[24] Tulip, dan si Kembar

33 1 0
                                    

Hembusan napas panas begitu terasa menerpa kulit Bina karena ada Brian yang sedang menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Bina seraya menetralkan deru napasnya.

Lelah terasa sejak kepulangan Brian dari Belanda kemarin malam. Apalagi, Bina juga pulang sedikit telat dari biasanya. Niat ingin menghabiskan malam bersama, tapi rasa lelah terlalu mendominasi mereka berdua. Akhirnya, baru malam ini mereka saling menyalurkan rindu dalam satu peluh yang sama.

Bina menepuk-nepuk punggung Brian yang tidak terbalut kain apapun. "Bri, buruan bangun. Sadar diri, badan kamu gede!"

Sejujurnya, Bina merasa engap. Perbedaan ukuran badan mereka yang begitu kebanting membuat Bina tidak kuat lama-lama ditindih Brian. Tapi sudah jadi kebiasaan Brian akan seperti itu dulu setelah aktivitas mereka berakhir.

Begitu napas Brian mulai stabil, barulah Brian beranjak dari tempatnya. Namun, sepertinya keduanya merasakan ada sesuatu yang aneh. Kedua pasang mata dengan posisi atas bawah itu saling beradu tatap. Perasaan keduanya sama-sama terkejut.

Astaga, pantas saja Bina sejak tadi seperti merasa ada yang aneh, tapi apa ya. Pikirannya saat itu masih terlalu fokus pada Brian yang sedang di atasnya, membuat dirinya harus menahan bobot suaminya yang sedang menindih sambil menetralkan napasnya. Ternyata oh ternyata, Brian dan Bina masih dalam posisi menyatu!

Itu artinya tadi.....

"Bri, kamu dari tadi belum nyabut?!"

"Waduh!"

"Bri, beneran, loh. Did you pull out?"

"Waduh! Kayaknya...." Brian tidak melanjutkan kalimatnya. Dari raut wajah dan menerka dari apa yang hendak dijawab Brian, Bina sudah dapat menebaknya.

"Kamu sengaja apa lupa?"

"Duh... kayaknya aku beneran lupa tadi."

Bina mulai menyadari perubahan raut wajah Brian yang mulai panik. Kayak yang seolah-olah kalau Bina hamil nggak ada bapaknya saja.

Tapi bukan itu masalahnya.

"Bin.... kalau... kalau jadi gimana?"

"Namanya kebablasan, mau gimana lagi?"

"Bin. Aku serius! Emang kamu nggak masalah?"

"Biasa aja. Cuma kaget, kan kamu yang paling kepengen nunda."

"Tapi Bin, kita kan udah sepakat buat nggak program anak lagi sampai kita sama-sama siap dan kalau Bintang udah gedean."

"Kita atau kamu?"

"....."

Brian menatap Bina heran, "Maksud kamu?"

Sebenarnya Bina nggak masalah kalau nantinya hasil permainan malam ini membuahkan calon anggota baru. Tapi kalau dirasa-rasa, selama ini yang nggak pernah siap itu hanya Brian.

"Bri, lagian dulu kita buat punya Bintang aja bisa setahun. Ini nggak kayak yang kita sekali bikin langsung jadi. Nggak usah panik gitu."

"........" Brian masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Memikirkan sebaliknya dari apa yang Bina pikirkan. Bagaimana kalau nantinya hasil permainan malam ini justru membuahkan calon anggota baru? Brian merasa mereka belum siap untuk itu.

Padahal sebenarnya, hanya Brian yang belum siap.

"Lagian, mau nunggu Bintang sebesar apa lagi, sih? Bintang udah SD, udah bisa belajar mandiri. Soal kesiapan? Kayaknya cuma kamu yang nggak pernah siap. Kan aku yang hamil, aku yang ngelahirin, kenapa kamu yang jadi setraumatik ini, sih?!"

My Unexpected Life 2 (Laatste)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang