Halo kalia, gimana kabarnya?
Selasa malam kita ketemu lagi ya seperti biasa.
Enjoy guys, happy reading.
•
•
•
Dira melirik pada jam dinding yang kini telah menunjukkan pukul lima sore. Sudah sekitar satu jam lebih Dira menunggu kepulangan suaminya yang tidak kunjung tiba. Bahkan Dira juga sudah berusaha menghubungi Agam, tapi panggilannya tidak kunjung terjawab.
Dira menatap nanar pada masakan yang telah mendingin di atas meja. Kira-kira harus berapa lama lagi makanan itu menunggu untuk disantap? Atau kabar buruknya makanan itu tidak akan disantap sama sekali oleh orang spesial yang Dira nanti. Jika pun Agam datang sepertinya makanan-makanan itu harus dihangatkan terlebih dahulu agar menambah kenikmatannya.
Dira menatap layar handphonenya, mencoba kembali untuk menghubungi nomor sang suami, tapi hasilnya tetap sama. Tidak ada panggilannya yang terjawab, bahkan pesan-pesan yang dikirimkan tidak kunjung mendapat balasan. Jangankan mendapat balasan dibaca saja tidak.
Dira sempat berpikiran bahwa Agam ada pasien dadakan, tapi tidak bisa kah mengabari Dira terlebih dulu? Bukankah jika hanya mengirim pesan saja hanya membutuhkan waktu beberapa detik.
Rasa sedih tiba-tiba melingkupi hari Dira. Rasanya sia-sia saja dia bersusah payah menyambut kepulangan suaminya, bahkan Dira sudah berdandan dan memakai pakaian terbaiknya.
Dira mendudukkan dirinya di salah satu kursi lalu menghela nafas berat. Matanya sudah berkaca-kaca saat ini, siap tumpah membasahi pipinya yang tersapu blus on tipis. Jangan salahkan Dira karena jadi se-mellow ini.
Sebelum air mata berhasil menetes, ponsel Dira tiba-tiba saja berdering. Dira segera meraihnya, melihat nama suaminya yang terpampang disana seketika wajah Dira kembali cerah. Tanpa menunggu waktu lagi, langsung saja Dira menekan tombol hijau pada layar.
"Dira kerumah sakit sekarang, bawa Nara." Serobot Agam langsung sebelum dirinya mengeluarkan suaranya. Setelah mengatakan itu panggilan langsung dimatikan sepihak oleh Agam, bahkan salam saja tidak laki-laki itu lontarkan.
Dira mengernyit bingung, ada apa sebenarnya. Dari nada suara suaminya saja Dira sudah tau bahwa ada sesuatu yang terjadi. Ya sudahlah dari pada makanan ini terbuang sia-sia lebih baik Dira memindahkannya pada kotak bekal dan akan memberikannya pada suaminya dirumah sakit nanti.
Dengan cepat Dira melakukan perintah suaminya, setelah semuanya siap. Dira memanggil Mbok yang sedang menemani Nara di taman belakang.
Dira berpamitan pada mbok. Dira juga berpesan jika nanti Mbok mau pulang, Dira suruh membawa makanan yang telah di persiapkan, agar nanti dirumah Mbok tidak perlu repot lagi memasak untuk keluarganya.
"Aku pamit ya Mbok." Ucap Dira setelah ojek online yang dipesannya mengabarkan bahwa dia telah sampai di depan rumah.
"Hati-hati Mbak." Dira mengangguk lalu dia berjalan menghampiri bapak ojek.
Sepanjang jalan menuju rumah sakit, tidak henti-hentinya Nara berceloteh, menanyakan sesuatu yang menurutnya sangat menarik. Jangan heran anak ini memang jarang naik motor seperti ini. Bisa jadi juga ini pertama kali untuk Nara.
Dira sendiri hanya menanggapi seadanya celotehan anaknya.
"Anaknya aktif ya Mbak." Bapak ojek saja sampai gemas sendiri mendengar suara celotehan Nara.
"Iya pak, apalagi kalau dirumah kadang sampai kewalahan saya jaga nya." Bapak ojek tertawa mendengar ucapan Dira.
Beberapa menit kemudian, bapak ojek menghentikan motornya di depan sebuah rumah sakit ternama yang tidak lain adalah tempat suami Dira bekerja.
Dira turun dan memberikan ongkos pada bapak ojek. Bapak ojek itu malah memandang Nara dan meraih sesuatu dari sakunya.
"Saya punya permen tadi cucu saya minta belikan. Kebetulan saya belinya lebih, buat anak mbaknya saja." Ucap bapak gojek itu mengulurkan permen pada Nara.
Nara tentu saja menerimanya dengan senang hati.
"Makasih pak, cucu bapak pasti senang." Dira mewakili Nara karena anak itu tentu masih belum bisa berbicara terimakasih.
Bapak ojek itupun pergi, dan Dira melangkahkan kakinya memasuki rumah sakit. Agak riweh sebenarnya, menggendong Nara dan ditangannya masih ada tas ya berisi makanan untuk suaminya.
Di depan sana sudah terlihat Agam yang berjalan terburu-buru menghampiri mereka. Dira melemparkan senyum pada suaminya itu.
Sampai di depan Dira, Agam langsung saja mengambil alih Nara dan berkata.
"Kamu tunggu diruangan saya." Hanya itu kata yang keluar dari mulut suaminya. Setelahnya Agam meninggalkan Dira yang terdiam mematung. Senyum diwajah Dira sedikit demi mulai terkikis dan hilang sepenuhnya. Tatapan Dira tidak beralih dari punggung suaminya yang menjauh. Lihatlah bahkan Agam tidak ingin repot-repot untuk mengantar Dira keruangannya lebih dulu.
Jujur hati Dira terasa sakit. Berdasar rasa penasaran, Dira tidak mengikuti apa yang suaminya katakan. Malah Dira melakukan sebaliknya, Dira berjalan pelan ke arah yang suaminya tuju tadi.
Tapi Dira kehilangan jejak, Dira dengan sabar menyusuri satu persatu lorong. Melihat ke setiap kamar apakah ada suaminya di dalam atau tidak.
Hingga Dira sampai pada salah satu kamar yang pintunya tidak tertutup sempurna. Di dalam terdengar suara tangisan dari beberapa orang. Tidak ingin menganggu akhirnya Dira mengintip melalui jendela yang terbuka lebar.
Hati Dira bergemuruh, disana, dengan mata kepalanya sendiri Dira melihat suaminya sedang memeluk wanita lain yang tidak lain adalah mantan istrinya sendiri. Dari mulut suaminya keluar kata-kata untuk menenangkan wanita dalam pelukannya.
Dari yang Dira dengar dapat disimpulkan bahwa, didalam tengah berduka ada seseorang yang meninggal tapi Dira tidak tau siapa dan ada hubungan apa dengan suaminya.
Hatinya terlanjur sakit, istri mana yang terlihat baik-baik saja disaat memergokinya suaminya tengah memeluk wanita lain seperti itu. Apalagi wanita itu adanya mantan istrinya dan ibu dari anaknya.
Air mata perlahan berjatuhan dari sudut mata Dira. Tidak ingin mempermalukan dirinya dengan menangis di tempat umum Dira akhirnya berjalan ke ruangan Agam.
Samar-samar bisikan para suster masuk kedalam telinganya, mereka tengah membicarakan Agam dan mantan istrinya. Bahkan tidak sungkan mereka membandingkannya dengan Dira. Mendengar itu malah membuat hati Dira seakan diremas-remas. Rasanya sakit sekali. Apakah setidak pantas itu Dira bersanding dengan Agam?
Sampai diruangan Agam Dira langsung menaruh makanan disana lantas Dira pulang begitu saja. Memilih untuk tidak menunggu suaminya. Dira tau keadaan nya sangatlah tidak pas. Tapi hatinya terlanjur sakit. Dira butuh memenangkan pikirannya agar tidak stress dan malah berdampak pada bayi di kandungannya.
Biar kan saja jika nanti Agam kelimpungan mencarinya, Dira tidak peduli. Jika nanti Agam marah, maka biarkan saja Dira punya alasan melakukan itu.
Hanya satu tempat yang terlintas di otak Dira sekarang ini. Rumah ayahnya, sepertinya hanya tempat itu yang aman bagi dirinya.
Maaf kan Dira jika nanti malah menambah beban pikiran ayah, tapi hanya satu orang itu yang dapat menerima Dira kembali dengan keadaan apapun.
Sekuat hati Dira menahan agar air mata itu tidak jatuh kembali, agar tidak menimbulkan kecurigaan yang berarti bagi ayahnya. Tidak lupa juga handphone Dira non-aktifkan.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Doctor
عاطفيةDira tidak tau lagi harus bagaimana untuk membayar pengobatan ayahnya. Kerja serabutan sudah dia lakukan tapi tidak cukup juga, hingga Dira rela putus kuliah demi usaha mempertahankan ayahnya. Hingga saat itu tiba, tidak angin tidak ada hujan. Tiba...