part 22

31.8K 1.7K 10
                                    

Cuma mau kasih tau aja kalau di KaryaKarsa udah sampai part 42.

Langit yang semula berwarna hitam kini perlahan-lahan telah mulai kembali terang. Sinar matahari dengan sopan masuk ke celah-celah, menerangi kamar pasutri yang sedang terlelap.

Perlahan-lahan istrinya, Dira mengerjakan matanya. Dia terdiam sejenak untuk mengumpulkan sukma, ditengah kediamannya itu dia teringat dengan suaminya. Semalam akibat menunggu suami yang tidak kunjung pulang, Dira sampai tidak sadar hingga ketiduran.

Sontak saja Dira langsung melihat kearah samping, suaminya ada disana sedang terlelap dengan tenangnya. Dira melirik jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh lewat beberapa menit. Tumben juga Agam jam segini belum bangun. Semalam jam berapa suaminya itu datang sebenarnya.

Tidak ada niat Dira membangunkan suaminya, biarkan saja. Dari pada hanya diam sibuk memikirkan kejadian semalam, Dira memutuskan untuk membersihkan diri saja agar lebih segar. Urusan suaminya nanti saja, tidak peduli Dira jika sampai laki-laki itu telat bekerja. Salah sendiri pulang hingga larut malam.

Tidak membutuhkan waktu lama, Dira telah kembali dengan tubuh segarnya. Dan kini saatnya Dira membangunkan suaminya.

Perlahan Dira memanggil dan menyuruh suaminya agar membuka mata, tapi tidak mendapat respon yang berarti. Dira akhirnya menggoncang tubuh suaminya pelan, dan usahanya itu berhasil. Suaminya mulai membuka matanya perlahan-lahan.

Melihat itu Dira langsung menjauh, dia hendak melihat Nara di dalam box nya. Anak itu masih terlelap, syukurlah Dira bisa menyelesaikan pekerjaannya dulu.

"Jam berapa?" Tanya Agam di atas kasur sambil mengucek matanya yang masih terasa ngantuk.

"Setengah delapan." Jawab Dira singkat. Dia masih kepikiran dengan kejadian semalam. Meskipun sebenarnya hanya kejadian sepele dan sudah biasa terjadi pada jaman ini.

Saat seperti inilah Dira baru sadar bahwa keputusannya untuk menikah dengan Agam terlalu mendadak, mereka masih membutuhkan mengenali diri satu sama lain. Tapi bisa apa Dira saat itu dirinya terhimpit dengan keadaan dan tidak memiliki pilihan lain.

"Setengah delapan? Kenapa baru bangunin sekarang, saya sudah terlambat ini."

Dira melirik dengan ekor matanya, suaminya itu terlihat kelimpungan dan sedikit kesal mungkin. Dira hanya diam sama sekali tidak menanggapi apa yang suaminya katakan. Agam dengan buru-buru masuk kedalam kamar mandi.

Melihat suaminya sudah tidak terlihat lagi, Dira memutuskan untuk membuatkan sarapan untuk suaminya. Meskipun sedang kesal tapi bukan berarti asupan suaminya harus Dira abaikan juga. Meskipun sarapan kali ini hanya selembar roti saja tidak apa lah, lagi pula Agam juga sedang buru-buru tidak sempat jika harus sarapan nasi atau makanan seperti biasanya.

Sepuluh menit berlalu, suaminya itu kini telah berada di meja makan dan hendak berpamitan padanya.

"Sarapan dulu Mas." Suruh Dira pelan.

"Saya sudah terlambat."

"Ya udah makan di mobil aja." Selepas mengatakan itu Dira mengambil tupperware dan memasukkan roti ke dalamnya.

"Pulang jam berapa semalam?" Dira bertanya sambil menyerahkan roti untuk Agam.

"Jam sepuluh mungkin, entah saya tidak liat jam waktu itu."

"Mas langsung pulang atau gimana?" Dira terdengar retoris. Tapi daripada hanya berprasangka buruk pada suaminya, lebih baik langsung Dira tanyakan saja langsung.

"Langsung pulang tapi anterin Kiya pulang dulu." Dira mematung mendengarnya.

"Saya berangkat." Pamit Agam lalu memasuki mobilnya dan meninggalkan rumah.

Dira hanya bisa diam melihat mobil yang membawa suaminya. Bukannya tenang setelah berbicara dengan Agam, malah pikirannya makin kacau saja.

Sepanjang Dira mengerjakan pekerjaan rumah, pikirannya tidak fokus bahkan sekedar menyuapi Nara saja Dira sampai membuat bayi itu menangis karena ternyata bubur bayi itu masih panas dan Dira langsung menyuapi begitu saja. Tapi untungnya saja Nara tidak terluka atau kenapa-napa. Jadilah Dira meminta tolong Mbok untuk menyuapi Nara takutnya malah nanti teledor lagi.

