004

116 100 64
                                    

"Hueee gak mauu, gak mau! Mau tidur sama Bundaa!!"

"Kalo kayak gitu Ayah yang gak mau. Balik ke kamar kamu sekarang!"

"Apaan sih Ayah pelit banget, masa memonopoli Bunda terus."

"Terserah Ayah dong, Bunda kan istri Ayah."

"Loh Cio anak Bunda sama Ayah, masa gitu sama anaknya sendiri."

"Kamu-"

"BERHENTII!"

Suara Margaret mampu membuat kicauan kedua orang disamping wanita itu yang tengah memperebutkan dirinya berhenti.

Margaret menatap Gionard tajam.

Ketika netranya beralih ke arah Casio dapat terlihat wajah memelas dari pemuda itu yang membuat Margaret merasa tak tega.

Wanita itu mengelus puncak kepala Casio dengan sayang. "Tumben banget mau tidur sama Bunda, kenapa hmm?"

"Udah lama Cio gak tidur sama Bunda Ayah, Cio pengen tidur sama kalian kayak waktu masih kecil dulu." Ujar Casio menggunakan jurus puppy eyes andalannya.

"Kamu kan udah besar-" Belum selesai Gionard menyelesaikan perkataannya Margaret memberikan tatapan mengintimidasi kepada pria itu. Yang langsung membuatnya kicep seketika.

"Sebenarnya Bunda emang mau ngajak kamu tidur bareng sambil liat foto foto lama sekalian mengenang masa lalu."

"Foto lama Bun?"

Margaret tersenyum kemudian mengangguk kecil. "Iya foto lama Cio."

Casio menatap Margaret penasaran.

Melihat itu, wanita itu beranjak dari duduknya ditepi ranjang kemudian mengambil sebuah album di lemari.

"Itu foto foto Cio?" Tanya Casio bersemangat.

Wanita itu melirik tempat tidur, memberikan kode kepada keduanya untuk mengambil bagian disana. "Sini Bunda tunjukin." Langsung saja Casio dan Gionard berbaring disebelah kiri dan kanan yang hanya menyisakan space kosong ditengah yang diisi oleh Margaret.

Casio disebelah kiri sedangkan Gionard disebelah kanan. Menghimpit wanita itu ditengah.

Keduanya berbaring sedangkan Margaret duduk sendiri dengan menggenggam sebuah album berwarna biru tua yang tampak mulai digerogoti waktu namun terawat hingga tidak memberikan kesan usang.

Margaret mulai membuat lembar pertama. Terlihat disana foto seorang bayi, ada tulisan 1 hari dibawahnya. "Ini foto Cio waktu baru aja lahir dari rahim Bunda. Kamu lahir hari Kamis tanggal 1 Januari 2004. Tepat disaat kamu lahir dunia sedang berbahagia menyambut tahun baru." Margaret mengelus kepala Casio yang tampak mulai terhanyut oleh perkataan Margaret.

"Waktu itu Ayah inget banget semua keluarga lagi pada ngumpul. Kita bakar bakar jagung diluar. Ledakan kembang api dimana-mana. Pokoknya rame banget, semuanya makin heboh karena teriakan Bunda kamu." Gionard menyahuti, tampaknya tidak berkeinginan lagi untuk mengusir Casio dari sana. Pria itupun ikut terhanyut, membayangkan saat saat yang begitu mendebarkan ketika menyambut buah hati mereka dulu.

"Heboh?"

Margaret mengangguk, mengiyakan pertanyaan Casio. "Pokoknya suasana jadi chaos banget gara gara Bunda mau melahirkan. Kita langsung ke rumah sakit, ternyata dokter yang seharusnya berjaga malam itu gak lagi ditempat. Bunda udah kesakitan banget, waktu itu kayaknya udah sekitar pembukaan sembilan."

"Bunda kamu tuh kalo sakit gak pernah mau bilang, pasti dipendam sendiri. Sama kayak waktu itu. Ternyata dari sore Bunda udah ngerasain sakit tapi dibiarin sama dia. Sampe akhirnya gak kuat baru bilang." Ketika mengingat saat saat itu Gionard malah jadi merasa kesal sendiri. Masih teringat dengan jelas betapa paniknya pria itu karena suara teriakan kesakitan Margaret.

Jika bisa rasa sakit itu dipindahkan Gionard akan bersedia membiarkan dirinya dikorbankan. Daripada Margaret lebih baik dirinya yang merasakan rasa sakit itu.

Untuk menjadi Ayah, sudah banyak sekali pertimbangan Gionard. Tentang kemungkinan terburuk, rasa sakit yang akan dirasakan Margaret yang sudah pasti, cara menjadi Ayah yang baik, dan lain sebagainya.

Pikirannya semakin campur aduk kala malam itu Margaret sudah hampir siap untuk melahirkan sedangkan dokter yang ditunggu tunggu entah sedang pergi kemana. Berbagai pemikiran buruk tentang Margaret dan jabang bayi membuat Gionard kesetanan.

Untung saja keduanya selamat, jika tidak entah apa yang akan terjadi pada Gionard.

Memikirkannya saja Gionard tidak ingin.

"Belum lahir aja udah nyusahin." Gumam Gionard yang masih bisa terdengar oleh Margaret.

Wanita itu memelototinya garang, menyentil dahi Gionard. "Yang penting aku dan Casio selamat, itu udah lebih dari cukup."

"Tapi kamu kesakitan."

"Yang penting aku gak papa. Coba lihat, aku ada di samping kamu sekarang. Sehat tanpa kurang satupun."

Sentuhan tangan yang melingkari perut Margaret membuat keduanya terdiam untuk sejenak. Benar benar tidak terduga. Pelukan Casio disertai isakan kecil dari pemuda itu membuat mereka berdua saling berpandangan.

Gionard terduduk, sedangkan Margaret menepuk nepuk pundak Casio, menenangkannya.

"Kenapa?" Tanya Gionard, setengah berbisik.

Margaret mengedikkan bahu, juga tidak tau apa yang terjadi pada Casio hingga menangis seperti itu.

"Hei, Casio. Nak?" Suara Margaret mengalun dengan lembut. Bukannya tenang Casio malah membenamkan wajahnya diperut Margaret, semakin mengeratkan pelukannya pada sang Ibunda. "Kamu kenapa sayang."

Gionard menggaruk tengkuknya, menatap Casio bingung. "Boy, kamu kenapa sih?"

Hingga beberapa menit berselang bahu Casio yang semula naik turun kini mulai berhenti yang menandakan ia kembali mendapatkan ketenangannya.

Pemuda itu mendongak menatap Margaret dengan mata yang masih berkaca-kaca membuat wanita itu terkejut, tidak berbeda jauh dengan Gionard.

"Maafin Cio, gara gara Cio Bunda kesakitan." Air mata Casio semakin deras menetes ketika Casio mengatakannya. "Pasti sakit banget. Bunda pasti kesakitan.."

Setau Gionard, Casio bukanlah anak perasa seperti ini. Bisa dibilang dia bandel, nakal, dan selalu membuat pria itu naik darah dengan tingkah laku nyelenehnya. Gionard tadi memang mengatakan bahwa Casio menyusahkan bahkan sebelum pemuda itu lahir, tapi bukan untuk membuat Casio menangis.

Itu hanyalah candaan biasa yang sering mereka lemparkan sehari hari. Saling mengejek, saling menyalahkan, saling tidak bisa mengungkapkan rasa sayangnya.

Gionard mengatakan itu untuk Casio balas. Biasanya memang itulah yang terjadi. Tidak, tidak. Memang seharusnya seperti itu. Tapi ketika melihat Casio sekarang entah kenapa anak itu terlihat berbeda.

Apakah sebelumnya Casio memang adalah anak perasa berhati hello kitty seperti ini?

Hati Gionard tersentil melihat air mata Casio.

"Enggak, Bunda gapapa sayang." Margaret menyeka air mata Casio, sedangkan Gionard hanya bisa terdiam. Tidak tau harus berbuat apa. Tidak menyangka suatu hari akan ada kejadian seperti ini. Membayangkan Casio menangis karena hal seperti ini tidak pernah terbayangkan dibenak Gionard. "Berhenti nangis okay? Bunda beneran gapapa."

"Kamu itu anugrah Casio. Anugrah buat Bunda dan Ayah. Kamu itu adalah bukti cinta Ayah Bunda. Buah hati kami. Anak semata wayang kesayangan kami. Kesakitan yang Bunda alami gak seberapa dengan kebahagiaan Bunda karena hadirnya kamu dihidup Bunda. Kebahagiaan kami lengkap dengan hadirnya kamu. Kamu adalah pelengkap hidup kami."

Kata kata itu membuat hati Casio menghangat. Air matanya mengalir tanpa bisa dicegah, membuat Margaret dan Gionard kelimpungan.

"Eh? Boy, udah. Maafin Ayah ya. Kamu gak nyusahin kok, cuma sedikit nyebelin aja. Beneran deh." Gionard menyengir, mencoba menghibur sang anak.

Bibir Casio mengerucut mendengar itu. "Huaa, Bundaa! Ayah Bun." Adu Casio kepada Margaret.

"GIONARD!"

"Maaf sayang!!"

_______________________

THE IMMORTAL'S SHADOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang