Beberapa hari lalu Dira mendapat kabar bahwa Jena tidak bisa menolongnya, karena kakaknya baru saja merekrut pelayanan baru di restorannya dan Jena tidak bisa memasukkan Dira begitu saja. Dan sampai saat ini Dira masih belum mendapatkan pekerjaan padahal dia sudah menebarkan kertas lamaran pada setiap kantor atau pun tempat yang sedang membutuhkan pekerja. Dira kini sudah kembali putus asa tentang hidupnya. Mengapa hidup begitu kejam terhadap dirinya. Sebenarnya apa dosa yang telah ia perbuat hingga membuat dia begitu menderita.
Tidak ada cara lain, Dira mencari kertas dalam kantong celananya. Ini adalah keputusan terbaik. Bukan hanya sekali Dira memikirkan hal ini, sudah beberapa hari belakangan Dira memikirkan baik-baik hingga tidak bisa tidur nyenyak.
Mengetik sederet angka yang tertera disana, lantas Dira langsung mendial nomor itu. Panggilan pertama tidak terjawab, begitupun beberapa panggilan berikutnya. Tidak bisa jika terus dibiarkan seperti ini, dengan yakin Dira memutuskan untuk mendatangi saja alamat yang tertera di kertas itu.
Tempatnya tidak terlalu jauh dari rumahnya, Dira memutuskan untuk naik ojek saja untuk menghemat biaya. Dia tidak mampu jika harus menaiki taksi karena biayanya pasti mahal.
Butuh waktu sekitar 15 menit untuk Dira sampai di alamat tersebut. Dira kini sudah berdiri di depan sebuah rumah minimalis dua lantai. Dari depan rumah itu terlihat sepi, tapi tak menyurutkan niat Dira untuk mengetuk pintunya.
Beberapa kali Dira mengetuk tapi tidak ada sahutan dari dalam, hingga pada akhirnya pintu terbuka. Menampilkan wanita paruh baya yang Dira yakini sebagai pembantu yang berkerja di rumah Agam.
"Maaf Mbak cari siapa?"
"Dokter Agam ada Bu? Saya ada perlu dengan beliau." Tanya Dira sopan. Dira dipersilahkan masuk oleh wanita itu.
"Sebentar ya Mbak. Saya panggilkan dulu Mas Agam nya." Dira mengangguk sopan. Wanita paruh baya itu kini manaiki tangga menuju lantai dua. Mungkin Agam sedang berada disana.
Dan benar saja, tidak lama terlihat Agam yang sedang menuruni tangga dengan seorang bayi di gendongannya. Bayi tersebut tampak tenang meminum susu formula yang dipegang oleh ayahnya.
"Bapak sedang sibuk?" Basa-basi Dira terlebih dahulu, memastikan situasi dan kondisinya pas untuk mengungkap keinginannya.
"Tidak. Silahkan duduk, Mbok sedang menyiapkan minum untuk kamu."
"Tidak perlu repot-repot pak. Saya disini hanya sebentar saja."
"Tidak repot. Duduk disini." Ucap Agam saat Dira hendak duduk di seberangnya. Dengan kikuk Dira menuruti perintah Agam yang menyuruhnya untuk duduk tepat di samping pria itu.
Setelah Dira berhasil duduk, tanpa meminta izin terlebih dahulu Agam sudah menyerahkan bayinya dalam gendongan Dira. Awalnya Dira kaget tapi segera menormalkan dirinya agar bayi yang sudah mulai mengantuk itu tidak terusik.
"Ayah kamu sudah pulang?"
"Belum dok, ayah masih ada di rumah sakit. Kondisinya belum pulih jadi .asih tidak diperbolehkan pulang." Tampak Agam hanya mengangguk. Mbok yang bekerja di rumah Agam menyuguhkan minum untuk Dira.
"Makasih Mbok." Ucap Dira. Setelahnya Mbok pamit meninggalkan mereka berdua, ralat bertiga dengan si kecil.
"Dok apa gak sebaiknya anaknya ditaruh saja? Saya takut mengganggu tidurnya."
"Namanya Nara." Agam memberitahu.
"Iya. Sebaiknya Nara taruh dikamar saja dok. Saya takut mengganggu tidurnya." Ulang Dira karena perkataan sebelumnya tidak digubris.
"Nara baru saja tidur, belum nyenyak. Jika langsung ditaruh akan kembali bangun." Dira merasa kurang tepat jika membicarakan depan bayi yang sedang tertidur digendongannya. Meskipun tidak mengerti tapi bayi itu dapat mendengarkan apa yang orang katakan.
"Bicara saja Nara tidak akan mengganggu."
"Bukan mengganggu dok. Saya hanya merasa kurang tepat berbicara depan bayi seperti ini."
"Memang apa yang akan kamu bicarakan?" Pancing Agam. Dia sudah tau apa yang sebenarnya akan Dira katanya. Dira terlihat kelimpungan menanggapi pertanyaan Agam barusan.
"Bicara saja." Perintah Agam. Dira menghela nafas lalu mulai mengatakan tujuannya datang ke rumah pria itu.
"Apa tawaran dokter masih berlaku?"
"Saya rasa kamu sudah menolak tawaran itu. Kenapa sekarang masih bertanya lagi." Dira tercekat. Bukankah beberapa hari lalu Agam mengatakan dia bisa menghubungi jik berubah pikiran. Lalu kenapa sekarang malah seperti ini. Apa Agam sudah sadar bahwa yang dilakukannya adalah salah?
"Jadi sudah tidak berlaku?" Lirih Dira. Harapan satu-satunya sudah pupus. Sudah tidak ada harapan lain, memang benar jika kita tidak boleh menggantungkan harapan pada orang lain.
"Saya tidak bilang begitu. Apa kamu berubah pikiran?" Mata Dira kembali berbinar mendengar ucapan Agam. Harapan itu masih ada dan Dira tidak akan menyia-nyiakan ini. Dengan pelan Dira mengangguk.
"Saya tidak mendengar jawaban kamu."
"Iya, saya berubah pikiran. Saya siap jadi istri dokter." Jawab Dira cepat, jangan sampai Agam berubah pikiran karena hal itu akan mengancam nyawa sang ayah.
"Bagus, saya puas dengan jawaban kamu. Secepatnya akan saya bawa kamu menemui orang tua saya." Dira tercekat. Pikirnya apa harus secepat itu? Tapi tidak apa lah ini demi ayahnya. Urusan cinta Dira yakin akan tumbuh seiring berjalannya waktu.
"Mengenai ayah saya bagaimana dok?"
"Panggil Mas. Sekarang kamu sudah resmi jadi calon istri saya."
"Iya Mas. Jadi bagaimana dengan ayah saya?" Ucap Dira masih kaku saat memanggil Agam dengan panggilan itu.
"Besok saya akan mengecek kondisi ayah kamu untuk segera mendapatkan penanganan lebih lanjut."
"Makasih Mas." Ucap Dira terharu. Meskipun dia masih tidak tau apa yang melatarbelakangi tawaran Agam ini.
"Kamu sudah makan?"
"Sudah." Dira mengangguk meskipun sebenarnya dia masih belum makan. Malu jika dia mengatakan tidak, bisa dikira mau minta makan nanti dia kesini.
"Saya belum. Tadi sempat kesan makan, nanti kamu temani saya makan." Titah Agam tidak mau dibantah. Dira yang tidak akan keinginan untuk membantah pun menyetujui saja, lumayan juga dapat makan gratis.
"Saya tadi telepon Mas, tapi tidak diangkat." Dira memberitahu.
"Handphone saya ada dikamar. Tadi sibuk ngurus Nara juga yang agak rewel malam ini."
"Maaf ya Mas, ganggu waktunya."
"Tidak menggangu malah saya senang kamu datang kesini."
"Mengenai pernikahan, saya tidak bisa menunggu lama. Bukan depan saya sudah ingin kamu resmi menjadi istri saya." Agam kembali mengangkat topik tentang pernikahan mereka karena itu sangat penting untuk kedepannya.
"Mas aku punya permintaan."
"Katakan."
"Aku mau pernikahan yang sederhana saja. Hanya dihadiri keluarga."
"Tidak masalah." Dira lega karena Agam tidak menolak permintaannya sama sekali.
"Apa orang tua Mas akan merestui pernikahan ini?" Sejujurnya Dira sudah ada pemikiran bahwa keluarga Agam tidak akan memberi restu karena perbedaan kasta diantara mereka.
"Orang tua saya sudah tau mengenai ini, dan mereka sudah setuju." Dira tentu kaget mendengar itu. Jadi sebenarnya Agam sudah merencanakan ini dari lama? Begitu maksudnya?
"Saya memang sudah menaruh perhatian pada kamu saat melihat kamu sering sekali mengunjungi rumah sakit." Jelas Agam agar Dira tau kebenarannya. Dira hanya diam mendengar cerita Agam yang masih berlanjut tentang bagaimana dia bisa tertarik pada Dira.
•••
Halo halo. Gimana cerita baru nya?
Masih mau next kan?
Di kalian muncul notif ga? Di aku gak muncul nih. Yang tau penyebabnya coba komen ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Doctor
RomanceDira tidak tau lagi harus bagaimana untuk membayar pengobatan ayahnya. Kerja serabutan sudah dia lakukan tapi tidak cukup juga, hingga Dira rela putus kuliah demi usaha mempertahankan ayahnya. Hingga saat itu tiba, tidak angin tidak ada hujan. Tiba...