Punyaku

854 82 5
                                    

Juni, 2020

Setelah pernyataan Mark yang sangat luar biasa mengejutkan itu, tiba-tiba Mark mendapatkan telepon dari rekan kerjanya, membuat mereka berdua harus mengakhiri pertemuannya. Jaemin lantas beranjak dan menaiki bis menuju kedai suaminya, namun sepertinya ia akan berkunjung ke taman kanak-kanak tempat Haechan bekerja, ia ingin mengadu mengenai pertemuan setelah sekian lamanya dengan Mark.

Sejak sekolah menengah atas mereka memang sentiasa bersama. Sudah seperti mawar dan tangkainya; saling bersatu.

Usia mereka hanya terpaut satu tahun saja. Mark ketika itu sedang berada di ujung akhir masa sekolahnya, sedangkan Jaemin satu tahun di bawahnya.

Mereka bertemu di ruang guru. Terpilih menjadi pasangan olimpiade matematika pada saat itu. Saling bersua dalam dinginnya ruang guru. Mengerjakan lembaran soal yang tebalnya menciptakan jemu.

Hanya satu-dua kalimat yang mereka utarakan satu sama lain; berisi barisan ajuan pertanyaan mengenai rumus atau jawaban yang tidak dapat mereka pecahkan.

Setiap berakhirnya waktu menimba ilmu, derap kakinya memburu memasuki ruang guru. Bertemu hanya untuk sekedar melatih diri, kemudian selesai dengan atmosfer kikuk abadi.

Sesekali yang lebih tua menawarkan diri untuk pulang bersama, namun hanya penolakan sopan yang selalu diberikan.

"cantik" adalah kalimat pertama yang Mark berikan saat pertama kali bertemu pandang dengan sang adik kelas.

Sudah bukan herannya jika orang-orang memberikan kesan yang sama seperti Mark pada Jaemin.

Dia memang populer. Semua siswa-siswi sudah Mark yakini mengetahui Jaemin.

Parasnya yang sempurna mampu membuat mereka yang memandang merasa iri. Ditambah kepintarannya yang mampu melewati siswa-siswi kelas akhir yang ingin mengikuti olimpiade. Tak lupa sikapnya yang dingin membuat para dominan semakin tertarik ingin memiliki.

Tak ragu bila Mark memang terpesona pada si manis. Namun sepertinya Jaemin hanya menganggap Mark sebagai teman lombanya.

Awal kedekatan mereka adalah ketika salah satu alat tulis milik Jaemin tidak sengaja terbawa oleh Mark. Mereka memang sering kali bertemu, di lorong, di perpustakaan, bahkan pertemuan rutin mereka, di ruang guru.

Rasanya seperti terkena mantra saja. Ketika Mark ingin mengembalikan alat tulis Jaemin ia selalu lupa saja, setiap bertemu dengan Jaemin yang ia fokuskan hanya parasnya, sampai-sampai Jung eui Ssaem memarahi Mark karena akhir-akhir ini pada saat itu ia tidak berkonsentrasi dalam mengerjakan latihan soal. Huh, andai saja Mark bisa menyalahkan Jaemin karena sering mengambil fokusnya.

Setelah melewati hari-hari penuh rumus, olimpiade berakhir, tetapi tak berakhir untuk Mark mendekati Jaemin. Setelah selesai olimpiade Mark dan Jaemin tetap dekat. Jaemin tidak masalah, ia juga merasa ia membutuhkan seorang teman karena selama ini ia hanya bergelut dengan buku-bukunya tanpa peduli dengan bersosialisasi. Biarlah imej dinginnya melekat pada diri si manis, Jaemin tak peduli.

Selama sekolah menengah atas Jaemin hanya menganggap Mark hanya sahabat dekatnya, tak pernah terlintas pada pikirnya jika Mark menyukainya, sehingga pernyataan tadi cukup membuatnya terkejut.

Nostalgianya kini harus diakhiri menjelang bis yang ia tumpangi melambat menuju pemberhentiannya. Segera ia turun dari bis dan bergegas mengambil puluhan langkah menuju tempat yang ia tuju.

"Haechan-ah!" serunya diikuti kedua tangan yang terbuka, meminta dekapan.

"Eoh, Jaemin-ah, tumben?" menerima dekapan Jaemin.

"Huh? Kau berkata seperti aku jarang menemuimu," Kata Jaemin cemberut.

Haechan melepaskan dekapan. "ah tidak, maksudku tumben kau pergi menemuiku sore-sore begini, biasanya kau akan menghabiskan waktumu dengan bayi besarmu itu yang tidak mau diganggu."

"Ada yang ingin kuceritakan padamu." Jaemin mengambil duduk.

