Teriak dan menangis

361 33 8
                                    

Hari-hari berikutnya kembali lagi kegiatan meraih asa untuk menghidupi segala keperluan mereka di bumi. Lelah-letih sudah menjadi hal biasa namun sesekali juga merasa jenuh. Pergi pada pagi buta saat matahari masih terbenam di ufuk timur sampai pada ia menjemput rembulan 'tuk menggantikannya.

Lelah sama lelahnya dengan sepasang suami-istri dari keluarga Lee itu. Hari ini si manis Na Jaemin memilih untuk lembur sampai malam, sedangkan suaminya, Jeno, membuka kedai sampai pukul sembilan malam. Khusus untuk Sabtu malam, kedainya tetap dibuka untuk muda-mudi yang sedang berkencan, apalagi letak kedainya yang dekat dengan taman dan beberapa spot untuk berkencan.

"Jeno-ya, aku baru pulang, tidak ke kedai dulu tidak apa-apa, ya?" Jaemin mengajukan pertanyaan kepada Jeno di sebrang telepon sana. Meminjam telepon umum yang berada di dekat halte karena ponselnya kehabisan baterai.

'Tidak apa-apa, kau pasti lelah. Lagi pula, sebentar lagi aku juga pulang. Hati-hati di perjalanan, ya, sayangku.'

"Eum, kau juga, saranghae."

'Na-do*."

Jaemin memutuskan sambungan lebih dulu sebab bis beberapa meter sana sebentar lagi mendarat. Dia mengambil bangku kedua di paling belakang di sebelah pojok setelah masuk. Menyenderkan kepala serta tubuhnya pada jendela bis. Hari ini melelahkan sekali, mungkin tidur di bis tidak terlalu buruk, meski tak ada bahu Jeno, dia menyender pada jendela saja. Perjalanan yang jauh menuju rumah sewanya memberikan sedikit waktu untuk Jaemin meraih rehat sejenak.

Bis berhenti tidak tepat di depan rumah Jeno dan Jaemin. Beberapa jejak harus di tempuh guna sampai ke depan gerbang rumah mereka. Tidak terlalu jauh sebenarnya, namun memang malas saja jika berjalan lagi, apalagi hari sudah petang dan lelah sudah didapat.

Jaemin mendesah. Langkah yang dia pijak sangat lama, terlalu lemas sebab semua energi sudah terisap di kantor tadi. Rasa-rasanya seperti kerja bagai kuda saja, ingin segera ia sampai ke rumah dan membaringkan tubuhnya di ranjang kemudian melanjutkan tidur di bis tadi. Sesekali ujung sepatu miliknya menendang ringan kerikil di jalanan, menampik bosan yang ada.

Tersisa beberapa langkah lagi, ia hanya harus menguatkan diri. Namun ternyata yang tak diinginkan terjadi.

"Baru pulang kau, Jaemin-ssi. Malam sekali," cibir Kang Ahjumma. Sepertinya ia pulang arisan. Terlihat beberapa perhiasan yang jarang dia pakai dan hanya digunakan saat sewaktu-waktu ingin pamer saja.

Karena tak lagi terbendung rasa lelahnya, Jaemin rasa dengan ia tersenyum saja sudah mampu memenuhi cercaan dari Kang Ahjumma. Yang dipikirkannya kali ini hanya ingin cepat-cepat tiduran saja.

Cukup beberapa langkah lagi menuju depan pintu, ia hanya harus bersabar saja melindungi dirinya dari terkaman harimau betina yang menyebalkan, Kang Ahjumma. Baru saja akan mengeluarkan kunci dari tas gendongnya, kalimat menyebalkan dari tetangganya itu membuatnya geram sekali.

"Pulang selalu larut, selalu dalam keadaan lemas, bagaimana dirimu melayani suamimu, hah? Dasar anak muda, pikirannya hanya bekerja saja, hanya ingin kaya, kaya saja." Omelan dari tetangga rumahnya sungguh membuatnya naik pitam. Dari beberapa omong kosong yang Nyonya Kang lontarkan pada Jaemin tidak ada yang ia bawa seserius mungkin, ia selalu menganggapnya angin semata, namun kali ini tidak ada batasnya.

"Ahjumma, urusi saja kehidupan pribadimu, anda terlalu ikut campur," kata Jaemin dengan ukiran senyum yang amat sangat dipaksakan. Dirinya kali ini hanya ingin langsung istirahat saja, tidak mau berdebat belaka.

Terdengar bahwa Kang Ahjumma mendengus, "Kau ini diberi tahu. Kalau kau seperti ini terus, kau tidak akan pernah punya anak. Pulang larut setiap hari, suami bekerja kau ikut bekerja, melayani suami tidak sempat karena kelelahan. Dasar, ya, kau aku sumpahi mandul saja!"

Asmaraloka ; NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang