Di rumah. Dilly melihat lihat hasil jepretannya. Kini fotonya sudah cukup banyak. Kemudian ia memasukkan alamat website. Dikirimnya foto-foto itu. Selang beberapa menit, diberi respon yang positif. Ada pula akun yang langsung memesan fotonya.
Handphone nya berdering lagi, lagi, dan lagi. Pesanan memuncak. Dilly senang. Bahkan sampai ada notifikasi pemasukan uang.
Tanpa pikir panjang, Dilly mencetak fotonya menjadi polaroid. Beberapa cetak polaroid itu dibungkus selembar kertas coklat. Kemudian diikat tali coklat seperti bingkisan dulu-dulu. Diberi kartu ucapan terimakasih. Bingkisan itu akan diantarkan 2 hari lagi. Kebetulan 2 hari kedepan adalah hari Minggu. Ia bisa mengantar mereka -- paket -- sendiri tanpa perlu bantuan ongkir.
" Gak rugi belajar memotret," gumam Dilly. Ia menyentuh kameranya. Kamera itu menemaninya hingga saat ini. Dari yang tidak bisa menjadi bisa. Kamera yang ia pakai selama ini adalah pemberian kakeknya. Kakeknya dulu juga seorang fotografer. Dilly belajar juga dari beliau.
Dilly bersekolah dengan tinggal di rumah kakek. Ia berjanji tidak akan merepotkan dan belajar mencari penghasilan. Namun beliau masih tetap memperlakukan cucunya semestinya.
_Take 1_
Dilly Laqueta. Lahir di keluarga yang cukup akan harta. Rencana hidupnya sudah ditentukan sebelum ia lahir ke dunia. Belajar. Tidak membangkang. Penurut. Dengan begitu Dilly akan semakin disayang. Permintaan nya akan dituruti. Menurutnya saat berumur 6 tahun.
Selama beberapa tahun ke depan, Dilly anak yang baik. Hingga pada umur 10 tahun, ia menunjukkan ketertarikannya pada kamera. Hasil jepretan kakeknya sangat menawan. Bahkan dipasang di beberapa dinding rumah. Matanya berbinar ketika melihat pemandangan bukit-bukit menjulang tinggi. Foto itu kakek ambil saat mendaki.
" Kakek, apa ini semua kakek yang mengambilnya dengan alat ini?" Dilly menunjuk bedan berbentuk kotak warna hitam itu. Sang kakek mengangguk sambil menggendong Dilly. Beliau menunjukkan lebih banyak hasil potretnya pada Dilly kecil. Dilly berbunga-bunga.
Dilly mulai belajar menjadi fotografer. Namun karena masih muda ia harus meminta izin pada kedua orang tuanya. Tentu orang tua Dilly tidak setuju. Masih ada banyak hal yang dapat dikerjakan selain hal tersebut.
" Untuk apa belajar begitu? Kerjakan hal lain saja," ucap ayah menyeruput secangkir kopi. Mulutnya berkata begitu tapi sorot matanya tertuju pada layar laptop. Ibu nya ikut mengangguk setuju. " Iya, apa yang ayah katakan benar. Cari kesibukan lainnya."
Dilly kecewa mengunci dirinya dalam kamar. Hal yang ia sukai selalu saja tidak memiliki dukungan. Dia pernah membuat sebuah lukisan sebab rasa bosan menggelora dalam dirinya. Menunjukkan hasilnya pada ayah ibu. Berharap mendapat pujian. Satu pun tak apa. Tidak. Tidak pernah Dilly dapatkan.
Dilly duduk membelakangi pintu. Ia menatap lama langit-langit kamar. Berpikir apa yang harus dilakukan selanjutnya. Sesaat menolehkan sorot matanya menuju bintang yang bersinar sendirian di langit atas sana.
Terlintas ide. Dilly beranjak naik ke tas kasur dan tidur. Dia tak sabar menunggu pagi besok.
Pagi tiba. Ia tergesa-gesa menuju rumah kakek. Disana ia meminta tolong agar beliau mengajari Dilly menjadi dirinya. Kakek tidak segan. Mereka mulai belajar hari itu juga. Dimulai dari dasar. Dilly mempraktekan cara memegang kamera. Kemudian belajar fungsi dari tombol yang ada. Saat sudah paham, ia mencoba mengambil objek. Contohnya kumbang merah.
Ia perlihatkan hasilnya pada kakek. Sang kakek senang cucu nya sudah bisa. Mereka liburan bersama saat Dilly berumur 15 tahun. Memotret mereka lalu mencetaknya. Dilly kelewat senang. Tidak sadar kamera kakeknya terbawa pulang.
Di rumah, sang ayah melihat anaknya mempelajari hal yang sudah ia tidak setujui. Ayah merebut kamera itu. Dilly melompat-lompat berusaha meraih kamera. Sang ayah marah besar Dilly tidak mendengarkannya. Ia mendorong tubuh Dilly terjatuh. Ibu melihatnya. Menghentikan pertengkaran itu.
Dilly lari keluar menuju taman. Ia menundukkan kepala menahan kesal. Datanglah ibu nya cemas. Memeriksa Dilly.
" Bukankah jika menurut permintaan Dilly akan dituruti juga?" Dilly mengepalkan tangannya. Berusaha keras membendung air matanya. Ibunya mengelus rambut Dilly. Dilly melepas tangan ibunya. " Kan ibu sudah bilang cari hal yang lain," ungkap ibu.
Dilly mengeraskan rahangnya. " Hal.. lain? Ibu, itu hal yang Dilly suka," ucap Dilly menatap dalam mata ibu. Ibu menggeleng.
" Tapi lihat, ayah jadi marah." Dilly tertawa mendengus. Tak percaya. Tidak ada satu yang mendukung kesukaannya." Dilly melakukan ini, agar kita dapat berfoto bersama," lirihnya menatap langit malam. Dilly rasa ia tidak pernah melihat foto bersama ayah ibunya. Jadi ia ingin melakukannya meski sekali saja. Sang ibu tanpa respon apapun menuntun Dilly masuk rumah. Sang ayah menunggunya.
Ayah menyerang Dilly menggunakan kalimatnya. " Dilly ingin menurut atau tidak? Jika tidak, Dilly bisa angkat kaki sekalian." Bukannya meraung meminta maaf sebaliknya Dilly tersenyum tipis. " Kalau itu keinginan ayah, Dilly siap-siap saja." Dilly naik ke lantai atas. Membereskan pakaiannya. Diakhiri sampai jumpa menaiki motor sport hitamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Thing She Has: A Camera [Selesai]
Teen FictionLensa yang akan memfokuskan pada sesuatu kemudian ruang internal menampungnya. Tapi ini bukan hanya sekedar hal-hal biasa namun terdapat cerita di dalamnya. #nunobanoia #thethingnoia #nubarkelimanoia #ayoberanibarengaienoia