Bab 3

19 3 0
                                    

Dilly acuh. Arun tertatih. Kembali menarik atensi. Sepatah kata pun diucapkan bisik-bisik. Mengasihani Arun. Menganggap Dilly kurang peka. Itu memang benar adanya. Mereka tidak dekat. Lantas mengapa menempel?

Di kantin. Sempat nya Arun berhasil meraih lengan Dilly. Menjadikannya sebagai tumpuan. Dilly menempatkan Arun duduk ketika menemukan satu meja kosong di pojok kanan sana. Selepas itu kembali seperti semula. Cuek. Dilly tidak menawarkan apapun pada Arun. Arun berinisiatif membeli makanannya sendiri.

Dilly kembali ke meja setelah membeli satu porsi penuh opor ayam. Arun juga ikut kembali. Tentunya mereka makan bersama. Dilly sibuk mengunyah makanan. Arun berceloteh kesana kemari. Suapan terakhir. Mereka mengembalikan alat makan yang tadi dipinjam. Bunga itu kembali lagi dikerumuni banyak lebah.

Dilly menghilang layaknya angin. Menuju toilet. Di dalam toilet, ia tidak melakukan apa-apa. Hanya sekedar men charge energi nya. Duduk melihat langit-langit toilet. Memainkan gulungan tisu. Terkadang memainkan air dari kran. Namun semua terhenti. Dari bawah, Dilly melihat kaki orang. Tentunya. Mendengar seksama.

" Mereka benaran berteman?" Gadis berbando pink itu mencuci tangan. Hari jemarinya menghasilkan beberapa bulir air dan dicipratkannya ke depan cermin. Temannya -- berikat kuda -- menyandarkan tubuhnya di dinding marble toilet. Menatap temannya itu.

Gadis pink itu duduk di wastafel. Mengayunkan kakinya. " Entahlah, mungkin." Temannya menaikkan kedua bahu. Berkutat menghabiskan permen di mulut. Bando pink itu menghembus napas kasar menggeleng kepala.

" Jawabanmu gak meyakinkan," ucapnya seraya kembali berdiri sebab terdengar langkah kaki dari luar toilet. Mereka keluar. Dilly ikutan. Mencoba mengejar pelan. Beruntung. Mereka berdua dihentikan oleh seorang guru. Dilihat secara sekilas, Dilly hanya berjalan. Namun matanya melirik name tag mereka. Kini ia tahu nama nya.

Siswi berbando pink itu, Keyla Adriani.
Satunya berikat kuda, Deandra Azka.

Di kelas. Dilly disuguhi rengekan Arun.

" Kamu kenapa tadi pergi sendiri? Lupa ada aku juga?" Arun menatap tajam Dilly. Ia juga memukul pelan Dilly. Arun tidak peduli mau dilihat orang bagaimana yang terpenting melampiaskan amarahnya. Dilly mencengkeram pergelangan tangan Arun. Menghentikan keributan.

" Terus aku harus apa?" tanya Dilly merasa tidak bersalah. Melepas eratan. Membuang tangan Arun. Masuk. Duduk di bangku membaca. Arun masih patah-patah dalam berjalan mendekati Dilly. Menutup per lembar buku yang Dilly baca. Ia juga duduk di depannya.

" Bukannya kita teman?" Arun menaikkan alisnya. Dilly bermain handphone sebagai pengganti media buku. Arun semakin geram. Dia juga merampas handphone Dilly. Dilly lebih memilih memandang pemandangan luar jendela ketimbang mata Arun yang menyebalkan itu.

" Sejak?" ucap Dilly menoleh ke Arun. Arun membeku di tempat. Cueknya Dilly sudah mengakibatkan gunung berapi meledak di atas kepala Arun. Ia menggoyang keras tangan Dilly. " Ish!! Kok gitu, kan kita sering bareng," pungkas nya. Dilly melepas sentuhan Arun.

" Itu kamu." Dilly mengacungkan jari. Hanya sekitar beberapa sentimeter cukup membuat Dilly mencolok mata Arun. Arun tertegun. Melihat jadi Dilly yang begitu dekat dengan pupil matanya. Tetap tenang. Ia membuang jari Dilly  ke samping kanan. " Tapi kamu terima aja tuh," lirihnya. Dilly tersenyum tipis.

" Gak tuh," ucap nya menajamkan tatapan nya. " kamu nya yang ngikut terus, aku juga gak minta," lanjut nya. Tersenyum? Pipi Arun merah menahan malu. Yap. Benar. Dilly tidak pernah meminta Arun menemaninya kemana pun. Arun kesal menggeledah laci meja. Membuat lagi rekaman video yang membuang-buang ruang memori kamera.

" Nih guys, si es batu ini memang gak ada pekanya!" Arun memfokuskan kamera pada Dilly. Dilly menutup lensa memakai bukunya.
Arun mencari sudut pandang yang lebih baik lagi. Namun Dilly sukses meraih kameranya.

" Buat apa beginian?" Dilly mematikan rekaman video. Membersihkan lensa yang tak sengaja tersentuh oleh sidik jarinya. Tangan Arun menahan berat kepalanya. Lalu seiring tersenyum.

" Meredam amarah," ucapnya.

" Terserah." Dilly memotret langit sore yang diterangi sinar orange dari barat.

The Thing She Has: A Camera [Selesai] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang