Bab 10

5 1 0
                                    


" Engh.." Dilly terbangun mengacak-acak surai hitamnya. Dari ujung timur, surya telah memancarkan sinar kuningnya membangunkan orang-orang.

Dilly bangun lebih dulu, sementara tiga anak itu masih berada di alam bawah sadarnya. Ia menapak turun dari beralaskan kayu menjadi rerumputan.

Satu per satu anak ikut turun. Menghirup udara segar dan rumput yang menggelitik telapak kaki mereka.

Pesta piyama berakhir.

Masing-masing anak kembali ke rumah. Azka dan Dilly pulang dulu sebab mereka membawa kendaraan sendiri. Arun menunggu ojek online nya di depan gerbang rumah Keyla.

" Hei Arun."

Menyadari namanya dipanggil tolehan datang dari Arun. Keyla menajamkan tatapan. Arun bergidik sekaligus gugup.

Kini hanya tinggal mereka berdua yang tersisa.

" Sebetulnya apa mau mu?" Arun pura-pura linglung. Keyla berbisik jengkel. Dirinya tidak tahan melihat Arun sok polos ini.

" Maksud?" tanya Arun balik.

Pupil mata Keyla  membesar menampik pertanyaan Arun diiringi tawa lebar. Arun merasa Keyla mengerikan tangannya melayang ingin menampar Keyla.

Ditangkis tangan itu lalu dicengkeram pergelangan nya.

" Tutupi niatmu dengan benar, cantik," bisik Keyla.

Dia lepas eratan jari-jarinya berhubungan ojek online yang Arun pesan telah datang. Ia tak mau urusannya ada campur tangan dari orang luar.

" Hati-hati di jalan ya!" teriak Keyla saat deru motor menjauh.

Di jalan pulang, Arun menggerutu.

" Hampir saja tadi, tampang ku membantu juga." Batin Arun lega.

Beruntung otaknya menangkap maksud Keyla, jika tidak ia bisa habis hari ini.

Rumah kontrakan minimalis yang ia kontrak. Sudah lama Arun tinggal. Tenang. Damai. Tidak seperti rumahnya dulu.

Ransel ia lempar sembarang. Dibaringkan tubuhnya di atas sofa abu-abu ruang TV.

Termenung. Ia terpikirkan dengan perkataan Keyla.

Apa ia tahu? Lalu menyebarkan ke satu sekolah? Arun menggigit kuku gugup.

Keyla. Orang itu yang membuat rencana nya terganggu. Terlebih ia yakin Keyla sudah sadar dengan niat nya. Tangan Arun mengepal kuat memukul sofa.

" Semoga aman-aman saja."

~~

Senin. Seperti biasa hari yang kebanyakan orang tidak suka. Hari pertama sudah wajar terlambat sebab malam Senin nya bergadang.

Arun terbirit-birit naik anak tangga. Jarum di jam tangannya menunjukkan angka 11. Tersisa 5 menit lagi. Tepat 5 menit ke depan, Arun sudah duduk di bangkunya dengan napas yang terengah-engah.

Suasana kelas ramai. Mata Arun mencari-cari batang hidung Dilly. Ketemu! Dia sedang mengutak-atik alat favoritnya. Belum ada guru masuk, Arun memasang topengnya mendatangi Dilly.

Dilly beraktivitas tidak tahu apa-apa tetap mendengar ocehan Arun.

" Terus--"
" Guru sudah datang, balik sana," potong Dilly mengelap lensa kamera. Arun termangu berdiri kembali ke bangku nya.

Sesekali saat jam pelajaran ia melirik Dilly, hari ini dia terlihat lebih cuek dari biasanya. Bahkan sampai mengusir saja tidak pernah kecuali dirinya memang mau pergi.

Istirahat. Dilly angkat kaki dari kelas lebih awal. Arun yang tadinya akan mengajak ke kantin mengejar Dilly. Ia harus memberi jawabannya yang ia inginkan.

Saat itu juga. Di persimpangan antara koperasi dan kelas lain, Arun kehilangan jejak. Dia berlari dan menge-rem tiba-tiba. Dilly berdiri di depannya.

" Dilly.. tunggu.. kenapa kamu cepat sekali melangkah?"

Arun meregangkan otot.

Dilly lanjut berjalan beberapa langkah. Arun mencoba mengikutinya.

" Kesepakatan.."

Langkah Arun terhenti mendengar nya.

Dilly menoleh memicingkan mata.

"Kamu buat?"

Arun memutar otak. Mencari-cari alasan. Keringat dingin bercucuran dari kening dan telapak tangannya. Itu membuatnya semakin gugup ketika Dilly berjalan mendekat.

" Ke- kesepakatan apanya? Gak lah!" seru Arun memundurkan langkah.

Tetapi Dilly terus maju mendesak. Mode putus asa menyala. Arun menjinjitkan kaki nya berteriak di depan wajah Dilly.

"Ya! Aku buat! Kenapa?!" Arun mendongakkan kepala.

" Aku gak suka dengan kamu yang begini-begini saja dikenal satu sekolah!"

Dilly membisu. Arun yang mengira Dilly kecewa tertawa lepas.

" Hahaha.. kecewa? Aku dekat denganmu ya karena sepakat, aku butuh uang," lanjutnya.

Meski dari luar Dilly terlihat kalem, perasaan Dilly bercampur aduk antara senang dengan kecewa. Senang sebab firasat nya benar terjadi lalu kecewa ia hampir membuka diri pada orang yang salah.

Arun heran tidak ada komentar dari Dilly. Malah ia dengan senang melanjutkan ocehan.

Teriakkan Arun membuat mereka menjadi pusat perhatian bahkan bagi laki-laki itu.

Arun buka suara tentang isi hatinya di depan umum. Ujaran datang kanan-kiri. Arun yang makin naik darah melayangkan tangan ingin menampar Dilly.

Belum juga tertangkap, tangan Arun ditangkis lebih dulu oleh laki-laki.

Ingat laki-laki yang bertengger itu? Ya. Dia orangnya. Aden Dirandra.

Aden terkekeh berkata " Hei.. hei jangan pakai kekerasan disini."

Arun menarik tangannya kembali seperti semula lalu berlari sekencang mungkin. Entah kenapa Dilly merasa tenang saat Aden menolongnya.

The Thing She Has: A Camera [Selesai] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang