Bab 16

8 2 0
                                    


3 tahun lamanya Dilly berada di jenjang SMA. Sudah saatnya dia pergi meninggalkan sekolah dan berpindah ke jenjang yang lebih tinggi yakni universitas.

Hari ini merupakan hari pembelajaran terakhir. Itu pun diisi dengan membahas kisi-kisi ujian minggu depannya.

Kini siswa siswi kelas XII disibukkan oleh belajar. Sebentar lagi mereka akan menghadapi ujian kelulusan lalu perpisahan dan resmi purna siswa.

Dilly berperang melawan materi yang menggunung. Dengan senjatanya berupa alat tulis, ia siap mengahadapi.

Setiap siswa bebas memilih untuk belajar dimana saja. Dilly tentu memilih tempat yang tenang dan bukan lain perpustakaan. Saking sibuknya di medan perang, handphonenya bergetar memberi dering telepon. Rupanya terjadi pemutusan sambungan telepon.

Sedetik muncul beberapa miss called dari Aden. Dilly mengetik beberapa kata pada chat dan mengirimkannya.

Keyla menghela napas yakin pasti Aden akan datang dan mereka bertiga menjadi orang yang tak dianggap.

" Siapa?"

" Aden," jawab Dilly datar. Ekspresi Azka dan Arun menjadi masam.

Terlebih lagi Keyla.

" Lama-lama kami menjadi nyamuk."

Keyla memeluk pulpen bertubuh ramping dan menulis beberapa rumus kimia di atas kertas.  Dia begitu jengkel akan kedatangan Aden menganggu suasana belajar bersama.

Padahal ini kesempatan ia bisa bertanya pada Dilly tentang jenis soal yang belum dapat ia kuasai.

Jarum jam bergerak menunjukkan pukul 10.15 tepat pintu perpustakaan berdecit terbuka. Seorang laki-laki dengan perangai nya yang tinggi besar membawa beban berupa ransel di pundaknya berjalan mengarah segerombolan perempuan duduk di pojok kanan.

" Aku terlambat ya?" Aden meraih kursi dan duduk samping Dilly seraya mengeluarkan buku tulis kimianya.

Dilly menggeleng tidak. Dalam waktu sebentar, mereka larut masing-masing. Dilengkapi suasana hening dalam ruangan penuh rak buku itu menjadi semakin tak bersuara meski ada sejumlah orang didalam.

Keyla yang merasa canggung membuka obrolan. Dia mulai mengeluarkan suara yang sedari tadi ingin diucap.

" Kalian sudah persiapan untuk ujian nanti?"

" Sudah." Jawab mereka kompak. Keyla mengangguk memajukan bibirnya.

" Kalau siap nya?"

Dilly beranjak dari kursi menuju rak buku berjeniskan buku panduan. Buku-buku itu tertata rapi dari yang paling tebal hingga yang cukup tipis.

Diambilnya buku barisan nomor empat dari atas berjudul 'Cara Menghasilkan Foto Yang Menarik'. Dilempar halus buku ke atas meja dan dibuka lembar per lembar.

" Siap gak siap, harus dihadapi."

Kalimat Dilly diterima sepenuh hati oleh mereka. Mereka rasa ini merupakan takdir yang memang harus diemban sebagai siswa. Seperti ujian di kehidupan mereka, siap tidaknya harus diselesaikan agar tak menumpuk.  Semuanya tertunduk.

Setiap orang memikirkan masa depannya. Apa mereka ingin langsung bekerja atau menempuh pendidikan yang lebih tinggi lagi.

Ya. Kedua opsi ini dapat menyita waktu mereka seberapa lama mereka pikirkan. Memang pertanyaan yang begitu sulit untuk menentukan jawabannya. Padahal kecil dulu dengan mudahnya mulut anak-anak mengatakan setiap keinginan mereka. Dengan mata berbinar sebagai janjinya. Dan kini entah janji itu masih dapat dipegang atau tidak.

The Thing She Has: A Camera [Selesai] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang