Bab 6

9 2 0
                                    

" Sesuai ucapanku, ini fotomu." Dilly memberikan polaroid berupa potret Azka. Azka yang berikat kuda di foto yang Dilly potret tampak menawan. Azka mengacungi jempol puas. Keyla juga dibuat terpana akan foto yang Dilly tangkap. " Aku juga mau Dil!" Keyla meraih kamera lalu meletakkannya tepat di depan wajahnya.

" Tunggu." Dilly pergi sebentar menemui siswa yang ia temui hari itu. Ia menepuk bahunya. Dia menoleh dan jelas tahu di depannya seorang Dilly. Tak lama Dilly mengeluarkan polaroid yang ia janjikan waktu itu. "Terimakasih!" ucap gadis berkepang. Dilly mengangguk.

Setelah kemarin, Arun membuntuti Dilly. Ia tak menyangka dia memotret orang-orang yang bahkan belum begitu dekat dengannya. Sementara dirinya tidak pernah dibuat polaroid apapun itu. Arun menggertakkan  giginya. Ia yang lebih dulu mendekati Dilly. Berusaha berbaur namun Dilly lebih memilih akrab dengan yang lain. 

Demi menghindari ledakan amarah dalam dirinya, Arun pergi. Azka dan Keyla yang melihat nampak bisa bernapas lega. Tatapan tajam nya mencekik leher mereka. " Kamu berteman dengan Arun?" tanya Keyla tiba-tiba. " Entah, aku juga gak tau," jawab Dilly sekenanya. Keyla menggaruk tengkuk lehernya. Berharap dalam hati. Dilly bercanda.

Bel masuk berbunyi. Segera Dilly masuk ke ruangan kelasnya. Begitu juga dengan Azka dan Keyla.  " Eh.. tunggu, jelaskan apa yang terjadi kemarin!" tanya Keyla.

" Entah ada angin apa, Arun marah sampai menendang tempat sampah. Aku mencoba menenangkan nya tapi takdir berkata lain. Aku ikut dirobohkan. Dilly menolong," jawab Azka. " Kamu gak apa-apa kan?" Keyla melihat sekitar area siku. Azka menggeleng.

" Apa perlu kita beritahu tentang --"
" Gak, aku yakin dia tahu," potong Azka.

~~

Kerja kelompok. Satu kata untuknya. Menyebalkan. Dilly yang jarang bersosialisasi harus bertahan hidup dalam rimba. Mereka -- teman satu kelas -- terlalu banyak berbicara. Mereka berbincang banyak hal. Dari awalnya bisnis, kuliah, bekerja, masa depan menjadi jodoh, pacar, kisah cinta.

Terlebih lagi kelasnya akan digabung dengan kelas lain. Dilly semakin ingin menepuk jidatnya. Berharap berjalan lancar. Setengah jam, setiap anak telah memiliki anggota kelompoknya. Dilly yang memutar mutar pulpennya terhenti melihat kedatangan empat kaki di depan.

Mereka bukan lain 'teman' kelas sebelah nya. Keyla dan Azka. Tak lama Azka mengajukan diri sebagai anggota dari kelompok Dilly. Begitu juga Keyla.

Arun yang sedari tadi mondar-mandir tak tentu berakhir masuk kelompok Dilly. " Yey! Aku sekelompok dengan Dilly!" Arun berjalan maju 2 langkah memeluk Dilly. Tapi Dilly mundur selangkah. Tidak ingin dipeluk. Arun menurunkan tangan yang tadinya direntangkan.

" Jadi kita kerja kelompok di rumah siapa?" tanya Keyla mengubah atmosfer. Tim berpikir -- Keyla, Arun --. Tim terserah -- Dilly, Azka --.
Arun pun memberi saran. " Bagaimana kalau di rumah Dilly?" Dilly terperanjat. Selama ini tidak pernah ada temannya bertamu ke rumah. Ini pertama. Mereka bertiga memandang Dilly. Dilly pasrah mengiyakan.

Dilly menghela napas. " Kapan?"
" Nanti pulang sekolah, biar cepat selesai," tawar Keyla.

Jam pulang. Selagi masih sepi, Dilly menaiki motor sport nya keluar menuju gerbang. Serta Azka. Sedangkan penumpang mereka -- Keyla dan Arun -- menunggu persis di luar sekolah.

" Kamu bisa juga ya," gumam Arun menatap layar ponselnya. Keyla mendengar bisikan kecil itu. Dia tertawa-tawa. " Iya lah, memangnya kamu?" Keyla tertawa lagi. Ia memeluk Arun erat. Tawanya menggema di telinga kanan Arun. Tangan Keyla menepuk punggung Arun.

" Kalau berteman yang betul dong." Jari jari Keyla mencakar kuat punggung Arun. Arun kesakitan mencoba melepas eratan pelukan itu. Keyla membebaskan ikatan lengannya. Sebab sudah terdengar deru motor Dilly dan Azka.

" Dil, aku numpang kamu ya." Belum ada persetujuan Keyla segera naik atas jok motor Dilly. Sekarang ia lebih tinggi dibanding pengendara nya -- Dilly --. Arun tercengang. Lama kelamaan misi nya gagal jika dia orang itu menempel dengan Dilly ! Arun tidak ada pilihan lain selain membonceng Azka.

Meluncur.

~~

Rumah minimalis bergaya Belanda di pinggir jalan. Dari luar terlihat rumah itu berlantai dua. Jendela-jendela mini di atas sana terbuka mengeluarkan sehelai kain gorden putih yang ringan.

Dilly mengetuk pintu. Hanya dengan dua ketukan pintu bercat hitam dan berhias tanda pemilik terbuka. Seorang kakek dengan rambut yang sudah penuh uban berdiri di depan mereka.

" Dilly pulang?" Kakek memeluk erat cucunya dan mencium puncak kepala Dilly lembut.

" Ada temannya Dilly ya?" Mereka bertiga kemudian memberi salam kenal pada kakek Dilly. Semuanya dipersilahkan masuk. Sang kakek beranjak ke dapur menyiapkan camilan. Dilly meninggalkan mereka sejenak membantu kakek.

" Kakek, biar Dilly saja," kata Dilly seraya beralih memotong buah tomat. Kakek tersenyum mengemas bahan lainnya.

Di ruang tengah, Arun  jalan beriringan melihat pigura menempel di dinding abu-abu. Foto disana begitu banyak. Sepertinya ini kenangan mereka.

Paling banyak pigura diisi oleh foto Dilly, kakek dan perempuan muda. Arun bertanya-tanya apa Dilly sudah tak punya orang tua? Bisa dikatakan Dilly bernasib sama dengannya?

Jika iya, Dilly masih bisa berbahagia semata-mata bersama satu anggota keluarga nya. Arun begitu iri dengan kehidupan Dilly. Hanya dengan satu orang berarti dalam hidupnya, ia merasa yang paling bahagia. Mengapa dirinya tak bisa? Apakah definisi tersenyum lebar harus dengan yang utuh?

Dilly dan kakek datang bersama camilan yang mereka siapkan sebelumnya. Dilly membuat roti isi dan kakeknya membawa beberapa gelas jus jeruk. Kakek pergi ke atas loteng untukbaca buku.

Di lantai bawah disibukkan oleh mereka. Buku-buku berantakan sana sini ditambah peralatan tulis berhamburan dimana-mana.

" Aku lihat cuman ada foto mu sama kakek mu, ayah ibumu?" Dilly membeku. Keadaan keduanya menjadi kaku dan hening.

Mata Dilly berkedip dan menutup sebentar.

" Gak ada," lantangnya.

Arun terbelalak. Apa dia bernasib sama dengannya?

The Thing She Has: A Camera [Selesai] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang