Bab 1

44 8 2
                                    

Petir menggelegar. Mereka bertarung di atas sana. Siapa yang mengeluarkan kilatan paling bercahaya. Paling indah. Unik. Sebab bunyi bising itu, mereka tidak sengaja membangunkan gadis yang tidur siang di kelasnya. Matanya diusap berkali-kali. Membetulkan penglihatannya yang buram. Sesaat kedua matanya membulat. Ia meraih kamera. Jari nya menekan tombol. Lalu tertangkap gambar kilatan petir itu.

Sesekali mengecek ulang hasil jepretannya. Sempurna. Langit gelap. Lalu kilat terang menghiasi kosong nya awan hitam menggumpal. Memang agak aneh. Dia penyuka hujan. Terlebih lagi pada petir. Meski dirinya -- petir -- berpotensi mematikan namun tak apa. Petir dicintai oleh yang tepat.

" Selera mu unik juga." Gadis berambut pendek coklat menatap nya tersenyum. Hening. Si fotografer tidak menanggapi apapun. Arunika Priskaningsih sebut saja Arun ikut melihat foto di layar kamera. Dia bertingkah seakan memuji namun sebelahnya mendengar seperti ada unsur ejekan.

" Hasil mu memang bagus, tapi aku rasa lebih baik ambil objek lain," ucapnya memanyunkan bibirnya. Bola mata memutar malas. " memang gak ada hal lain yang bisa kamu jepret? Petir terus menerus," lanjutnya. Hei. Maaf. Apa ini termasuk urusanmu? Diam. Hanya itu yang dapat dilakukan. Tak perlu ambil pusing. Diamkan saja. Nanti akan mereda.

Betul saja. Arun terdiam. Perempuan itu tersenyum kecil. " Sudah selesai?" Dilly Laqueta. Dengar-dengar gadis itu cuek. Arun tidak percaya memastikan. Tapi ini malah terlihat lebih menarik dari apa yang dikatakan seisi sekolah. Dilly membuang muka bosan. Menatap tetesan air jatuh ke tanah berkali-kali. Mengacuhkan Arun.

Arun masih terpaku. " Hal tadi gak ada hubungannya dengan mu, jadi urus diri mu saja." Dilly kembali meletakkan kamera di dalam laci. Merobohkan sebagian tubuh yang ia topang ke atas meja. Terlelap. Arun kesal pergi.

~~

Jam pulang. Dilly mengeluarkan motor sport hitamnya keluar dari parkiran. Memasang helm full face nya. Tidak lama berbunyi ketukan dari kaca helm nya. Dilly menolehkan melihat siapa yang menganggu nya pulang. Arun. Ia memohon mohon untuk diberi tumpangan. Semakin diacuhkan Arun semakin banyak berbicara. Membicarakan dari Sabang sampai Merauke.

Dilly menekan klakson. Bunyi klakson begitu panjang. Arun terkejut. Ia menjadi terbata-bata. Tangannya bergetar. Sedikit takut.

" Cepat," ucap Dilly. " Bicara saja gak ada aksi, itu omong kosong." Dilly menguatkan pegangan pada stang motor. Arun segera naik. Kini dia menjadi lebih mudah melihat arah jalan. Kamera yang dikalungkan pada leher Dilly, ia minta agar dipegangnya. Arun seperti mengajak bertengkar. Dia melepas tali kamera. Kemudian menjalankan motornya kecepatan sedang.

Di belakang. Arun mencari mode video. Ia merekam seluruh perjalanan Dilly mengantar nya pulang. " Aku akhirnya dekat dengan si cuek ini, guys." Mengaku saja dirimu itu. Ia juga menampilkan senyum di video itu. Sesekali ikut memasukkan Dilly yang tengah mengendarai. Dilly merasa terganggu mengusir kamera. Arun tidak hirau.

" Aku sudah sampai di tujuan ku, manteman," ucapnya melambaikan tangan tanda sampai jumpa. Dilly merampas kamera nya. Mematikan tingkah Arun. Kini memori kamera seketika penuh hanya 1 video panjang itu. Dilly menyimpan kameranya dalam tas. Lain kali harus berhati-hati. Arun berterima kasih banyak padanya.

Dia juga meminta agar Dilly bermain di rumahnya. Dilly pergi dengan kesal tanpa mendengar apa yang Arun katakan. Arun menghela napas berat. Dilly si cuek itu. Memang harus dilelehkan di atas bara api yang baru menyala.

Sampai di kediaman Dilly. Ia melempar tas ke atas kasur. Menyalakan laptop. Mentransfer video tadi. Ia juga tidak santai menekan tombol laptop. Video itu tak sengaja diputar. Banyak sekali tebaran senyum anak itu. Dilly cepat-cepat menyimpan di dalam file lainnya. Entah Dilly tidak suka dengan tingkahnya hari ini.

Tiba-tiba mendekat. Memberi pujian tapi terdengar mengurusi urusan orang lain. Meminta tumpangan pulang. Dan lagi memakai kamera tanpa seizin nya. Ruangan internal kamera menipis seperti kesabarannya.

The Thing She Has: A Camera [Selesai] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang