Bab 2

21 5 2
                                    

Deru mesin motor sport hitam berhenti di parkiran. Dilepasnya helm full face milik Dilly. Hari ini serba hitam. Rambut hitam sebahu. Hoodie hitam. Ransel hitam. Hitam memang warna terbaik baginya. Dilly melangkah masuk kelas. Ditatapnya oleh semua orang. Sebagian memuji sebagian mengada-ada.

Lihat itu Dilly kan?
Hitam semua. Kayak gak ada warna lain.
Memang Dilly cool!
Aku dengar dia cuek banget.
Kasian sendirian, gak ada teman ya?

Namun semua itu sirna ketika Arun mendekat pada Dilly. Bahkan berjalan bersama. Informasi mereka kini duduk di bangku SMA dan ketidak sengajaaan penulis mereka satu kelas. Arun tersenyum ceria di samping Dilly yang beku. Seketika mereka menjadi buah bibir baru.

Arun?
Yakin?
Mereka dekat? Sejak kapan?
Kalau kamu tanya aku, ya aku gak tahu lah!
Jarang sekali Dilly bersama orang lain!
Keliatannya mereka berteman

Dan lain sebagainya. Dilly dan Arun terlebih lagi Dilly yang menjadi pusat perhatian merasa tidak nyaman. Dilly mempercepat langkah kakinya seiring menutupi kepala dengan tudung hoodie nya. Arun terbirit-birit mengikuti langkah kaki Dilly. Hingga tidak sengaja menabrak seseorang.

" Jalan yang benar!" teriak gadis berbando pink dari bawah seraya mencoba berdiri. Arun berlagak jika gadis itu yang salah. Bukan dirinya. Bukan. Ini salah Dilly! Tapi salahkan gadis bando pink itu dulu! Arun menyilangkan tangan di depan dadanya. Memasang wajah tidak bersalah. Gadis berbando pink itu dibantu berdiri oleh temannya.

" Itu salah mu kali!" Arun menunjuk jari pada dada kanan gadis itu. Gadis itu menghempas jari mungil Arun. Merasa kotor. Karena tinggi badan mereka yang cukup berbeda. Dia menyentil dahi Arun. " Sudah lah, buat apa urus anak kecil." Gadis bando pink itu pergi mengajak temannya yang terlihat kesal.

Dilly berhenti. Melihat drama mereka. Tatapan Arun yang tadinya tajam menjadi berbinar-binar ketika melihat ke arah Dilly. Perbedaan yang kontras. Bahkan Arun bertingkah menangis menggoyangkan tangan Dilly. Dilly menarik seragam Arun masuk kelas. Lalu melepas ketika sampai di tempat duduk masing-masing. Tentunya berjauhan. Dilly lebih suka duduk paling pojok dekat jendela yang memberinya pemandangan langit.

Sekali lagi. Ia mengeluarkan kamera nya. Memotret ciptaan Tuhan yang luar biasa itu. Langit putih berhiaskan cahaya matahari yang menyorot terang bahkan sela-sela gedung. Dilly tidak begitu suka matahari terbit. Namun tanpa terbitnya ia tidak akan pernah tahu kapan pagi tiba. Jadi suka ataupun tidak, ini hadiah dari Tuhan bukan?

Kita masih diberi kesempatan melihat matahari terbit. Sepatutnya bersyukur. Hadiah yang Tuhan beri, meskipun kamu tidak suka sekalipun terima lapang dada. Itu jauh lebih baik. Dibanding menerima namun mengomel di belakang.

Jepretan foto kali ini nampak lebih indah. Mungkin sebab arah Dilly menangkap nya. Saat meng slide hasil fotonya, ia teringat dua gadis tadi. Berbando pink lalu berikat kuda. Seperti yang Dilly amati, kemungkinan besar mereka anak tetangga kelas sebelah. Lain kali ia coba cari tahu mereka.

Jam pelajaran dimulai. Arun masih saja dikerubungi teman-temannya. Padahal perkara tidak sengaja menabrak seseorang tidak perlu dibesar-besarkan bukan? Apa sulitnya mengakui kesalahan lalu meminta maaf? Yah. Sekarang ada banyak orang yang tidak mau mengakui kesalahan mereka sendiri. Namun melemparkan ke orang lain.

Lalu orang tidak bersalah itu dihukum. Sedangkan orang bersalah itu bersembunyi di balik bayang-bayang nya. Seakan menggunakan orang itu sebagai tamengnya.

Oke, balik ke alurnya.

" Kamu gak apa-apa Arun?" Siswi berikat dua itu melihat luka pada lutut yang Arun pegangi. Tapi saat ia lihat tidak ada apa-apa. Semua tampak normal saja. Tidak ada luka. Bahkan darah satu tetes pun. Namun Arun tetap mengatakan nya sakit. Nyeri di dalam, katanya. Tapi entahlah, mau coba kutanyakan pada Arun? Tidak. Dia kan karakter novel saja. Haha.

Dilly acuh menunggu kedatangan guru. Berharap ini segera berakhir!

~~

Istirahat. Dilly beranjak pergi ke kantin. Ia belum mengisi perutnya sedari pagi tadi. Dia baru mengisi nya sepotong roti lalu segelas susu coklat hangat. Baru satu langkah keluar kelas, Arun membuntutinya. Tangannya melingkar pada lengan Dilly.

Kakinya dibuat tertatih-tatih. Cengkeraman tangannya begitu kuat. Layaknya orang kesakitan. Dilly yang terkenal cuek melepasnya.

" Dilly, tunggu aku!" Arun tetap tertatih meski berusaha cepat mengikuti langkah Dilly.

The Thing She Has: A Camera [Selesai] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang