Gadis yang pernah menanti kedatangan ku dulu sekarang tak lagi mengingat. Tak apa bila kenyataan begitu, tetapi aku akan tetap berada di sisinya. Sebab dulu aku pernah berjanji padanya." Bukankah kita teman? Kemana kamu mau pergi? Bawa ikut aku juga."
Dia menahan kedua kaki ku yang akan pergi esok hari menuju London, Inggris. Dia memohon-mohon agar aku tidak pergi seperti anak kucing yang akan ditinggalkan oleh pemiliknya. Bibirnya mengerucut ke depan.
" Aku janji jika aku kembali aku akan segera menjumpai mu!" Aku melepas erat tangannya dan membantu berdiri. Selepas mendengar itu, dia tersenyum lebar. Rasa-rasanya ia sudah melupakan urusan tadi.
" Hm! Ya! Janji!" Dilly menautkan jari kelingking nya dengan jari ku. Saat itu umur kami kurang lebih sekitar 6 tahun dan sangat mudah membuat janji, kupikir. Aku memberinya sebuah polaroid bergambar foto kami berdua.
" Kalau kamu rindu, lihat ini saja!"
Dilly mengangguk cepat. Ia menatap foto itu sambil merekah senyum cantik pada wajahnya. Aku lega Dilly tak lagi merengek bersedih meminta aku untuk membawanya.
Aku pun pergi meninggalkan nya meski dengan berat hati. Sebelumnya dia merangkul pundak ku dan tersenyum. Dulu aku begitu naif mencium pipinya lalu memeluk tubuhnya yang begitu mungil. Begitu juga dengannya.
Di atas langit yang penuh gumpalan awan putih, aku termenung. Aku merasa bosan tanpa dia. Dia yang memenuhi hari-hari ku dengan senyum dan tawa manisnya, tingkah laku yang gemas dan cara berbicaranya layaknya seorang adik pada kakaknya. Kini aku harus hidup tanpa hal-hal kecil itu.
Aku selalu berpikir sedang apa yang dia lakukan sekarang? Apa ia baik-baik saja? Apa ia memiliki banyak teman ke depannya?
Ribuan pertanyaan menghantam masuk mengusik pikiran. Sesekali aku ditegur oleh pengajar yang tengah mengisi kelas. Aku hanya bisa tersenyum kikuk meminta maaf.
Sepulang dari kelas, aku merebahkan tubuh di atas kasur berukuran luas yang cukup muat aku tiduri. Tatapan ku kosong melihat foto Dilly. Dilly kecil yang begitu mungil ku anggap sebagai teman sekaligus adik. Aku rasa saat itu wajar bila merindukan sosoknya.
Selang beberapa tahun, aku menginjak masa remaja yang kata orang-orang masa dimana kita sedang mencari jati diri lalu perasaan jatuh cinta yang mengembang sempurna.
Saat aku kembali menatap fotonya, ada sesuatu yang janggal. Mengapa saat melihat senyuman nya degup jantung ku tak bisa aku kendalikan? Perasaan apa ini?
Tidak ingin hanyut lebih dalam, aku menyimpan foto nya ke dalam laci. Kemudian memiringkan kepala memejamkan mata.
Baru 2 menit, aku terbangun was-was. Dilly ada di dalam bayang-bayang ku. Ia menatap ku tersenyum seperti biasa dengan menyentuh tulang pipiku. Matanya berbinar senang menyisir masuk ke dalam penglihatan ku.
Kemudian ia berbisik pelan.
" Cepatlah kembali."
Satu kalimat itu membuatku bergidik naik turun. Sudah lama aku tak bertemu dengannya.
Apa ia akan terkejut dengan perubahan yang aku miliki sekarang?
Entah. Mari kita coba.
Kebetulan pekerjaan ayah sudah selesai di London, aku pun membereskan barang-barang berharga dan membawanya kembali ke tempat asalku, termasuk foto kecil kami berdua. Aku pun didaftarkan tepat Dilly bersekolah di SMA nya.
Di sanalah aku bertemu pertama kalinya. Ia bertumbuh cukup pesat padahal dulu dia lebih tinggi dibanding aku. Rambut hitam sebahu yang masih aku kenali ternyata tak sedikitpun berubah. Lalu bola mata amber yang meneduhkan suasana. Semua masih tampak sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Thing She Has: A Camera [Selesai]
Teen FictionLensa yang akan memfokuskan pada sesuatu kemudian ruang internal menampungnya. Tapi ini bukan hanya sekedar hal-hal biasa namun terdapat cerita di dalamnya. #nunobanoia #thethingnoia #nubarkelimanoia #ayoberanibarengaienoia