"Diamlah!" Seru Jaemin dengan pukulan pada dada suaminya. Begitu seperti bentuk refleks bila dia merasa tersipu. "Aku ingin beli rumah, Jeno. Belikan aku rumah. Aku tidak mau bertemu dengan Kang Ahjumma."
Jeno sebenarnya menghindari percakapan ini. Bagaimanapun sesuatu itu tidak seharusnya kali ini terungkap.
Tautan tangan tadi dilepaskan, kemudian diganti dengan dekapan hangat lagi. Dagu Jeno mendarat di atas kepala Jaemin. Kedua telapak tangannya sibuk mengusap-usap pucuk kepala sampai ujung rambut.
Seperti ditarik paksa lelahnya tadi menjadi rasa nyaman yang tak kunjung pula ia rasa ingin berakhir. Rasa-rasanya jika tidak pegal, ingin lama-lama mendekap Jaemin sepanjang malam. Mengabaikan permintaan Jaemin tadi, seperti tuli saja.
Beberapa masa berlalu sampai yang lebih muda melerai tautan tubuh mereka namun tak sepenuhnya. Hanya jarak yang membentangi wajah mereka. Jaemin mendongak untuk menatap, lalu tersenyum.
Gemas sekali panorama ini dari sudut pandang Jeno. Tak tahan rasanya sampai dia habisi wajah manis itu dengan ciuman. "Besok pagi, minta maaf pada Kang Ahjumma, ya."
Sang lawan bicara malah mengerucutkan bibirnya, kemudian melepaskan dengusan. "Tapi aku masih kesal."
"Aku mengerti, tetapi bagaimanapun dia seseorang jauh di atas kita. Dia orang tua. Minta maafnya akan aku temani. Nanti jika dia berbicara buruk lagi, akan aku yang membalasnya, okay?"
Jaemin mengangguk lemah, lalu menyandarkan lagi kepalanya pada dada Jeno.
Tak lama dari itu, wajahnya dijauhkan lagi. "Jeno-ya."
"Hm? Kenapa?"
Hidung Jaemin mengkerut. "Kau bau."
"Tiba-tiba?" Tanya Jeno.
Jaemin mengangguk sebagai respon. "Jeno-ya," seru Jaemin.
"Hm?" Lagi-lagi Jeno bergumam. Meski Jaemin berkata tubuhnya bau, namun jarak tubuh mereka masih melekat.
Jaemin membuat bibirnya mengecil dan pipinya seperti roti kukus yang menggembung. Jari-jari lentiknya menjulur ke dada Jeno dan memberikan gerakan yang abstrak. Tiba-tiba disela aktivitas menggambar acak di dada Jeno, ia memberikan satu ciuman tepat di bibir sang suami.
Cup
"Buatkan aku kukis, ya?" Permintaan itu dibarengi dengan wajah memelas bak kucing kelaparan. Suara yang dikeluarkan seperti anak kecil ketika sedang merengek. Kedua mata yang berbinar mampu buat Jeno bergeming sementara.
"Jeno-ya," panggil Jaemin kala melihat Jeno yang tak kunjung menjawab.
"Eoh, huh, kenapa mau kukis malam-malam begini?" Akhirnya Jeno kembali.
"Mau saja. Buatkan, ya." Jaemin melerai pelukan mereka. Kemudian menangkup kedua pipi suaminya dengan telapak tangan yang mungil.
Jaemin tersenyum setelahnya, "aku mandi dulu, ya. Bawakan kukisnya ke kamar saja. Aku ingin menonton denganmu setelahnya, hm?" Suara Jaemin kembali tegas. Ibu jari masing-masing tangannya mengusap lembut pipi Jeno. Terakhir, Jaemin kecup lagi bibir kering itu sebelum pergi meninggalkan Jeno yang mematung di tempat.
"Huh, kenapa seperti pertama kali jatuh cinta padanya." Jeno melepaskan napas beratnya. Menetralkan debaran jantungnya yang tak karuan.
***
Selama sekitar dua puluh menit Jeno sibuk memanggang dan menghias kukis yang diminta istrinya. Belum lagi ia pergi mandi selama kurang lebih lima belas menit. Tidak ada eksistensi Jaemin yang sejak tiga puluh menit lebih meninggalkan Jeno hanya sekadar melihat dirinya berlumuran tepung terigu di setiap inci wajah tampan itu. Namun sudah berakhir pula kegiatan membuat kukis untuk istrinya yang tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka ; Nomin
RomanceSelisih kalimat seru penyerbu menyisakan seluruh kasih yang memburu. cr cover: canva, pin