"Saya perhatikan dari tadi Mbak melamun, ada masalah?" Mbok mengajak Dira berbicara, dari saat datang dia telah melihat majikannya itu entah melamunkan apa. Dira terlihat lebih pendiam dari biasanya. Mungkin dengan berbagi cerita bisa membuat pikiran wanita itu lebih tenang.

"Iya Mbok lagi banyak pikiran. Maaf ya saya malah sampai ngerepotin Mbok gini." Dira sendiri tidak ingin berada di posisi seperti ini, tapi apa daya kan.

"Kalau Mbak mau saya bisa jadi pendengar yang baik loh." Mendengarnya itu Dira tersenyum ke arah Mbok. Dia seperti merasa menemukan sosok nenek dalam diri Mbok. Tidak menyangka Dira akan bertemu dengan wanita baik dan tulus dalam melakukan pekerjaan seperti Mbok ini, bahkan dari cara dia melihat sendiri perlakuan Mbok pada Nara saja Dira sudah bisa menduga bahwa Mbok sudah menganggap Nara seperti cucunya sendiri.

"Bukan masalah besar kok Mbok, cuma saya lagi kepikiran aja sama ayah. Takut penyakitnya kumat lagi." Itu hanya alasan Dira saja. Meskipun benar juga sih dia kadang juga memikirkan keadaan sang ayah, tapi sekarang bukan itu yang mendominasi otaknya tapi tentang Agam dan Kiya.

Apa Dira bertanya saja ya pada Mbok, mungkinkan Mbok juga pernah mendengar ataupun mengetahui sesuatu tentang wanitanya itu.

"Mbok." Panggil Dira saat Mbok tengah fokus menyuapi Nara.

"Kenapa Mbak?"

"Mbok tau Kiya?" Dira terdengar ragu untuk menanyakan hal itu.

Mbok tidak langsung menjawab, melainkan tampak berpikir lebih dulu.

"Kayaknya saya pernah dengar nama itu deh Mbak, cuma saya agak sedikit lupa."

Dira mengangguk mengerti. Wajar di usia Mbok yang sudah tidak muda lagi, membuat wanita itu sering lupa akan sesuatu. Apalagi jika hanya pernah mendengar sekali atau dua kali saja.

Dira berhenti bertanya sampai di situ saja. Rasanya juga percuma mau mencari informasi dari Mbok, yang bahkan ingatannya sudah tidak tajam lagi. Beberapa menit keheningan terjadi di ruangan itu, mungkin hanya sesekali di hiasi dengan celotehan Nara yang masih tidak jelas berbicara apa.

"Saya ingat Mbak." Seru Mbok tiba-tiba membuat Dira sedikit telonjak karenanya.

"Kalau tidak salah Kiya itu adik tirinya Bu Maya. Pernah sekali ikut ke sini waktu Bu Maya ketemu Nara. Tapi itu udah lama, sebelum Mbak sama mas Agam nikah."

Kening Dira mengernyit mendengar nama yang terdengar asing di telinganya. Maya? Siapa lagi Maya itu?

Tentang Kiya saja masih belum terjawab pertanyaan, sekarang malah mau ditambah Maya lagi.

"Bu Maya? Siapa Mbok?" Mbok tampak terkejut karena Dira tidak mengetahui siapa itu Maya. Melihat itu Dira menjadi semakin penasaran akan sosok yang di maksud.

"Mbak tidak tau?" Mbok mengatakannya dengan hati-hati. Dira menggeleng untuk menjawab pertanyaan itu, dan setelahnya Mbok menghembuskan nafas.

"Bu Maya itu ibunya Nara Mbak, mantan istrinya Mas Agam." Mbok mengatakannya dengan pelan. Dia tampak merasa sungkan untuk mengatakan hal tersebut karena berkaitan dengan masalalu Agam dan takut menyinggung perasaan Dira.

Dira tampak lebih terkejut mendengar jawaban yang Mbok berikan. Saking terkejutnya sampai Dira merasa bingung harus memberi respon seperti apa lagi. Ternyata benar, pernikahan ini terlalu terburu-buru hingga Dira tidak punya waktu untuk mengenal Agam terlebih dulu. Bahkan hal seperti ini, yang harusnya dia tau dari awal saja sekarang Dira terlihat tidak tau apa-apa mengenai ini.

"Saya cuma bisa ngasih tau itu aja Mbak, selebihnya Mbak bisa bertanya langsung dengan Mas Agam." Ujar Mbok lagi, merasa tidak berhak untuk menceritakan lebih pada majikannya.

TBC

Married with Doctor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang