisa manjat pagarnya apalagi rumah Gita tidak sebesar seperti istana yang dijaga oleh satpam. Ia juga hanya punya pembantu yang dipekerjakan hingga sore, berarti tidak ada orang tuanya maupun kakak laki-lakinya-yang ia baru ingat sudah pindah rumah karena telah menikah setahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back to Life
FantasyBagaimana jika dirimu masuk ke dalam novel milik sahabatmu? Itulah yang terjadi pada Lana, mahasiswi hukum yang entah terkena keajaiban atau karma masuk ke dalam buku milik Gita, sahabatnya. Ia menjalani kehidupan keduanya dalam novel yang memang di...