Jeno membuka pintu kamar tidur mereka dan tertegun melihat Jaemin yang tidur dengan posisi terduduk. Bukan terduduk yang bersandar, tapi terduduk di tengah-tengah ranjang mereka. Menelungkup kepalanya pada kedua lengan yang ditopang lutut. Cepat-cepat Jeno menghampiri Jaemin. Berniat akan membenarkan posisi tidurnya agar lebih nyaman. Namun sebelum itu, ketika ia akan mengangkat tubuh istrinya, terlebih dahulu Jaemin mendongak dengan wajah sembab serta air mata yang kian mengalir.
"Jaemin-ah."
Kembali datang fokusnya, Jaemin mengerjap. Menghapus air mata pada pipinya dengan lengan telanjang tak tertutup kain. Kemudian, mengembuskan napas.
"Kau pulang," katanya setelah beberapa saat.
Jeno khawatir melihat orang terkasihnya menangis seperti itu, padahal beberapa masa sebelumnya merayu padu padanya dengan wajahnya yang amat lucu berseri.
Diusapkan telapak tangan yang dingin bertemu hawa malam di luar tadi pada hangat kulit pipi seputih susu. Lembut saat dirasa, basah terkena derai. Hah, figur indah Tuhan ini sedang bersedih.
"Sulit sekali mendapatkan kue coklat malam tadi. Aku harus berkeliling dulu. Maaf lama sekali, ya." Jeno ikut duduk di samping Jaemin. "Sampai menangis begini. Pasti sudah lapar sekali?" Jeno menggoda Jaemin dengan mendekatkan kerutan hidungnya dengan hidung istrinya.
"Tidak apa-apa. Akan aku makan nanti."
Jawaban Jaemin tak mampu memenuhi tanda tanya besar pada benak Jeno. Lantas, Jeno elus lagi pipi halus itu.
"Lalu kenapa menangis? Apa yang membuat kesayanganku ini bersedih?" Jeno bertanya dengan lirih.
"Hanya pikiranku saja. Bukan hal serius." Dia mengibaskan tangannya sibuk. Seolah ingin menyudahi saja perkara tadi. Namun Jeno tak akan berbuat begitu. Meski demikian jawaban istrinya, harus pula ia ketahui apa yang menjadi buah pikirnya.
"Ada apa?" Jeno tersenyum. "Boleh aku tahu apa itu?"
Jaemin tahu Jeno akan seperti ini. Berapa kali ia menyangkal, Jeno tetap akan bertanya tiada hentinya sampai ia mendapatkan jawaban.
"Hanya bersedih saja. Pernikahan kita sudah menginjak empat tahun tepat hari ini." Bahunya jatuh lagi. Embusan napasnya terdengar oleh Jeno, sekaligus kepalanya dibawa menatap lantai yang tertutup vinil motif kayu coklat. Tapi sedetik kemudian diangkat lagi kepalanya. Menatap Jeno dan tersenyum lebar.
"Hari ini, hari jadi pernikahan kita!" Tubuh Jaemin langsung menyambar Jeno bagai kilat. Mendekap erat sembari berbisik kalimat sayang pada Jeno.
Jeno mewajarkan. Memang akhir-akhir ini istrinya memiliki banyak suasana hati dalam satu detik. Saking beragamnya.
Tentu dia tidak melupakan hari ini. Tapi saat malam tadi dirinya pergi ke luar. Belum sempat mengucapkan hari bahagia mereka. Sekaligus memberikan hadiah besar pada Jaemin untuk pertama kalinya dalam perayaan hari jadi pernikahan mereka. Karena sebelum itu hanya makan malam di restoran romantis atau hadiah-hadiah kecil seperti cincin atau perabotan rumah. Atau bahkan hanya menghabiskan waktu seharian bersama. Hanya berdua. Selama empat tahun terakhir.
Nanti, akan Jeno berikan nanti.
Seribu kali kalimat sayang Jaemin semakin melemah. Suaranya semakin tidak terdengar. Lagi. Isakan terdengar lagi. Jeno segera melepaskan pelukan. Meraih lagi kedua pipi Jaemin.
"Ada apa, sayang?" Tanya Jeno lirih.
Jaemin mengusap air matanya sendiri, lalu tersenyum lagi. Aneh.
"Bukan menangis sedih." Senyumnya menggelikan. "Tapi menangis senang. Senang menghabiskan waktu bersamamu. Senang sekali."
"Aku mensyukuri segala sesuatu yang terjadi di hidupku. Masa-masa bertemu denganmu, masa-masa bersama denganmu, berdua, selamanya." Jeno pun membentuk genangan dalam kedua netranya. Sama seperti Jaemin, bukan menangis sedih, namun menangis senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka ; Nomin
RomanceSelisih kalimat seru penyerbu menyisakan seluruh kasih yang memburu. cr cover: canva, pin