Bab 12

3 1 0
                                    


Sekolah sepi. Burung-burung yang biasanya terbang sana sini kembali ke dalam sarang berlindung dari hujan deras hari ini.

Guru dan siswa juga pulang. Meski begitu masih ada sisa di dalamnya.

Semburan hujan yang tertiup angin membuat sepatu seorang gadis basah kuyup. Sesekali ia memundurkan langkah agar tak lagi terkena air.

Keluar napas dari mulutnya menghangatkan telapak tangan. Terkadang dia menghentakkan kaki di tempat saking dinginnya.

Dibalut oleh jaket denim biru gelap, gadis itu menunggu bus terakhir yang melewati persimpangan tempatnya bersekolah. Sedikit demi sedikit bumi mulai meredakan tangis nya.

Awan yang tadinya gelap menjadi putih kembali. Namun petir masih belum melepas lega amarahnya.

~~

Di balkon, dua sejoli tetap pada figurnya. Laki-laki menghimpit perempuan diantara bidang dadanya dan dinding. Lelaki itu menatap lama gadis yang sedari tadi tidak menunjukkan tampangnya.

Sekian lamanya, gadis berambut hitam sebahu menampakkan sepasang bola mata amber.

Empat bola mata indah itu beradu. Satu sama lain terpana akan keindahannya. Bola mata hazel yang menawan lalu bola mata amber yang menenangkan hati.

" Ada apa kesini?" tanya Dilly sembari mendorong mundur bahu Aden.

Aden  menggeleng mendekat Dilly yang tengah mengutak-atik kamera.

Difokuskan nya lensa pada bulir hujan itu dan potret. Potret lagi. Lagi. Dan lagi. Ditopang nya dagu Aden.

Saat ingin memperjelas awan abu-abu kelam yang menggumpal di atas sana, Aden merebut kamera dari tangan Dilly. Ia meminta Dilly untuk berpose sesuka hatinya.

" Buka dong matanya," perintah Aden selepas mengecek hasil jepretannya.

Mata amber milik Dilly menatap sendu bersamaan dengan jatuhnya tangisan awan membasahi jari telunjuk.

Mereka berdua sama-sama mengamati foto Dilly. Cantik ujar bisiknya pada diri sendiri.

" Buat apa kamu foto aku?" Dilly  melangkah beberapa ubin lantai menjauhi Aden dari titiknya berdiri. Kamera nya berubah menjadi mode video.

Aden muncul di belakang punggung Dilly. Kini napasnya berhembus hangat pada tengkuk leher Dilly.

Tangan panjang milik Aden alih-alih bersebelahan dengan tangan Dilly, meraih jari-jari mungil gadis itu. Lalu dua jari berjalan menyentuh kamera.

" Karena.." Dilly menoleh. Hidung miliknya menyentuh hidung mancung Aden. Jarak antara wajah mereka menjadi lebih dekat.

Aden terkesiap membulatkan mata. Dilly penasaran dengan apa kalimat yang selanjutnya akan dikatakan.

" Karena?" Dilly menaikkan alis membuat Aden gugup meneguk ludah nya berkali-kali. Aden merasakan kegugupan yang luar biasa sedangkan Dilly dengan santai menunggu.

" Cantik." Aden buang muka menutup rasa malunya. Jantung nya benar-benar tidak bisa lagi ia kendalikan. Rasanya ia ingin angkat kaki meninggalkan sendiri Dilly.

Pipi Aden memerah seperti buah persik.

" Aku pernah dengar kalimat mu itu," tutur Aden mengangkat kamera. Dengan begitu Aden dan Dilly ada dalam video itu.

Dilly bolak-balik kanan-kiri mengikuti arah kamera yang dipegang oleh tamunya.

Aden menepuk kepala Dilly berkata, "Kalau menurut mu cantik, foto saja. Aku foto kamu karena kamu cantik."

Dilly terpaku memutar tubuh dari menghadap Aden menjadi posisi seperti semula ia datangi balkon itu. Kapan dia mendengar nya ujar Dilly dalam hati. Aden mengambil kesempatan untuk merekam Dilly.

Tangan Dilly mencoba menghentikan tombol rekaman. Namun sayang gagal, Aden berlari menuruni anak tangga. Entah kemana.

Dilly susah payah mengejar tetapi kaki jenjang milik Aden berhasil membawanya jauh dari harapan. Dan sempatnya Aden masih tetap merekam Dilly dari kejauhan.

Hati Aden diguyur seperti hujan yang mengguyur nya hari ini. Kapan lagi ia bisa menyentuh barang milik gadis yang membuatnya penasaran hingga hilang kesadaran.

" Semangat Dilly!" teriak Aden melambaikan tangan.

~~

Gadis itu masih terlihat di halte bus. Sudah setengah jam ia berdiri menunggu bus. Hujan pun tak ingin reda. Awan belum puas dengan tangisannya.

Begitu pula perasaan yang berkecamuk di langit kelam atas sana.

Seekor kucing kecil menarik lamunan gadis itu. Merasa kasihan, ia menyeberang jalan memungut kucing itu. Saat sudah memeluknya dalam dekapan hangat, secercah cahaya menyorot tajam padanya.

Benda itu bergerak dengan kelajuan yang tinggi. Dan sekali kedipan. Dia tergeletak atas aspal dengan lumuran darah mengalir ke berbagai arah.

Sedangkan kucing itu selamat.

Tepat kejadian itu, terekam dalam kamera yang dipegang Aden.

Dilly tak berkedip sekali pun. Orang itu. Arun. Dia menghampiri tubuh Arun penuh luka mencoba membangunkan nya. Ditepuk nya pipi Arun beberapa kali.

" Arun.. Arun.."

Aden berlari dengan telinga yang disibukkan menunggu jawaban panggilan dari ambulans. Dilly mengkernyitkan dahi. Arun tak sadar disana. Aden meminta Dilly menunggu sebentar saja karena ambulans akan datang.

Hujan melengkapi semuanya. Teman. Bahagia. Luka. Lalu darah.

Ambulans datang. Badan Arun dibawa masuk ke dalam mobil ambulans. Dan mobil itu bergerak selaju mungkin. Menyerbu kemacetan yang terjadi.

Aden dan Dilly berada di belakang persis mobil ambulans mengendarai motor mereka. Selama perjalanan, Dilly khawatir.

Namun ia tahu, Arun pasti kuat. Ia yakin Arun mampu melewatinya.

The Thing She Has: A Camera [Selesai] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang