Maaf

271 32 2
                                    

Jeno menghembuskan napasnya ringan. Mengukir senyum simpul seraya mendengus melihat istrinya keluar dari kereta seseorang. Yang dilihatnya dari jauh, air muka istrinya nampak sendu, sepertinya selepas menangis. Batin Jeno berteriak bahwa ia ingin mengetahui apa yang terjadi, siapa pemilik mobil itu dan kenapa istrinya menangis.

Jarak langkah Jaemin menuju kedai Jeno sudah sampai sekitaran lima meter. Jeno segera kembali ke kasir dan membereskan serta menyimpan perkara yang berserakan di meja samping dekat kasir sebelum Jaemin melihat itu.

Bel pintu berbunyi, sempat Jaemin lihat aktivitas rahasia Jeno sedetik tadi. "Sedang apa?" Tanyanya.

"Ah, itu, sedang bersih-bersih," katanya terbata-bata.

Jaemin tersenyum simpul, kemudian menoleh ke arah dapur. "Selamat sore, Ajeossi." Badannya sedikit merendah.

"Ah, nee."

Tak terlalu banyak pelanggan dalam edaran Jaemin, hanya seseorang di balik meja di pojok sana sepertinya sudah menyelesaikan makannya dan seorang gadis kecil yang menunggu pesanan untuk di bawa pulang.

Beberapa menit lagi kedai tutup, pelanggan pun tak banyak, artinya, Jaemin jadi tak perlu membantu sampai ke dapur, paman Kim masih mampu jika hanya untuk beberapa pelanggan saja. Sehingga, Jaemin hanya akan membantu Jeno di kasir saja, atau menjadi pelayan jika ada yang ingin makan di tempat.

"Annyeong!" Sapa Jaemin pada gadis kecil di depan kasih.

"Annyeonghaseyo." Gadis itu memberi hormat.

"Sudah memesan?" Tanyanya basa-basi.

"Eung," jawab gadis kecil itu seraya mengangguk.

Tak lama pesanannya sudah selesai, Jeno menyerahkan setelahnya. Berbarengan dengan sang gadis kecil, pria di pojokan tadi pun meninggalkan kedai setelah membayar.

Jaemin mengembuskan napasnya. Tinggalah ia, Jeno dan Paman Kim di dapur.

"Ajeossi, hari sudah mulai sore, Ajeossi segeralah berkemas, toko biar aku dan Jeno saja yang urus." Kalimat Jaemin membuat Paman Kim tersenyum.

"Nee, terima kasih."

Sepeninggalan paman Kim, kedai terasa sepi, hanya ada sepasang suami-istri itu saja, belum ada yang membuka suara, hingga Jaemin berkata, "tadi aku mampir dulu ke rumah Haechan, pandangan bayinya sudah tak kabur lagi, dia tadi melihatku terus saat aku pergi ke sana-kemari."

Jeno tersenyum mendengar itu, kemudian yang ia lakukan selanjutnya adalah mendekap erat tubuh pria cantiknya dari belakang. Menghirup lekat-lekat aroma Jaemin melalui tengkuknya. Kedai sedang sepi, apapun yang mereka lakukan sudah seperti milik mereka berdua saja.

"Kau senang?" Suara Jeno terdengar seperti gumaman.

"Sangat, sangat senang. Rasanya seperti berada di ladang hijau yang tenang dan sejuk atau seperti saat pertama kali aku jatuh cinta padamu." Jaemin tersenyum dalam kalimatnya. "Jeno-ya," panggilnya.

"Hm."

Si Cantik Na mendesah, meraih kedua lengan Jeno yang bertengger pada perutnya, kemudian ibu jari miliknya mengusap lembut punggung tangan sang suami. "Bagaimana jika aku terus gagal?"

Jeno mengeratkan pelukannya. Berhenti dari aktivitas meraup besar aroma istrinya. Kini dagu Jeno diletakkan di pundak terkasih.

"Aku takut kau merasa kesepian, aku takut tak dapat memberikanmu bayi seperti Haechan, aku takut kau pergi dan mencari seseorang yang bisa memberikanmu perasaan jatuh cinta lagi itu." Mulailah terdengar isakan pilu.

Tanpa pikir panjang, Jeno membalikan tubuh Jaemin untuk menghadap ke arahnya, mendekap lagi untuk ke sekian kalinya, memberikan rasa aman dan nyaman pada istrinya. Lantas setelah itu Jeno memberikan jarak, memandangi wajah cantik Jaemin dari dekat, kemudian mengusap lembut pipi seputih salju itu dari air mata.

Asmaraloka ; NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang