Blouse putih dipasangkan dengan celana jeans hitam memberi pancaran aura purna siswa nya nanti.Aku -- Dilly dengan rambut tergerai siap berangkat ke SMA yang terakhir kalinya. Tidak lupa aku berpamitan dan mencium punggung tangan kakek nya penuh hormat.
" Dilly sudah beri kakek undangan, apa nanti kakek datang?" tanya ku selepas mencium punggung tangan beliau. Kakek hanya mengangguk tersenyum. Aku yakin akan jawaban kakek, beliau pasti datang melihatku memakai samir sebagai tanda purna siswa.
Aku melambai pada beliau isyarat berjumpa lagi. Aku memakai helm full face dan bergerak penuh kelajuan. Aku tetap keras kepala walaupun sudah diberitahu untuk tidak kebut-kebutan di jalanan. Toh, saat itu jalan masih sepi belum ada banyak kendaraan.
Di depan gerbang sekolah, berdiri teman-teman ku. Mereka sudah berpakaian layaknya akan wawancara pekerjaan.
Tema kelulusan kali ini adalah melamar pekerjaan mungkin? Semua hitam putih sedangkan laki-laki ber jas. Aku memarkirkan motor di tempat parkir dan di sekeliling sudah ada teman-temanku.
Arun melihatku memakai celana jeans memberi teguran. Yah, aku melanggar. Sudah diinformasikan untuk memakai rok namun aku tetap memakai celana.
" Dilly, sudah dibilang pakai rok mengerti?" tegur Arun yang diikuti gelengan kepala dari Azka dan Keyla.
Pagi-pagi aku sudah membuat mereka menggeleng. Namun aku menjelaskan jika aku membawa rok di ransel. Dan mereka menemaniku untuk mengganti bawahan.
Saat itu pula penampilan ku nampak sedikit feminim. Blouse putih yang dibalut halus oleh rok hitam memanjang sampai lutut. Dua buah sepatu kets warna medium pearwood melengkapi seluruhnya. Ransel kecil kini ku gendong hanya dengan satu tali ransel yang membuat ku sedikit mengenali diriku sendiri lagi.
" Kamu tampak menawan," puji Azka yang melihat ku sedang berkaca di depan kamar mandi. Lalu muncul ide untuk mirror selfie. Kami berhimpitan agar diri kita memantul dalam cermin lalu ku keluarkan kamera dan beberapa detik terfoto.
Kami keasikan berfoto sampai lupa acara akan segera dimulai. Kami cepat-cepat ke tengah lapangan yang terdapat panggung besar menjulang ke atas.
Para siswa dipersilahkan duduk sesuai kelas masing-masing. Saat aku akan menyusul mereka, lenganku seakan sedang ditarik seseorang dari belakang.
Aku menoleh penasaran. Dia seorang lelaki. Tubuhnya sangatlah tinggi bahkan tinggi ku hanya sekitar sebidang dada nya.
Lelaki itu nampak mewah dengan balutan jas hitam nya dan sepatu pantofel hitam. Salah satu tangannya berada pada belakang punggung lebarnya. Aku mendongak melihat siapa dia.
" Halo."
Aden menyapa ku ramah bersamaan senyum yang ia tunjukkan padaku. Mata hazel itu tak pernah lepas dari pandanganku. Mau berapa kali pun aku lihat, tak ada bedanya kedua mata itu masih indah sama seperti semula kami pertama kali bertemu.
Kemudian Aden memberiku sebuket bunga anyelir.
Sekejap semerbak harum anyelir memenuhi indra penciuman kami. Ku terima buket penuh anyelir itu senang hati. Saat aku terlena mengagumi harumnya anyelir yang diberikan Aden, tangan kanan Aden menyentuh tengkuk leher belakang dan mencium lama kening ku.
Aku pun tak dapat bereaksi apapun selain menahan malu. Beruntung orang-orang tak melihat kami. Pertama kalinya Aden melakukan ini. Biasanya ia hanya akan mengacak rambutku, mencubit pipi, atau mencolek hidung.
" Selamat kamu sudah lulus, Dil."
Aden beralih memandangku penuh cinta dalam sorot matanya. Aku kikuk tersenyum menerima. Aden terkekeh kecil lalu pergi melenggang ke depan. Aku pun menyusul dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Thing She Has: A Camera [Selesai]
Teen FictionLensa yang akan memfokuskan pada sesuatu kemudian ruang internal menampungnya. Tapi ini bukan hanya sekedar hal-hal biasa namun terdapat cerita di dalamnya. #nunobanoia #thethingnoia #nubarkelimanoia #ayoberanibarengaienoia