Bab 17

7 2 3
                                    


Seminggu kemudian, ujian selesai. Para murid telah bebas dari belenggu soal, rumus, belajar. Kini mereka  menjadi lebih santai meski setiap hari masih berangkat pagi sekolah untuk mendapat sosialisasi dari perguruan tinggi.

Setiap perwakilan universitas datang dan memberikan penjelasan mengenai tempat perkuliahan yang mereka masuki.

Azka yang tergabung dalam organisasi OSIS sibuk melayani tamu datang-pergi. Kegiatannya tak disadari telah dipotret oleh Dilly yang dipenuhi rasa jenuh.

Azka terus-terusan meminta Dilly untuk berhenti. Namun tetap saja tak didengarkan.

" Dilly, lebih baik kamu mengikuti sosialisasi dengan baik ya," ucap Azka dengan tangan yang membawa kotak penuh berisi air mineral gelas.

Dilly menggeleng. " Gak, aku bosan."

Azka menghembus napas kasar.

Dilihatnya sosok lelaki dari arah barat sana, disipitkan kedua mata Azka dan ternganga.

" Aden!" teriak Azka membuat Aden yang tak jauh dari sana berlari mendekat.

Aden bersama seragam sekolah yang kancing bagian leher tak ia pasang kancing bajunya mengucur sedikit keringat dari rahang tegas milik nya. Jakun bergerak naik turun meneguk ludah kelelahan.

Azka mendorong Dilly agar jarak mereka lebih dekat.

" Bawa gadis mu itu!"

Ah. Aden terpaku mendengarnya. Apa? Azka menyebut Dilly sebagai gadisnya?

Aden menyimpul senyum.

Dia berusaha tak menampilkan senyum namun bibirnya tak dapat lagi menahan nya.

" Ayo!"

Sedangkan yang lain disibukkan mendengar para perwakilan universitas memberi materi, mereka berdua asyik menghabiskan waktu bersama.

Awalnya mereka berlari dan sampai di depan kelas Aden. Aden menyuruh Dilly untuk menunggu sebentar. Aden keluar kelas dengan membawa sebuah kotak berwarna coklat usang.

Setelah berjalan beberapa meter sampailah mereka di taman belakang sekolah. Bangku putih yang pernah mereka duduki masih tetap ada.

Dibersihkan daun-daun yang menapaki bangku itu oleh Aden dan membiarkan Dilly duduk nyaman.

Kemudian Aden meletakkan kotak itu berada di tengah diantara mereka.

" Coba buka."

Tanpa ragu, Dilly membuka ikatan tali yang mengikat kotak tersebut. Perlahan tutup kotak itu dibuka dan Dilly mendapati ada jajanan ringan didalamnya.

Dua potong coklat yang terbungkus foil warna emas, satu kotak penuh donat, dan wadah kecil berisi permen. Tidak lupa dua kotak susu coklat.

" Kamu suka?"

" Terimakasih."

Gilirannya. Dilly mengeluarkan setumpuk polaroid berisikan foto mereka berdua pada Aden. Foto itu terikat rapi layaknya sebuah surat yang siap dihantar tukang pos. Aden menerima kaku sekaligus senang.

" Kamu juga harus dapat bukan?" goda Dilly menusuk sedotan dan meminum susu kotak itu. Aden menoleh mengacak rambut Dilly.

Hari ini bisa dibilang keduanya bertukar hadiah. Hadiah yang berarti bagi satu sama lain.

Aden meraih kamera Dilly. Diletakkan satu tangannya diatas bahu Dilly, satunya melayang diatas memposisikan postur mereka.

Bermodal susu kota di tangannya, Dilly ikut berpose cantik. Keempat bola mata indah itu sedang mengarah pada lensa kamera yang didepannya.

Disaat entah yang keberapa ini foto mereka, Dilly yang mengarah pada kamera tak sadar sedang dipandang penuh kasih oleh lelaki disampingnya.

Bola mata  hazel itu tenggelam dalam teduhnya amber. Dilly yang memiliki firasat tak nyaman menoleh melihat Aden. Benar saja, mereka bertatapan. Dalam keadaan itu pula Aden tetap menekan tombol kamera.

Kedua detak jantung mereka berirama. Aden menikmati sedangkan Dilly berusaha mencari titik kesadarannya. Hembusan angin tidak menjadi tantangan. Mereka masih bertahan bertatapan.

Dilly tak kuat menahan detak jantungnya, ia putuskan kontak mata lebih awal. Napasnya terengah seperti kehabisan napas.

Aden gelisah menatap Dilly kembali.

" Kamu gak apa-apa?"

Dilly mencoba bernapas normal. Rasanya akan meledak jika tadi kelewat batas.

" Gak apa-apa," ucap Dilly memberi senyum. Aden menepuk-nepuk punggung Dilly agar Dilly bisa merasa sedikit lebih tenang.

Aden mencomot sepotong donat bertaburkan lelehan coklat lalu saus vanilla sebagai hiasan. Aden menyuapi Dilly dengan donat itu. Dilly menggigit setengah donat itu lalu mengunyah puas.

Krim coklat mengenai pipinya sedikit. Aden mengusap coklat itu lalu dijilatnya. Dilly terperanjat menyaksikan Aden. Pipinya berusaha menahan semu merah yang akan muncul beberapa detik lagi.

" Pelan-pelan saja, gak akan ada yang mencuri donatnya."

Aden memberikan lagi setengah potong donat pada Dilly yang melotot matanya.

Dibalik itu semua, ada tiga orang teman Dilly yang senam jantung melihat mereka berdua. Bahkan sambil menahan tawa, Azka mempotret mereka dan sesegera mengirim dokumen itu pada Dilly. Keyla dan Arun tertawa tak bersuara.

Momen itu adalah momen menyakitkan bagi mereka. Tertawa tak ada suara membuat napas mereka tersengal.

Dering notifikasi datang dari handphone Dilly. Dilly membuka kunci layar dan menunjukkan dokumen foto itu pada Aden. Aden terkekeh kecil menyaksikan.

Ada saja ulah teman Dilly ini batinnya. Aden menarik handphone Dilly dan meneruskan dokumen itu pada handphone miliknya.

" Ini jangan lupa dicetak," perintah Aden.

" Buat apa? Kamu sudah ada bukan?"

" Kenangan, cantik."

Lagi-lagi kalimat Aden berhasil membuat semu merah muncul lagi di kedua pipi Dilly.

Dilly mengibas sekitar terasa panas dengan bara panas di pipinya itu. Aden menahan senyum mencolek hidung Dilly lalu mendusel harum tubuh Dilly pada kerah seragam Dilly.

" Kamu lucu sekali, Dil."

The Thing She Has: A Camera [Selesai] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang