018

17 2 0
                                    

Hubungan antara manusia itu rumit. Makanya sedari dulu Casio lebih memilih untuk masa bodoh daripada ikut mencemplungkan diri ke dalam hubungan seperti itu. Apalagi jika bertemu dengan orang bodoh yang terlalu peduli pada orang lain sampai lupa pada dirinya sendiri, seperti manusia semacam pemuda yang dengan suara lantang nya memanggil dirinya di koridor yang masih sepi dan di waktu sepagi ini.

Padahal meski tidak berteriak pun Casio pasti akan mendengar suara pemuda itu, tapi semacam kebiasaan yang susah untuk dirubah pemuda itu berkali-kali juga mengulangi hal yang sama meskipun sudah diperingatkan seribu kali.

Waktu masih terbilang pagi ketika Casio melangkahkan kakinya di koridor kelas sebelas yang berada dilantai dua, ketika disaat yang bersamaan Casio berpapasan dengan Fier Agara yang hendak pergi ke ruang osis. Yang mana harus melewati koridor panjang kelas sebelas dulu sebelum menemukan tangga diujung koridor lainnya yang akan digunakan sebagai sarana menuju lantai satu untuk sampai diruangan osis yang memang berada dilantai tersebut.

"Widihh, udah kece banget nih keknya. Tumben tumbenan berangkat pagi gini." kata Fier dengan cengiran khasnya.

Casio mendengus mendengarnya. Pemuda itu tidak terlalu memusingkannya. Entah itu semacam sindiran karena ia tidak pernah berangkat pagi sebelumnya atau apapun itu, Casio tidak terlalu peduli. Mungkin saja, karena Fier lah orangnya. "Gue berangkat pagi dibilang tumben, berangkat siang dibilang tuman."

"Makanya kalo gak mau dibilang tumben, biasakan berangkat pagi. Jadi gak heran lagi orang orang."

"Iyadeh bapak sosis yang terhormat." Fier menggeleng tidak habis pikir, selalu seperti ini. Entah darimana asal mulanya, selalunya ketika menyebut kata osis Casio pasti akan menggantinya dengan sosis. Katanya, biar lebih enak di dengar. Dan bikin laper pastinya.

"Yaudah gue tinggal dulu ya, ada perlu sama anggota lainnya." Anggota yang dimaksud disini adalah para anggota osis SMA La Lu Na. Casio yang sudah paham betapa sibuknya teman sebangkunya ini disaat saat seperti ini hanya mengangguk mendengar itu.

Meskipun memiliki jadwal yang padat tapi hebatnya Fier selalu bisa mengimbangi teman teman lainnya dan bertahan di sepuluh besar paralel.

Jika perasaan Casio terhadap Fier dideskripsikan, mungkin, hanya terdapat satu kata. Kagum. Mungkin terdengar hiperbola, tapi bagi Casio, Fier itu multitalent. Tapi ada satu kelemahan yang paling dibenci Casio dari Fier, dia terlalu baik dan lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri.

Alasan Fier masuk osis pun tidak jauh jauh dari baik yang Casio maksud. Dan sangat disayangkan, akhir dari kehidupannya juga karena niat baik untuk mengutamakan orang lain daripada diri sendiri.

Bukti nyata dari perkataan, kelebihan baik dan kelemahan terlalu baik.

Casio memang membenci orang bodoh yang terlalu peduli pada orang lain sampai lupa pada dirinya sendiri, tapi untuk Fier menjadi pengecualian. Casio memang membenci sikap Fier yang seperti itu, tapi ia tidak pernah bisa benar-benar membenci orangnya.

Bagaimanapun, Casio memiliki banyak hutang budi pada Fier. Yang mungkin saja malah hampir di semua pengulangan waktu yang ia alami.

"Ohya, jangan bolos. Biasanya gak langsung belajar dan dikasih tugas setumpuk kok kalo habis libur gini." Seperti tau niat tersembunyi Casio, Fier mengingatkan.

"Gue emang gak punya niatan buat bolos." Casio menjawab cuek. Karena memang sedari awal terbangun setelah mengulang waktu kembali Casio sudah menanamkan niat untuk memperbaiki dan menikmati hidupnya.

Meskipun skeptis, Fier menganguki ucapan Casio. "Bagus kalo gitu. Inget, absen nama lo udah banyak alpanya. Bisa bisa DO." Fier menepuk-nepuk pundak Casio sebelum berjalan ke arah yang berlawanan arah dengan pemuda itu.

Fier terlihat tidak percaya, itu yang Casio tangkap dari gerak geriknya. Namun Casio sama sekali tidak berniat untuk meyakinkan Fier bahwa dirinya benar benar tidak ada niatan untuk membolos. Sekali Casio mengatakan tidak akan maka ia benar benar tidak akan melakukannya. Masa bodo orang lain mau percaya ataupun tidak.

Casio paling malas meyakinkan orang lain untuk mempercayai ucapannya. Biarlah saja nanti orang itu sendiri yang akan perlahan mempercayai dirinya ketika Casio sudah menunjukkan bukti nyata dari apa yang ia katakan.

"Rules pertama, utamakan diri sendiri terlebih dahulu sebelum orang lain." Gumam Casio serupa hembusan angin.

Seperti niatan awalnya, Casio kembali melangkahkan kaki menuju kelas nya yang berada dipaling ujung koridor lantai dua. Tepat di dekat tangga menuju lantai tiga tempat kelas sepuluh berada.

Sampainya disana pintu kelas 11 IPA 9 sedikit terbuka. Samar samar terdengar suara berisik dari dalam kelas yang terdengar sampai ke telinga Casio.

"... sumpah."

"Coba puter lagu lay lay lay."

"Apaan? Enggak enggak, yang serius lah kalian. Hapus cepet, keburu masuk."

Tidak perlu effort lebih untuk mendengarkan. Suara mahluk mahluk penghuni kelas mereka itu kerasnya melebihi toa, ruangan kedap suara bukanlah penghalang untuk suara suara mereka eksis.

Handle pintu yang hendak Casio buka telah terlebih dahulu dibuka oleh seseorang yang tidak disangka-sangka.

"Fine, ini gue hapus!"

Seorang gadis? Ah, bukan, seorang pemuda memakai kostum Elsa Frozen.

Ketika berbalik menghadap depan pemuda itu langsung dihadapkan oleh kehadiran Casio yang tepat berada didepannya. Mereka sama sama terkejut. Namun bedanya Casio dapat menormalkan kembali ekspresi wajahnya dengan cepat, berbeda dengan pemuda didepannya. "ANYING, CASIOO SIALAN!! KAGET GUEEE." Pemuda itu berekspresi dramatis, sambil mengelus-elus dadanya, jaga jaga saja siapa tau jantungnya pindah ke kaki setelah dikejutkan oleh Casio.

Padahal harusnya Casio yang lebih terkejut, apalagi melihat penampilan manusia didepannya ini, yang terlihat...aneh.

Zievan Nararaja, pemuda yang digadang-gadang sebagai laki-laki tertampan dikelas mereka setelah Fier itu terlihat konyol dengan kostum Elsa lengkap dengan wig yang dia kenakan. Terlihat coretan coretan diwajahnya yang konon katanya tampan itu, membuatnya terlihat seperti joker.

Pantas saja tadi ada suara salah satu teman sekelas mereka yang menyarankan memutar lagu kebangsaan joker tersebut.

Casio terdiam sesaat, sampai akhirnya beberapa saat kemudian gumaman nya terdengar, membuat Zievan atau yang lebih akrab dipanggil Ziev oleh Casio melotot begitu mendengar. "Rules kedua, utamakan olahraga jantung terlebih dahulu sebelum memasuki kelas, jika tidak ingin terkena serangan jantung karena joker gadungan..."

"Ini tuh namanya Joels, Joker Elsa. Bukan Joker gadungan." Zievan memberitahu setengah cemberut. "Padahal estetik kayak gini tapi disuruh hapus. Padahal katanya disuruh kreatif."

Kreatif sih kreatif, tapi darimana korelasinya antara Joker dengan Elsa. Dan lagipula, sejak kapan Zievan mendapatkan peran Elsa? Casio ingat betul saat ini, apalagi karena telah berkali-kali melaluinya. Seingatnya terakhir kali yang mendapatkan peran Elsa di drama yang akan mereka tampilkan nanti adalah salah satu diantara siswi 11 IPA 9 bukan malah Zievan dengan segudang tingkah nyeleneh nya yang notabenenya laki laki.

"Sejak kapan..." Belum selesai Casio bicara sebuah suara yang berasal dari salah satu siswa kelas mereka menginterupsi. "Tumben bawa bekal?"

Zievan yang semula ingin mendramatisir keadaan menjadi harus terpending dahulu sebab pertanyaan itu, mengingatkannya pada pertanyaan yang memang sedari tadi ingin Zievan tanyakan. "Lah iya, kata anak kelas sebelah lo jadi trending topik di La Lu Na pagi ini gara gara tuh Patrick." Tunjuk Zievan pada tas bekal merah muda yang ditenteng Casio di tangan kanannya.

Casio menaikkan sebelah alisnya mengetahui hal itu. "Cepet banget?"

_______________________

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE IMMORTAL'S SHADOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang