Not done yet.Aku -- Dilly -- memutuskan pergi dari rumah saat berumur 15 tahun. Saat itu tujuanku hanyalah rumah kakek. Aku mengendarai dengan kecepatan tinggi yang memang saat itu jalanan begitu sepi. Di perjalanan aku mencoba menerima semua. Aku tahu ini benar-benar bodoh. Hanya karena hal kecil, aku memperbesar. Kekanak-kanakan bukan?
Tiba di rumah beliau. Aku mengetuk pintu berkali-kali. Dan harapan ku muncul. Kakek membuka pintu menyambut ku hangat. Aku berbohong aku menginap. Beliau murah hati menerima cucu nya ini.
Selama tinggal di rumah kakek, aku mencari pekerjaan. Meski sudah dikatakan tidak perlu oleh kakek. Namun aku tidak ingin menambah beban. Aku mencoba mengirim hasil potret ku ke website. Harap-harap ada yang mau membeli nya.
Foto ku dibilang terjual laris. Semenjak itu aku bekerja paruh waktu sebagai fotografer. Saat-saat liburan sekolah aku gunakan berjalan-jalan sekaligus mencari objek. Objek potret ku semakin bervariasi.
Ada kalanya aku diundang sebagai fotografer ke berbagai acara.
Penjualan ku semakin meningkat. Sebagian uang aku berikan pada kakek. Mengganti beberapa yang aku pakai. Kakek awalnya menolak, tapi aku bermohon. Jadi kami membiayai hidup satu sama lain.
" Dilly, gak pulang ke rumah ayah ibu?" tanya kakek sembari menyirami perkebunan nya. Aku terlalu hanyut dalam pertanyaan kakek hingga tak ada sahutan. " Dilly?" Aku terkesiap. " Gak, Dilly sama kakek aja," balasku sambil melangkah mendekati kakek.
Entah jika dengan kakek semua masalah seketika menghilang. Aku juga bisa melakukan hal yang aku suka.
Kami juga mencetak beberapa foto bersama. Merekam setiap kegiatan. Meski aku belum pernah melakukannya dengan ayah ibu, ada kakek saja sudah membuat ku senang haha.
Mereka sibuk bekerja. Kami juga jarang berbincang di ruang tengah. Yang ada seorang tamu datang dan pergi. Aku yang dulu masih belia menganggap ini hal biasa. Tapi kini tidak lagi setelah aku ingin melakukan hal-hal yang aku inginkan tidak diperbolehkan.
Aku pergi. Dan entah mereka mencari ku atau tidak. Aku ingin -- ayah ibu -- kembali peduli seperti aku kecil dulu. Aku pergi ke rumah teman saja dicari satu kampung.
~~
Setiap kali aku membersihkan kamar kakek, ada banyak pigura tertera disana. Entah di atas meja kerja kakek, dinding, area santai dekat jendela kamar.
Aku bertanya-tanya mengapa beliau melakukan itu. Ada sepatah kata yang aku ingat dari beliau. Bagi kakek, kamera adalah tempat membuat kenangan menjadi abadi selain tersimpan dalam ingatan seseorang.
Ingatan dapat hilang kapan saja. Lamun foto yang dirawat baik tidak dapat berbohong.
Mereka berdansa dengan iringan musik dari piringan hitam yang kakek kumpulkan. Nenek datang ke wisuda kakek. Bercocok tanam di kebun. Membaca buku depan teras rumah.
Biarpun nenek sudah tidak ada, kakek setia menyimpan kenangan mereka. Beberapa kali aku menemukan album di atas meja. Mungkin saja kakek lupa menaruhnya. Jadi aku punya kesempatan melihat-lihat.
Sebaliknya. Di rumah, aku hanya menemukan beberapa potong foto. Sekitar 1 atau 2. Saat mereka menikah dan aku lahir. Foto kami sekeluarga tidak ada.
Aku anak tunggal. Ayah pulang-pergi luar kota. Ibu pulang larut malam. Malam hari rumah sepi senyap. Paket lengkap sudah.
Aku ingin kembali mengunjungi mereka. Tapi hal yang sebelumnya aku lakukan bukankah sudah melukai hati mereka? Apa aku masih berhak menginjakkan kaki?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Thing She Has: A Camera [Selesai]
Teen FictionLensa yang akan memfokuskan pada sesuatu kemudian ruang internal menampungnya. Tapi ini bukan hanya sekedar hal-hal biasa namun terdapat cerita di dalamnya. #nunobanoia #thethingnoia #nubarkelimanoia #ayoberanibarengaienoia