"Hal apakah itu? Jeno yang mengeluh kau menolaknya bercinta lagi?" pertanyaan Haechan memebuat Jaemin melebarkan kedua matanya.

"Yak! Bukan itu," ada jeda yang membentang sebelum Jaemin melanjutkan kalimatnya. "Mark menemuiku. Dia menyatakan cintanya padaku."

"MWO?" pekik milik Haechan menyakitkan telinga Jaemin. "Mark teman sekolahmu dulu yang pergi ke Kanada?"

Haechan tidak mengenali Mark, ia hanya tau dari cerita Jaemin. Haechan berteman dengan Jaemin karena mereka tetangga.

"Eoh!"

"Tiba-tiba? Setelah dia meninggalkanmu ke Kanada, semudah itu dia menyatakan cintanya?" kalimat Haechan menggebu. "Beri tau dia kau sudah menikah!"

"Sudah kulakukan, dia sepertinya sangat terkejut saat tau yang menikahiku adalah orang yang paling menyebalkan dulu." Jaemin menghela napas.

"Ngomong-ngomong, bagaimana dia?" tanya Jaemin kemudian mengulurkan tangan kanannya untuk ia letakkan pada perut Haechan yang sedikit membuncit.

"Dia sangat baik, akhir-akhir ini sering sekali meminta membeli jajanan yang menyusahkan, terakhir dia meminta buah durian, padahal aku tak suka," Jawab Haechan.

"Terus, bagaimana?" tanya Jaemin mengambil kembali tangannya. "Kau memakannya?"

"Tidak. Yang makan suamiku, aku hanya menonton."

"Apa?" Jaemin terkekeh. "Bisa begitu ternyata."

"Tentu," Jawab Haechan.

Jaemin mengalihkan pandangannya pada taman bermain di depannya, kemudian dia melepaskan helaan napas yang berat dan berkata, "aku iri, aku ingin juga melakukan itu pada Jeno," keluh Jaemin. "Haechan-ah, menurutmu, apakah aku bisa hamil juga?"

Haechan memukul Jaemin pelan, "hei, apa yang kau bicarakan?" alisnya kini ikut menajam, "Pasti ada masanya, kau hanya harus sering melakukannya, Jeno pasti tidak akan menolak."

"Sedang membicarakanku?

Tiba-tiba saja Jeno muncul memasuki obrolan Haechan dan Jaemin. Mendengar suara suaminya, Jaemin merona, semoga ia tak mendengarkan kalimat terakhir Haechan, batin Jaemin penuh harap.

"Jeno-ya," sapa Jaemin kikuk. "Kenapa kemari?"

Kedua mata Jeno melengkung seperti bulan sabit saat ia tarik kedua ujung bibirnya. Melangkah sedikit menuju sang terkasih. Mengusak surai halus Jaemin yang bersih. Kemudian telapak tangannya ia bawa ke pipi yang putih.

"Kau tak kunjung datang ke kedai. Sudah tutup jua kau tetap tak terlihat. Ku putuskan pergi ke sini, ternyata benar." Kata Jeno masih membelai kedua pipi tembam Jaemin. "Ayo pulang, aku ingin makan Jajangmyeon buatan mu."

"Baiklah. Aku pulang dulu, ya, Haechan-ah." Jaemin beranjak dari duduknya, tak lupa ia mengelus kembali perut Haechan.

"Hati-hati!" Seru Haechan.

Jaemin melambaikan tangannya saat pandangannya melihat Haechan kian menjadi kecil.

"Huh, Haechan sangat menggemaskan ketika mengandung."

Jeno terkekeh, "seperti ini juga kau sudah menggemaskan, bagaimana jika mengandung nanti?"

"Aku menginginkan itu segera," kalimat si manis terdengar lesu.

Bis kemudian datang tetapi Jeno sempat berkata, "tidak usah terburu-buru, kita bisa membuatnya setelah ini. Sepertinya saran Haechan akan membantu."

Barisan kalimat itu membuat Jaemin merinding serius. Pipinya merona bak kepiting kukus. Ia buru-buru masuk dahulu ke dalam bis, meninggalkan Jeno yang tertawa terhadap respon Jaemin.

Perjalanan mereka hanya bisu di awal-awal, Jaemin masih salah tingkah. Namun setelahnya malah ribut dan berisik. Jaemin kembali cerewet saat bersama Jeno. Mengadukan segala perkara yang terjadi hari ini, termasuk pertemuannya dengan Mark. Jeno sedikit gelisah mendengarnya, tetapi ia benaknya kembali nyaman saat ia menyadari bahwa Jaemin sepenuhnya miliknya. Selamanya.

TBC
23/01/23
Terima kasih sudah menyempatkan waktunya untuk membaca cerita ini.

Jangan lupa vote dan komen ya :>

Asmaraloka ; NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang