Badut

249 33 7
                                    

Kerlip cahaya menyorot tajam kearah wajah yang masih terlelap nyaman dalam balik selimut hangat. Mengintip melalui jendela yang tirainya tak tertutup sepenuhnya.

Kedua mata itu menyipit. Terganggu oleh eksistensi yang membangunkan dia dari tidurnya. Perlahan-lahan ia mulai mengumpulkan seluruh jiwa untuk bangun dan terduduk. Sedikit peregangan yang ia lakukan akibat pegal yang terasa.

"Sudah bangun?"

Yang ditanya hanya mengangguk lemas. "Tidak pergi ke kedai?" Tanya Jaemin setelah turun dari ranjang.

Jeno menghampiri Jaemin yang merentangkan kedua tangannya. Jeno melangkahkan kakinya menuju Jaemin, meraih tubuh istrinya pada dekapan hangat di pagi hari. Meski sedikit terhuyung sana-sini, pada akhirnya jatuh pula pada tulang punggungnya.

Kemarin setelah Jaemin muntah mual di mal, cepat-cepat Jeno mengantar ke toilet umum mal. Kemudian memapah Jaemin pulang ke rumah, sampai-sampai payung yang kemarin di bawa tertinggal tidak diambil pulang.

Di rumah pun sama. Masih mengadu merasa mual dan pusing. Jeno kelimpungan semalam, menghadapi Jaemin yang manja tak habis-habis. Merengek kepalanya seperti ditusuk-tusuk katanya, perutnya seolah-olah seperti dikocok juga katanya. Sampai Jaemin kelelahan mengeluh dan tertidur.

"Sudah merasa baik?" Jeno membelai punggung Jaemin di sela pelukannya. Setelah pertanyaan itu, ia merasa Jaemin menggelengkan kepalanya, membuat rambut halusnya menggelitik dada Jeno. "Kita temui Dokter Doyoung, ya?"

Jaemin menengadah, bibirnya mengerucut, "kenapa? Aku mengandung?"

Cup

Jeno mencium dahi Jaemin dengan tempo yang lama. Selanjutnya menuju kedua pipi yang sedari tadi membuatnya gemas. Mengerutkan hidungnya dan menggesek-gesekkan ujung hidungnya dengan ujung hidung lain istrinya. "Hanya memeriksa saja, siapa tau kemarin malam langsung berhasil?"

Kedua pipi yang tadi dikecup memanas atas perkataan barusan. "Apa-apaan." Jaemin menyembunyikan wajahnya pada dada Jeno lagi.

Tawa Jeno ikut serta setelahnya, gemas mendapati reaksi malu Jaemin akibatnya ulahnya. Mengeratkan pelukannya semakin erat. Mengecupi pucuk kepala kesayangannya bertubi-tubi.

"Istriku yang manis, istriku yang cantik, istriku yang pintar, istriku yang baik, istriku lucu, istriku segalanya."

***

"Jeno-ssi, kau harus berusaha lebih banyak lagi, ya," ucap Dokter dengan senyumnya. "Mungkin kali ini tidak berhasil, namun kebahagiaan pasti datang lain kali." Doyoung menyodorkan benda panjang alat untuk menentukan kehamilan.

"Ah, begitu, kah?" Jeno mendengus. "Terima kasih banyak, Dokter."

Di sampingnya, Jaemin tersenyum sayu mendengar kabar tersebut. Dalam duduknya, ia kian menunduk. Harus menunggu sampai kapan lagi? Dalam hatinya ia mengeluh.

"Tak apa, ya. Mungkin suatu hari nanti. Kita tunggu saja." Sua suaminya. "Kami pamit pulang, Dokter." Pria itu membawa Jaemin menuju pintu setelah membungkuk pada Doyong.

Jeno membawa Jaemin keluar dari ruangan. Telapak tangan Jaemin masih setia ia genggam meski keringat membasahi. Tubuh Jaemin menempel pada Jeno, bahkan dalam langkah mereka, kepala Jaemin menyender lemas pada bahu Jeno.

Di antara mereka belum ada yang membuka suara setelah beberapa saat, sampai langkah Jaemin menghentikan keheningan. "Kenap-"

Tindakan si Manis menghentikan ucapan Jeno, ia menubruk keras tubuh suaminya. Mendekapnya lagi seperti tadi pagi. Kali ini yang dirasakan Jeno adalah panas yang menyeruak. Sedikit terasa basah dari dadanya.

Asmaraloka ; NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang